SEJAK 10 tahun berselang, tanah persawahan di sana yang semula
600 ha sekarang menyusut tinggal 550 ha. Penyusutan inilah yang
merisaukan penduduk. Tapi jumlah manusia yang tinggal di sana
juga berkurang secara menyolok: dulu tercatat 2500 orang, kini
tinggal 1400 orang.
Semua itu terjadi sejak Purwodadi yang terletak lebih rendah
dibanding tanah sekitarnya, dijadikan tempat pembuangan air yang
berasal dari sawah-sawah. Waktu pembuatan irigasinya sendiri,
memang sudah timbul ketidak-serasian. Mula-mula tanah penduduk
banyak terpotong untuk saluran tertier maupun sekunder tanpa
ganti rugi. Di samping itu penduduk Purwodadi tidak diajak
musyawarah, bahkan sama sekali tidak dilibatkan dalam pembuatan
irigasi.
Belakangan mereka baru tahu pembangunan irigasi itu juga
acak-acakan. Sebab apa yang disebut saluran air cuma galian
tanah selebar 1 m dengan kedalaman « m. Akibatnya jika hujan
lebat, air meluap, menghambur ke segala arah, langsung menyerbu
tempat yang lebih rendah. Dan jika hujan turun beberapa hari
berturut-turut, seperti yang selalu terjadi sepanjang musim
hujan, Desa Purwodadi tanpa ampun diterjang air bah.
Setelah 10 tahun kejadian itu berlangsung dan air mengikis
terus, akibatnya pun segera terlihat sekarang: jalurjalur
irigasi yang makin membengkak, telah membelah desa ini menjadi
empat bagian, masing-masing dipisahkan jurang sedalam 7 - 8
meter. Ini pun belum cukup: limpahan irigasi yang secara tetap
menggenangi sekitarnya, telah mengubah areal pertanian menjadi
danau. Penduduk desa itu memperkirakan, areal pertanian yang
menyusut karena tergenang maupun terkikis itu telah mencapai 50
ha.
Akibat lain pun tak kalah menyedihkan. Sampai sekarang tercatat
35 KK kehilangan tempat tinggal, karena rumah mereka berada di
areal yang tergenang, berikut sebuah gereja dan sebuah SD
Inpres. Belum terhitung ternak, bahkan pada 1978 seorang anak
tenggelam. Namun di atas semua itu, penduduk pun makin banyak
yang meninggalkan Purwodadi, pindah ke desa tetangga yang aman.
Sekarang penduduk menanti musim hujan dengan perasaan was-was.
"Bakal ada tanah saya yang berkurang lagi," kata Sulen, 41
tahun, yang bukan saja telah kehilangan tiga kerbau, tapi juga
rumahnya meluncur tak tertahan ke dasar jurang, di saat banjir
besar pada 1978. Kerbaunya yang begitu vital untuk membajak
sawah sampai sekarang belum berganti. Mengapa tidak dibeli?
"Hah, mana sanggup," cetus petani yang sudah bermukim di
Purwodadi sejak 1947. Tanahnya yang semula 19 rante (1 rante =
400 m2), sekarang tersisa 8 rante.
Bencana yang menimpa mereka pada dasarnya bisa disebut sebagai
bencana alam. Namun sebagai korban bencana, tidak seorang pun
warga desa pernah mendapat bantuan Dinas Sosial Kabupaten
Simalungun. "Sepeser pun kami tak pernah mendapat bantuan," ujar
Rebo 45 tahun, yang pindah ke desa tetangga. Sampun, 50 tahun,
Kepala Desa Purwodadi agak keras berucap, "jangankan bantuan
uang, untuk menanggulangi bahaya erosi itu saja sudah kasep."
Sampun sudah 7 tahun menjabat kepala desa dan karena itu bisa
dimengerti kalau ia kecewa. Menurut orang tua ini bencana
berkala yang menimpa Purwodadi selalu dilaporkannya ke tingkat
kabupaten. "Bahkan dalam pertemuan-pertemuan, sudah terlalu
sering kami paparkan langsung kepada bupati," lanjut bapak dari
10 anak ini.
Perhatian serius menurut Sampun memang ada. Mulai dari bupati,
petugas PU, Pertanian, Perkebunan, Bappeda sampai DPR meninjau
ke sana. Begitu pula dari Pemda Sum-Ut. "Tapi yah sapai begitu
saja. Setelah peninjauan, habis, tidak ada tindak lanjut dalam
bentuk apa pun juga," keluh Sampun setengah putus-asa. "Jika
persoalan ini tak segera mendapat perhatian serius dari pejabat
atasan, hancurlah desa saya," cetus orang asal Jawa Tengah itu.
"Padahal hancurnya desa saya adalah juga gara-gara pemerintah
yang salah dalam teknis pemasangan tali air," tuduh Sampun.
Kompleks, Kata Bupati
Apakah benar ada kesalahan teknis seperti yang digugat Sampun?
Umumnya begitulah pendapat warga Desa Purwodadi. Mereka tahu
persis sebelum ada irigasi, tidak pernah terjadi banjir. Benar,
Purwodadi lebih rendah dari kawasan sekitarnya, tapi segala
sesuatu berlangsung aman-aman saja sampai saluran air dibuat.
Meskipun terlambat, bantuan datang juga sebesar Rp 105 juta dari
Pemda Sum-Ut untuk pembangunan bronjongan, semacam benteng dari
batu padas yang diperkirakan dapat membendung arus air. Tapi
menurut Bupati Simalungun, banjir berkala di Purwodadi bukan
semata-mata disebabkan pembuangan atau saluran air. "Penyebabnya
serba kompleks," katanya. Lalu ia menyebut penghijauan hutan
yang kurang dan penebangan hutan yang dilakukan secara
membabi-buta oleh penduduk setempat.
Kepala Teknis PU Pengairan Simalungun, S. Sipahutar, tidak
bersedia menilai apakah benar saluran air yang menyebabkan
bencana. "Pokoknya, masalah ini sudah mendapat lampu hijau dari
Pusat," katanya singkat. "Satu tim akan turun dari sana tidak
lama lagi, untuk menjajaki persoalan tersebut." Sipahutar tidak
mengatakan kapan persisnya tim itu akan sampai di Purwodadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini