Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ragam Pendapat soal Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada

DPR membahas revisi UU Pemilu dan UU Pilkada. Ada rekomendasi pelaksanaan pemilu serentak dipisahkan menjadi pemilu serentak nasional dan lokal.

6 Maret 2025 | 12.59 WIB

Rapat dengar pendapat umum Komisi II DPR RI bersama sejumlah pakar terkait pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu di gedung DPR RI, Jakarta, 5 Maret 2025. Antara/Melalusa Susthira K
Perbesar
Rapat dengar pendapat umum Komisi II DPR RI bersama sejumlah pakar terkait pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu di gedung DPR RI, Jakarta, 5 Maret 2025. Antara/Melalusa Susthira K

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMISI II DPR yang membidangi pemerintahan dalam negeri menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama sejumlah pakar di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 5 Maret 2025. Rapat tersebut untuk mendengar pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu untuk revisi Undang-Undang Pemilu atau UU Pemilu dan UU Pilkada.

Berbagai pendapat dan masukan muncul dalam rapat tersebut, dari soal sistem campuran sebagai alternatif dalam simulasi perubahan sistem pemilu hingga evaluasi yang perlu dilakukan apabila sistem proporsional terbuka tetap dipertahankan sebagai sistem pemilu di Indonesia.

Puskapol UI Rekomendasikan Sistem Campuran sebagai Alternatif

Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Delia Wildianti, merekomendasikan sistem pemilu campuran sebagai alternatif dalam melakukan simulasi perubahan sistem pemilu di Tanah Air.

Dia menuturkan, selama ini, diskursus yang berkembang di publik berkutat pada sistem proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup, padahal banyak varian sistem pemilihan lain di dalam literatur politik. “Dari studi yang kami lakukan, kita bisa coba exercise untuk opsi alternatif perubahan sistem proporsional terbuka menjadi sistem pemilih campuran,” kata Delia dalam rapat tersebut, seperti dikutip dari Antara.

Delia menyebutkan sistem pemilu campuran di sejumlah negara yang sudah menerapkannya mampu mendongkrak angka keterwakilan perempuan secara signifikan, di antaranya Italia, Meksiko, Kosta Rika, dan Panama. “Ternyata mayoritas dari empat negara ini mengimplementasikan sistem pemilu campuran,” ujarnya.

Sebaliknya, dia menilai sistem proporsional terbuka menjadi salah satu sistem pemilu yang kurang kuat dalam mendorong kesetaraan gender, karena perempuan harus bertarung secara bebas dalam sistem tersebut. “Padahal kita tahu perempuan masuk ke dalam proses politik itu belakangan. Jadi start-nya saja tidak setara, tapi harus bertarung bebas. Dalam beberapa studi yang kami pelajari di beberapa negara, memang sistem proporsional terbuka tidak kompatibel mendorong keterwakilan perempuan,” tuturnya.

Dibandingkan dengan sistem proporsional terbuka sekalipun, dia menilai justru sistem proporsional tertutup lebih kompatibel dalam mengakomodasi afirmasi keterwakilan perempuan. “Karena di dalamnya bisa ada kebijakan kuota dan juga ada kebijakan zipper system yang bisa memperkuat keterwakilan perempuan,” kata dia.

Dia menuturkan perlunya penguatan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan di parlemen, di samping menggunakan kuota minimum sebesar 30 persen. DPR sebagai representasi wakil rakyat seharusnya mampu menghadirkan representasi perempuan yang jumlahnya lebih dari separuh penduduk di Indonesia. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengusulkan pasal baru mengenai penguatan kebijakan afirmasi perempuan.

Komisi II Sebut Sistem Pemilu Hybrid Perbaiki Kepemiluan

Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf Macan Effendi juga menyinggung soal sistem pemilu secara hybrid atau campuran sebagai opsi dalam memperbaiki sistem pemilu di Indonesia, utamanya guna mengurangi persaingan yang terlalu berlebih di dalam internal partai politik. “Untuk mengurangi persaingan yang terlalu berlebih, terutama di dalam internal partai, itu bisa diberikan dua opsi. Ada yang disebut sebagai proporsional terbuka, ada yang proporsional tertutup. Jadi kurang lebih hybrid,” ujarnya setelah memimpin rapat.

Politikus Partai Demokrat itu mengatakan penerapan sistem pemilu secara hybrid akan mengakomodasi masyarakat untuk memilih partai politik dan memilih calon. “Sehingga dari situ partai punya opsi untuk menentukan mana kader-kader yang bisa diberikan kesempatan,” ucapnya.

Dede juga menilai perlu adanya pembenahan basis data daftar pemilih tetap (DPT) yang akan menyumbangkan hak suaranya dalam pemilu. “Database kita yang masih berantakan karena angka suara tidak sah mencapai 15 juta lebih, 15 juta lebih ini berarti kan sangat signifikan. Itu adalah sebagai bukti kekurangcermatan para penyelenggara ataupun juga database yang ada,” ujarnya. Menurut dia, basis data DPT perlu disisir secara berkala guna meminimalkan jumlah suara tidak sah pada pemilu.

Dia juga menyebutkan perbaikan sistem pemilu perlu dibarengi dengan upaya mengatasi persoalan politik uang (money politics) yang marak terjadi tiap kali pemilu dihelat. “Terlalu banyak calon yang tidak diketahui oleh masyarakat, akhirnya berlomba-lomba menawarkan transaksional, dan ketika opsinya makin banyak, masyarakat pun akhirnya jadinya seperti milih mana yang lebih besar,” tuturnya.

Meski demikian, dia menekankan pihaknya membutuhkan waktu dan kecermatan untuk dapat mengatasi persoalan politik uang dalam pemilu.

Perlu Evaluasi bila Sistem Proporsional Terbuka Dipertahankan

Peneliti Puskapol UI, Delia Wildianti, memaparkan sejumlah evaluasi yang perlu dilakukan apabila sistem proporsional terbuka tetap dipertahankan sebagai sistem pemilu di Indonesia. “Kalau misalnya kita tetap di sistem proporsional daftar terbuka, ini perlu ada beberapa yang dievaluasi,” kata Delia.

Dia menyebutkan perlu dilakukan evaluasi terhadap proses rekrutmen calon legislatif (caleg) dalam penerapan sistem proporsional terbuka. Dia merekomendasikan seorang caleg harus melewati dengan saksama tahapan-tahapan rekrutmen dan kaderisasi oleh partai politik.

Menurut dia, sistem proporsional terbuka dalam praktiknya membawa kelemahan institusionalisasi partai politik dan kerap membuat partai politik hanya dijadikan sebagai penyedia tiket bagi seorang caleg untuk berkompetisi pada pemilu. “Sehingga tidak ada istilahnya caleg kutu loncat gitu ya, tiba-tiba caleg masuk di dalam partai politik, padahal tidak punya gagasan, tidak punya ideologi partai, tidak tahu mau mengembangkan seperti apa,” tuturnya.

Dia menuturkan data caleg yang berkompetisi dalam pemilu perlu dibuka lebih transparan kepada masyarakat. Menurut dia, data caleg harus selalu ditampilkan dan dapat diakses oleh publik, sepanjang tidak melanggar data pribadi. “Data yang sifatnya publik, yang harus diketahui oleh masyarakat, itu harus disampaikan karena tujuan dari sistem proporsional terbuka adalah memilih caleg yang akan mewakili pemilihnya,” ucapnya.

Rekomendasi Pemilu Serentak Nasional dan Lokal Dipisah

Peneliti Puskapol UI, Delia Wildianti, juga merekomendasikan agar pelaksanaan pemilu serentak di Indonesia dipisahkan menjadi pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal. “Kami mempertimbangkan rekomendasi untuk mempertimbangkan solusi alternatif desain keserentakan pemilu dengan mengacu pada putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, yakni model keserentakan pemilu yang memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu lokal," kata Delia.

Dia menjelaskan putusan Mahkamah Konstitusi tentang desain pemilihan umum serentak di Indonesia itu memberikan banyak varian yang tetap konstitusional. “Dan ini adalah salah satu varian yang berada di dalam putusan MK tersebut,” ujarnya.

Delia mengatakan pemilu serentak nasional terdiri atas pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, dan DPD. Sedangkan pemilu serentak lokal terdiri atas pemilihan gubernur, bupati, wali kota, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Menurut dia, pemisahan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal dapat mencapai tujuan yang diharapkan dari esensi penyelenggaraan pemilu secara serentak. “Ini juga untuk memperkuat sistem presidensial kita di tingkat nasional dan daerah,” ujarnya.

Perlu Penataan Rekrutmen Tenaga Penyelenggara Pemilu

Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay mengatakan diperlukan penataan mengenai proses rekrutmen tenaga penyelenggara pemilu guna menjaring tenaga yang profesional dan berintegritas dalam perbaikan sistem pemilu. “Jadi kita perlu cari ke depan penataan kembali, jadi bagaimana kita mendapatkan, merekrut mereka, mendapatkan yang betul-betul profesional, berintegritas dan juga mandiri,” kata dia.

Hadar merespons pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah sebagaimana yang diperintahkan oleh putusan MK. “PSU kita di dalam keadaan yang jumlahnya demikian banyak dan sebagian besar itu sebetulnya menunjukkan ketidakberesan penyelenggara pemilunya,” ujarnya.

Dia mengatakan ada biaya besar yang harus ditanggung untuk pelaksanaan PSU, yang seharusnya tidak terjadi kalau penyelenggara pemilunya baik. Untuk itu, dia menuturkan agar proses seleksi tenaga penyelenggara pemilu harus dipastikan terbuka, terukur, dan bebas dari kepentingan politik.

Hadar juga memandang penting pula mempertimbangkan tenaga penyelenggara pemilu diisi oleh orang-orang yang memiliki kematangan usia. Termasuk memastikan kuota 30 persen keterwakilan perempuan ada di setiap level penyelenggara pemilu.

Selain itu, dia menilai perlu mempertimbangkan ulang keberadaan penyelenggara pemilu yang bersifat permanen. Menurut dia, apabila jarak keserentakan pemilu tidak berjauhan maka tidak perlu memiliki penyelenggara pemilu yang permanen di daerah.

Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Respons Dedi Mulyadi atas KPK Sidik Dugaan Korupsi Dana Iklan Bank BJB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus