SUTRADARA itu tetap menyukai kopi kental seperti ketika masih
sehat. Tapi Wim Umboh kini mengangkat cangkir kopi dengan tangan
agak gemetar. Setelah menderita sakit lever dan maag selama dua
tahun, Wim, 48 tahun, memang tidak sesegar dulu lagi. Beratnya
77 kg -- turun 9 kg. Ia berbicara dengan suara tak jelas dan
terbata-bata.
Dalam keadaan masih lemah, Wim bekerja menyutradarai film Hidup
Tanpa Kehormatan. Berbeda dengan dulu, ia kini jarang berbicara
keras kepada pemain filmnya. Sesudah sakit cukup panjang itu,
katanya pada wartawan TEMPO Eddy Herwanto pekan lalu, "saya
agak. sabar dan tidak sering marah seperti dulu." Tapi ia tetap
menjadi perokok berat -- menghabiskan empat bungkus rokok
kretek Bentoel filter sehari. Kebiasaan berat itu meninggalkan
warna kuning di ujung jari telunjuk dan tengah tangan kanannya.
Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi -- diangkat dari novel
karangan dr. Mira W. -- merupakan karya pertama Wim setelah
sakit. Film yang dibintangi Roy Marten dan Widyawati tersebut
sekarang beredar di Jawa Tengah dan Barat. Tema ceritanya
hampir menyerupai berbagai film remaja yang saat ini menguasai
pasaran. Bedanya, setting cerita film ini terjadi di antara
pemeluk Katolik, yang menonjol sejak awal hingga akhir. Leo
(Roy Marten) dituturkan mengenal Amelia (Widyawati) sejak
keduanya masih duduk di bangku SMP, suatu sekolah Katolik.
Diam-diam keduanya saling menaruh hati. Suster asrama suatu saat
memergoki Amelia sekembalinya melancong bersama Leo. Keduanya
kemudian keluar dari sekolah itu, dan berpisah .
Empat tahun kemudian keduanya bertemu kembali. Kali ini Amelia
kuliah di Fakultas Kedokteran Trisakti, Jakarta, dan Leo kuliah
di suatu perguruan tinggi di Sydney, Australia. Ternyata jodoh
belum mempertemukan keduanya. Amelia, dengan membawa benih Leo
di rahimnya, karena ditekan orang tuanya, terpaksa menikah
dengan hartawan Ridwan Gunawan (Awang Darmawan) -- sementara Leo
melanjutkan kuliahnya di Sydney.
Tentu saja Leo, dan juga penonton, sangat gusar melihat
keputusan kontroversial Amelia. Gadis stereotip Jawa itu
ternyata mampu bertindak melampaui karakternya semula.
Sekalipun takut berterus-terang pada pacarnya, di luar dugaan ia
berani mengungkapkan kenyataan di hadapan ayah Leo. Dari sini
pengarang novel berusaha menegakkan benang cerita, tapi justru
di situlah kelemahan diawali.
Meskipun Amelia sudah menjadi istri Ridwan, ia tetap dicintai
Leo. Dan sesu dah menjebloskan Ridwan (penyelundup mobil) ke
penjara, Leo akhirnya mendapatkan kembali Amelia dan
anakanaknya.
Peranan gereja terhadap Amelia ditampilkan sangat menonjol dalam
keadaan ia mencari ketenangan jiwa. Bukan secara kebetulan bila
Wim, yang dalam sakit merasa dekat kembali pada Tuhan lewat
gereja, menyukai setting novel itu. Tema cerita film itu,
katanya, bukan berlatar belakang cinta remaja yang dangkal dan
cengeng. Tapi sulit rasanya membantah bahwa novel itu memang
agak sumir.
Mengubah novel pop itu ke atas seluloida, Wim kurang
memanfaatkan ketangkasan editing-nya. Ia membiarkan novel itu
menjadi rangkaian gambar yang bertele-tele. Antara lain ia
membiarkan percakapan remaja puber masuk ke dalamnya -- suatu
hal yang mungkin tak akan terjadi jika Wim sehat benar. Lihat
saja adegan Leo berusaha mencium Amelia di tepi pantai.
Kenapa lamban? Wim menjawab bahwa film itu sesungguhnya sudah
banyak dipotong -- dari semula 2 jam 38 menit, kini tinggal 2
jam 30 menit. "lrama film yang lamban memang disengaja untuk
membangkitkan suasana ceritanya itu," tambah Wim dengan suara
parau.
Namun itulah karya Wim mutakhir. Dibanding dengan Pengemis dan
Tukang Becak dan Kembang-Kembang Plastik keduanya karya puncak
Wim, Di Sini Cinta jelas berada di bawah standarnya. Pengemis,
karya terakhir Wim menjelang sakit, banyak memperoleh pujian
-mungkin karena diangkat dari kisah kaum bawah (underdog). Baik
di Pengemis maupun Kembang-Kembang Plastik, kentara sekali sosok
dan peranan Wim dalam penyutradaraan, editing dan pengarahan
kerja kamera.
Toh dengan segala kesakitan dan rintangan itu, Wim masih
berambisi melahirkan film berbobot. Hidup Tanpa Kehormatan,
menurut dia, ingin cepat diselesaikannya. Wim ingin dengan
segera bisa menggarap film Putri Seorang Jenderal (novel karya
Motinggo Boesye) yang dinilainya sangat memikat. Skenarionya
sudah selesai dibuatnya sendiri.
Sang sutradara kelihatan berusaha mengejar, dan memaksa diri
bekerja berat walau dokter sesungguhnya melarangnya. Ia mengaku
sulit memejamkan mata. Ia sering terjaga hingga pagi. "Saya
memang sedang menyiksa diri," katanya dengan suara lemah. "Saya
harus bekerja memperoleh uang, rumah tangga saya
membutuhkannya."
Dengan semangat hidup yang tinggi, ia berusaha mengangkat
kakinya, melangkah patah-patah. Tidak lagi ia seperkasa dua
tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini