KALAU tak ada sumur-sumur minyak di Desa Wonocolo, Bojonegoro, Jawa Timur, mungkin Watah Wartosentono hanya sebuah nama yang tidak berbunyi. Namun, ketika Kepala Desa Wonocolo itu meninggal Jumat dua pekan lalu, se jumlah pejabat penting Pemda Tingkat II Bojonegoro dan ribuan rakyat Bojonegoro datang melayat dan mengantarnya ke liang lahad. Di Bojonegoro, selain Watah, tak ada kepala desa yang mendapat penghormatan besar seperti ini. Raja minyak dusun itu meninggal dalam usia 65 tahun karena kencing manis dan "lever" yang parah. Tapi ada suara lain. Konon, di hari-hari akhirnya Watah menderita shock. "Bapak saya amat kecewa," tutur Dasipan, salah satu dari lima anak Watah, pada TEMPO. Kekecewaan Watah bermula dari dialihkannya penambangan 11 sumur minyak di desanya -- dan 9 sumur di Desa Hargomulyo -- ke tangan KUD Boga Sasono sejak 1 April 1988 lewat SK Menteri Pertambangan dan Energi. Dengan SK itu, berakhirlah masa kejayaan Watah sebagai raja minyak yang sudah menguasai sumur-sumur emas hitam itu selama 28 tahun (TEMPO, 9 April 1988). Di kawasan Pegunungan Kapur Utara yang kering itu ada sekitar 200 sumur minyak yang ditemukan pada 1890 oleh perusahaan minyak Belanda. Ketika masa pendudukan Jepang dimulai, 1942, sumur-sumur itu ditinggalkan begitu saja. Mulailah penduduk sekitar Wonocolo dan Hargomulyo menambangnya. Sementara itu, Pertamina menganggap sumur-sumur itu tidak ekonomis untuk ditambang. Ketika Watah Wartosentono menjabat lurah pada 1960, penambangan yang bisa dikategorikan "liar" itu lebih giat dilakukan. Maklum, rezeki minyak merupakan satu-satunya harapan hidup bagi penduduk dua desa di kawasan seluas 2.400 hektar yang sebagian besar berupa hutan jati itu. Menurut Dasipan, ayahnya lalu mengerahkan segenap daya -- dan juga rupiah agar tambangnya yang "diambil" KUD itu kembali. Apalagi, beberapa pejabat daerah itu menyanggupi akan membantu, asal, ya itu tadi, ada rupiah. Konon, sampai Rp 200 juta telah keluar dari kocek Watah. Hasilnya nol besar. Tentu saja Watah sakit hati. Sebulan menjelang ajal, ia minta diantar pergi berlibur ke Bali, menghapus duka laranya. Tapi ia tak hendak pergi jalan-jalan, ia lebih suka berendam di bak mandi hotel. "Ia mengeluh sering merasa kepanasan," ujar Tambir, salah seorang kepala dusun, yang ikut mengantar Watah. Cuma dua hari di Pulau Dewata, Watah minta pulang ke Wonocolo. Di desanya, sebuah rencana sudah ada di benaknya: menggugat beberapa pejabat di jajaran Pemda Bojonegoro. Gugatan itu sedianya akan dilayangkan lewat Kasmin Giri Prabowo, S.H., pengacara asal Bojonegoro yang kini menetap di Surabaya. Pada TEMPO, Kasmin membenarkan adanya rencana Watah itu. "Watah merasa diperas oleh para pejabat itu," kata Kasmin. Pada musim haji tahun lalu, misalnya, ada pejabat yang pinjam Rp 20 juta tapi hanya dikembalikan Rp 8 juta. Ada lagi pejabat yang tiap bulan makan "upeti" Rp 6 juta. Bak pepatah ada gula ada semut, dahulu tiap minggu ada saja pejabat yang datang ke rumah, tutur Dasipan. Dan, biasa, sepulang mereka dari Wonocolo Watah selalu nyangoni, "Ada yang satu juta, ada juga yang sampai lima juta." Belum lagi sumbangan untuk setiap kegiatan pembangunan, antara lain pembangunan gedung DPD Golkar Bojonegoro. Namun, "Mereka tak pernah muncul setelah Bapak tak lagi punya minyak. Bapak kecewa," tutur Dasipan lagi. Walaupun kesal, toh akhirnya Watah tak jadi melayangkan gugatan, sampai ia wafat. Alasannya, "Mereka itu 'kan orang gede. Dan lagi beberapa menantu Watah 'kan kepala desa di sana," ujar Kasmin lagi. Ihwal rencana gugatan itu kini tinggal isu yang menarik di Bojonegoro. Sementara itu, nasib buruh minyak itu tetap saja memprihatinkan. "Dipegang Pak Lurah atau KUD sama saja," ujar Parmin, 50 tahun, yang sudah menambang selama 30 tahun. Maksudnya, dari dahulu penghasilannya tetap: Rp 2 ribu sehari. Toriq Hadad dan Zed Abidien (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini