Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Purwodadi, makin sempit & sepi

Tanah persawahan di desa purwodadi kec. tanah jawa, simalungun (sum-ut) mengalami penyusutan terkikis pembuangan air dari sawah akibat kesalahan teknis saluran tertier & mengakibatkan banjir. (ds)

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK 10 tahun berselang, tanah persawahan di sana yang semula 600 ha sekarang menyusut tinggal 550 ha. Penyusutan inilah yang merisaukan penduduk. Tapi jumlah manusia yang tinggal di sana juga berkurang secara menyolok: dulu tercatat 2500 orang, kini tinggal 1400 orang. Semua itu terjadi sejak Purwodadi yang terletak lebih rendah dibanding tanah sekitarnya, dijadikan tempat pembuangan air yang berasal dari sawah-sawah. Waktu pembuatan irigasinya sendiri, memang sudah timbul ketidak-serasian. Mula-mula tanah penduduk banyak terpotong untuk saluran tertier maupun sekunder tanpa ganti rugi. Di samping itu penduduk Purwodadi tidak diajak musyawarah, bahkan sama sekali tidak dilibatkan dalam pembuatan irigasi. Belakangan mereka baru tahu pembangunan irigasi itu juga acak-acakan. Sebab apa yang disebut saluran air cuma galian tanah selebar 1 m dengan kedalaman « m. Akibatnya jika hujan lebat, air meluap, menghambur ke segala arah, langsung menyerbu tempat yang lebih rendah. Dan jika hujan turun beberapa hari berturut-turut, seperti yang selalu terjadi sepanjang musim hujan, Desa Purwodadi tanpa ampun diterjang air bah. Setelah 10 tahun kejadian itu berlangsung dan air mengikis terus, akibatnya pun segera terlihat sekarang: jalurjalur irigasi yang makin membengkak, telah membelah desa ini menjadi empat bagian, masing-masing dipisahkan jurang sedalam 7 - 8 meter. Ini pun belum cukup: limpahan irigasi yang secara tetap menggenangi sekitarnya, telah mengubah areal pertanian menjadi danau. Penduduk desa itu memperkirakan, areal pertanian yang menyusut karena tergenang maupun terkikis itu telah mencapai 50 ha. Akibat lain pun tak kalah menyedihkan. Sampai sekarang tercatat 35 KK kehilangan tempat tinggal, karena rumah mereka berada di areal yang tergenang, berikut sebuah gereja dan sebuah SD Inpres. Belum terhitung ternak, bahkan pada 1978 seorang anak tenggelam. Namun di atas semua itu, penduduk pun makin banyak yang meninggalkan Purwodadi, pindah ke desa tetangga yang aman. Sekarang penduduk menanti musim hujan dengan perasaan was-was. "Bakal ada tanah saya yang berkurang lagi," kata Sulen, 41 tahun, yang bukan saja telah kehilangan tiga kerbau, tapi juga rumahnya meluncur tak tertahan ke dasar jurang, di saat banjir besar pada 1978. Kerbaunya yang begitu vital untuk membajak sawah sampai sekarang belum berganti. Mengapa tidak dibeli? "Hah, mana sanggup," cetus petani yang sudah bermukim di Purwodadi sejak 1947. Tanahnya yang semula 19 rante (1 rante = 400 m2), sekarang tersisa 8 rante. Bencana yang menimpa mereka pada dasarnya bisa disebut sebagai bencana alam. Namun sebagai korban bencana, tidak seorang pun warga desa pernah mendapat bantuan Dinas Sosial Kabupaten Simalungun. "Sepeser pun kami tak pernah mendapat bantuan," ujar Rebo 45 tahun, yang pindah ke desa tetangga. Sampun, 50 tahun, Kepala Desa Purwodadi agak keras berucap, "jangankan bantuan uang, untuk menanggulangi bahaya erosi itu saja sudah kasep." Sampun sudah 7 tahun menjabat kepala desa dan karena itu bisa dimengerti kalau ia kecewa. Menurut orang tua ini bencana berkala yang menimpa Purwodadi selalu dilaporkannya ke tingkat kabupaten. "Bahkan dalam pertemuan-pertemuan, sudah terlalu sering kami paparkan langsung kepada bupati," lanjut bapak dari 10 anak ini. Perhatian serius menurut Sampun memang ada. Mulai dari bupati, petugas PU, Pertanian, Perkebunan, Bappeda sampai DPR meninjau ke sana. Begitu pula dari Pemda Sum-Ut. "Tapi yah sapai begitu saja. Setelah peninjauan, habis, tidak ada tindak lanjut dalam bentuk apa pun juga," keluh Sampun setengah putus-asa. "Jika persoalan ini tak segera mendapat perhatian serius dari pejabat atasan, hancurlah desa saya," cetus orang asal Jawa Tengah itu. "Padahal hancurnya desa saya adalah juga gara-gara pemerintah yang salah dalam teknis pemasangan tali air," tuduh Sampun. Kompleks, Kata Bupati Apakah benar ada kesalahan teknis seperti yang digugat Sampun? Umumnya begitulah pendapat warga Desa Purwodadi. Mereka tahu persis sebelum ada irigasi, tidak pernah terjadi banjir. Benar, Purwodadi lebih rendah dari kawasan sekitarnya, tapi segala sesuatu berlangsung aman-aman saja sampai saluran air dibuat. Meskipun terlambat, bantuan datang juga sebesar Rp 105 juta dari Pemda Sum-Ut untuk pembangunan bronjongan, semacam benteng dari batu padas yang diperkirakan dapat membendung arus air. Tapi menurut Bupati Simalungun, banjir berkala di Purwodadi bukan semata-mata disebabkan pembuangan atau saluran air. "Penyebabnya serba kompleks," katanya. Lalu ia menyebut penghijauan hutan yang kurang dan penebangan hutan yang dilakukan secara membabi-buta oleh penduduk setempat. Kepala Teknis PU Pengairan Simalungun, S. Sipahutar, tidak bersedia menilai apakah benar saluran air yang menyebabkan bencana. "Pokoknya, masalah ini sudah mendapat lampu hijau dari Pusat," katanya singkat. "Satu tim akan turun dari sana tidak lama lagi, untuk menjajaki persoalan tersebut." Sipahutar tidak mengatakan kapan persisnya tim itu akan sampai di Purwodadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus