Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Karya wim setelah sakit

Wim umboh, setelah menderita sakit selama 2 tahun, ia berambisi kembali bekerja sebagai sutradara. film "di sini cinta pertama kali bersemi" merupakan karya pertama wim setelah sakit. (fl)

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUTRADARA itu tetap menyukai kopi kental seperti ketika masih sehat. Tapi Wim Umboh kini mengangkat cangkir kopi dengan tangan agak gemetar. Setelah menderita sakit lever dan maag selama dua tahun, Wim, 48 tahun, memang tidak sesegar dulu lagi. Beratnya 77 kg -- turun 9 kg. Ia berbicara dengan suara tak jelas dan terbata-bata. Dalam keadaan masih lemah, Wim bekerja menyutradarai film Hidup Tanpa Kehormatan. Berbeda dengan dulu, ia kini jarang berbicara keras kepada pemain filmnya. Sesudah sakit cukup panjang itu, katanya pada wartawan TEMPO Eddy Herwanto pekan lalu, "saya agak. sabar dan tidak sering marah seperti dulu." Tapi ia tetap menjadi perokok berat -- menghabiskan empat bungkus rokok kretek Bentoel filter sehari. Kebiasaan berat itu meninggalkan warna kuning di ujung jari telunjuk dan tengah tangan kanannya. Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi -- diangkat dari novel karangan dr. Mira W. -- merupakan karya pertama Wim setelah sakit. Film yang dibintangi Roy Marten dan Widyawati tersebut sekarang beredar di Jawa Tengah dan Barat. Tema ceritanya hampir menyerupai berbagai film remaja yang saat ini menguasai pasaran. Bedanya, setting cerita film ini terjadi di antara pemeluk Katolik, yang menonjol sejak awal hingga akhir. Leo (Roy Marten) dituturkan mengenal Amelia (Widyawati) sejak keduanya masih duduk di bangku SMP, suatu sekolah Katolik. Diam-diam keduanya saling menaruh hati. Suster asrama suatu saat memergoki Amelia sekembalinya melancong bersama Leo. Keduanya kemudian keluar dari sekolah itu, dan berpisah . Empat tahun kemudian keduanya bertemu kembali. Kali ini Amelia kuliah di Fakultas Kedokteran Trisakti, Jakarta, dan Leo kuliah di suatu perguruan tinggi di Sydney, Australia. Ternyata jodoh belum mempertemukan keduanya. Amelia, dengan membawa benih Leo di rahimnya, karena ditekan orang tuanya, terpaksa menikah dengan hartawan Ridwan Gunawan (Awang Darmawan) -- sementara Leo melanjutkan kuliahnya di Sydney. Tentu saja Leo, dan juga penonton, sangat gusar melihat keputusan kontroversial Amelia. Gadis stereotip Jawa itu ternyata mampu bertindak melampaui karakternya semula. Sekalipun takut berterus-terang pada pacarnya, di luar dugaan ia berani mengungkapkan kenyataan di hadapan ayah Leo. Dari sini pengarang novel berusaha menegakkan benang cerita, tapi justru di situlah kelemahan diawali. Meskipun Amelia sudah menjadi istri Ridwan, ia tetap dicintai Leo. Dan sesu dah menjebloskan Ridwan (penyelundup mobil) ke penjara, Leo akhirnya mendapatkan kembali Amelia dan anakanaknya. Peranan gereja terhadap Amelia ditampilkan sangat menonjol dalam keadaan ia mencari ketenangan jiwa. Bukan secara kebetulan bila Wim, yang dalam sakit merasa dekat kembali pada Tuhan lewat gereja, menyukai setting novel itu. Tema cerita film itu, katanya, bukan berlatar belakang cinta remaja yang dangkal dan cengeng. Tapi sulit rasanya membantah bahwa novel itu memang agak sumir. Mengubah novel pop itu ke atas seluloida, Wim kurang memanfaatkan ketangkasan editing-nya. Ia membiarkan novel itu menjadi rangkaian gambar yang bertele-tele. Antara lain ia membiarkan percakapan remaja puber masuk ke dalamnya -- suatu hal yang mungkin tak akan terjadi jika Wim sehat benar. Lihat saja adegan Leo berusaha mencium Amelia di tepi pantai. Kenapa lamban? Wim menjawab bahwa film itu sesungguhnya sudah banyak dipotong -- dari semula 2 jam 38 menit, kini tinggal 2 jam 30 menit. "lrama film yang lamban memang disengaja untuk membangkitkan suasana ceritanya itu," tambah Wim dengan suara parau. Namun itulah karya Wim mutakhir. Dibanding dengan Pengemis dan Tukang Becak dan Kembang-Kembang Plastik keduanya karya puncak Wim, Di Sini Cinta jelas berada di bawah standarnya. Pengemis, karya terakhir Wim menjelang sakit, banyak memperoleh pujian -mungkin karena diangkat dari kisah kaum bawah (underdog). Baik di Pengemis maupun Kembang-Kembang Plastik, kentara sekali sosok dan peranan Wim dalam penyutradaraan, editing dan pengarahan kerja kamera. Toh dengan segala kesakitan dan rintangan itu, Wim masih berambisi melahirkan film berbobot. Hidup Tanpa Kehormatan, menurut dia, ingin cepat diselesaikannya. Wim ingin dengan segera bisa menggarap film Putri Seorang Jenderal (novel karya Motinggo Boesye) yang dinilainya sangat memikat. Skenarionya sudah selesai dibuatnya sendiri. Sang sutradara kelihatan berusaha mengejar, dan memaksa diri bekerja berat walau dokter sesungguhnya melarangnya. Ia mengaku sulit memejamkan mata. Ia sering terjaga hingga pagi. "Saya memang sedang menyiksa diri," katanya dengan suara lemah. "Saya harus bekerja memperoleh uang, rumah tangga saya membutuhkannya." Dengan semangat hidup yang tinggi, ia berusaha mengangkat kakinya, melangkah patah-patah. Tidak lagi ia seperkasa dua tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus