BERANGKAT dari kekecewaan seorang duta besar empat tahun lalu,
lahirlah sebuah lembaga kursus bahasa Arab di Jakarta.
Syeikh Bakr Abbas Khomeis, Dubes Arab Saudi yang waktu itu baru
beberapa lama menduduki posnya yang baru di Jakarta, sempat
menyaksikan MTQ ke-10 di Manado, Juli 1977. Ia terpesona. Jauh
dari tanah kelahiran Islam, ternyata bisa terdengar lagu Al
Quran yang dalam kemerduan -- dan kefasihan - belum tentu kalah
dibanding para qari negeri Arab sendiri. Tapi kemudian ia tahu,
mereka yang piawai itu tak sepenuhnya menguasai bahasa Arab,
"bahasa Al Quran dan agama."
"Mulai saat itulah saya berpikir, mengapa tidak kita ajarkan
bahasa Arab kepada mereka supaya dapat sepenuhnya memahami isi
Al Quran," begitu sambutan yang dipidatokan dalam bahasa Arab,
pada peresmian Lembaga Pengajaran Bahasa Arab di Jalan Raden
Saleh, Jakarta, Selasa pekan lalu. Peresmiannya sendiri
dilakukan oleh Menteri Agama H. Alamsyah.
Tak Harus Islam
Berkat upayanya, "dengan bantuan Menteri Agama Indonesia,"
katanya, berdirilah lembaga tersebut Agustus 1980. Semua biaya
ditanggung pemerintah Arab Saudi. Segi kurikulumnya ditangani
Universitas Imam Muhammad Bin Saud di Riyadh. Dan pemerintah
Indonesia pun menyambut baik ide dan usaha Dubes Khomeis.
"Buktinya," kata Abdul Aziz bin Abdullah Al Ammar, direktur
lembaga itu, "gedung tempat kursus ini yang mencarikan
Departemen Luar Negeri Indonesia."
Gedung di Jalan Raden Saleh itu, persis di samping Kantor
Imigrasi, berlantai tiga, seluas 400 m2. Mempunyai 15 kelas 6 x
5 m, sebuah perpustakaan 20 x 10 m dengan ribuan buku dan sebuah
laboratorium bahasa. Semua ruang ber-AC. Di sisi kiri gedung
sebuah tulisan pada plat kuningan berbunyi: Ma'had Atta'lim
Allughat Al'Arabiyah Bi Indunisia (Lembaga Pengajaran Bahasa
Arab di Indonesia). Gedung itu disewa Kedubes Arab Saudi sekitar
Rp 100 juta setahun.
Menurut Abdul Aziz, 29 tahun, yang juga Atase Pendidikan Kedubes
Arab Saudi di Indonesia, "Bahasa Arab bagi orang Indonesia bukan
barang baru.
Tapi orang Indonesia pandai membaca saja dan mengalami kesulitan
bila harus bercakap dan menulis." Maka 12 guru dari universitas
di Riyadh itu didatangkan. Semuanya lulusan Jurusan Bahasa Arab,
dan memang ahli mengajarkan bahasa Arab kepada siswa non-Arab.
Tambah seorang guru wanita Indonesia lulusan Al Azhar, Kairo,
Ustazah Ruqayyah. Dua unit laboratorium bahasa pun di pasang --
untuk keperluan mengajarkan menulis, membaca dan
bercakap-cakap.
Sekitar delapan bulan berdiri, lembaga telah menampung 400 siswa
-- 30 di antaranya putri. Lama pendidikan dua tahun, terbagi
menjadi empat tingkat. Tiap tingkat memerlukan waktu empat
bulan, dan dalam seminggu ada lima hari kursus: Senin sampai
Jumat.
Jam belajar tiga macam. Pagi tiga jam, khusus untuk yang
benar-benar berminat belajar. Persyaratannya memang lebih berat:
harus sudah punya dasar menulis dan berbahasa Arab. "Yang
mengikuti pendidikan pagi memang kami persiapkan untuk bisa
melanjutkan ke Arab Saudi," kata Aziz pula.
Siswa petang hanya belajar dua, jam: 16-00 - 18.00. Malam juga
dua jam, 19-00 - 21.00. Peserta malam kebanyakan mahasiswa,
pegawai atau pengusaha . Untuk kelas petang dan malam,
persyaratan masuk lebih ringan: sudah bisa membaca huruf Arab.
Tentunya semuanya lewat tes. Peraturan lain: 10 kali
berturut-turut absen, dipersilahkan keluar. Dan absensi harus
memenuhi 75% jam pelajaran -- kurang dari itu tak boleh
mengikuti ujian.
Berbeda dari kursus bahasa Inggris di Perhimpunan Persahabatan
Indonesia Amerika (PPIA), yang menerima siswa baru setiap
semester (tiga kali setahun), kursus ini hanya menerima siswa
dua kali setahun -- meski ujian diselenggarakan empat bulan
sekali. Peminatnya memang besar. Awal bulan ini sekitar tiga
ribu pendaftar, sementara bangku yang tersedia hanya 150. Dan
sampai hari ini peserta kursus tak diken ai kewajiban membayar
sepeser pun. Bandingkan saja dengan kursus Inggris di PPI itu,
yang memungut Rp 24 ribu untuk tiap tingkat -- semuanya enam
tingkat.
Dan jangan mengira yang boleh mengikuti kursus hanya orang
Islam. "Tak ada ketentuan itu. Tapi memang si iwa yang ada kini
semuanya Islam," tutur Aziz .
Aziz rupanya berkeberatan menceritakan gaji para guru dari
Saudi itu. Tapi andai disamakan dengan gaji guru di Riadh,
paling tidak seorang akan menerima 10 ribu rial Arab Saudi atau
sekitar Rp 2 juta sebulan. Yang jelas mereka diberi fasilitas
perumahan -- di Pulo Mas -- tanpa mobil.
Yang mungkin juga sangat berbeda dari kursus bahasa Inggris di
PPIA, di lembaga ini suasana pergaulan akrab. Seperti sekolah
biasa, ada majalah dinding yang diisi sendiri oleh para siswa.
Untuk kelas I nama majalah itu Al Maurid (jalan), kelas II Al
Aqlam Annasyiab (pena yang tumbuh) dan kelas III Al Amal.
Seminggu sekali ada lomba pidato -- dalam bahasa Arab, tentu.
Pemenangnya mendapat hadiah. Ayim Malik Ibrahim, 24 tahun, siswa
kelas III, orang dari Pesantren Mambaul Ulum di Singaparna, Jawa
Barat, pernah mendapat hadiah arloji. Dan pada waktu tertentu
ada piknik ke daerah -- juga tanpa bayaran.
Dan entah basa-basi atau memang keluar dari hati, guru pendatang
itu katanya memang senang mengajar di Indonesia. "Indonesia ini
ramah," kata Shaleh Husein Al Aid, wakil direktur merangkap
guru. "Saya juga belajar bahasa Indonesia." Dan kata Zaid Umar
Abdullah MA, guru tata bahasa: "Murid Indonesia cerdas, dan
baik-baik."
Konon ini kursus bahasa Arab pertama yang diselenggarakan
pemerintah Arab Saudi di luar Arab Saudi sendiri. Rencananya,
kursus macam ini akan dibuka pula di Jepang," kata Abdul Aziz
pula.
Di Indonesia sendiri kursus bahasa Arab bukan pertama kali ini
tentu saja. Hanya, selain selama ini kalah populer dibanding
kursus bahasa Inggris misalnya -- sebab sudah ada berbagai
sekolah agama atau pesantren -- juga sudah tentu kalah modern
dibanding kursus model luar negeri. Maklum untuk bikin kursus
model PPIA misalnya bukan sedikit biayanya. Untung Arab sekaran
sudah tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini