KEPULAUAN Natuna -- terdiri atas tujuh pulau besar yang disebut Pulau Tujuh -- yang terletak di Laut Cina Selatan, jelas termasuk wilayah Indonesia. Tapi jangan kaget kalau tak semua hukum dan peraturan negara RI berlaku di sana. Misalnya soal ekspor kayu. Telah bertahun-tahun ekspor kayu dilarang pemerintah. Namun, untuk Natuna, yang termasuk wilayah Provinsi Riau, larangan ini tampaknya tidak berlaku. Buktinya, seperti yang disaksikan TEMPO tiga pekan lalu. Ada empat kapal motor berbobot 100 ton yang secara rutin bergiliran mengangkut kayu gergajian ke Kucing. Kayu kruing, meranti, dan agatis dalam seminggunya terangkut minimal 300 m3. Kalau dihitung, karena per meter kubik pasarannya Rp 350 ribu, seorang penjual bisa mengantungi hasil kotor Rp 105 juta. Itu sekali angkut. Jumlah ini hanya terpotong oleh biaya penebangan dan angkutan. Artinya, terbebas dari DJR (Dana Jaminan Reboisasi) yang empat dolar AS per batang, dan IHH (luran Hasil Hutan), yang Rp 4.000 sampai Rp 6.000 per m3. Kendati di kepulauan seluas 2.400 km2 itu aparat pemerintah cukup lengkap, para pencuri kayu ini tampaknya tidak memiliki rasa takut. Mereka dengan tenang -- ditempat terbuka -- mengumpulkan kayu dari para penebang. "Lho, di sini memang tidak ada yang perlu ditakutkan," kata seorang mandor. Menurut dia, kegiatan mereka diketahui oleh semua aparat -- termasuk Polsus, Polisi, Kepala Desa, Syah Bandar, dan Camat. "Sebab, semua juga kebagian jatah," ujarnya lagi. Lelaki yang berusia 35 tahun ini kini memiliki 20 unit chainsaw -- gergaji bermesin yang populer dengan sebutan sensor yang dibelinya secara kredit dari pengusaha di Kucing. Setiap hari paling sedikit ia bisa memperoleh kayu gergajian yang siap jual sebanyak 40 meter kubik. Kayu-kayu tersebut diangkut untuk dikumpulkan di Pulau Sedanau, pulau terbesar di Natuna. Setelah terkumpul, barulah kayu diangkut ke Kucing, Serawak, Malaysia Timur, dan dijual pada tauke yang memberikan kredit senso. Untuk keamanan, sumber ini mengaku bahwa mereka mengeluarkan biaya "khusus" rata-rata Rp 30 ribu per meter kubik. Diperkirakan, saat ini setidaknya ada 200 senso liar beroperasi di Natuna. Di kepulauan ini sekarang baru ada satu perusahaan perkayuan, PT Halmahera Kayu, yang beroperasi sejak setahun lalu, dengan luas HPH 150 ribu hektar. Situasi bisnis kayu yang berlaku di Natuna cukup mengherankan. Hanya dengan secarik surat yang dikeluarkan kantor kecamatan, yang menunjukkan pemilikan kebun, orang bebas membawa kayu ke mana saja. "Surat seperti ini memang cuma sekadar formalitas," ucap sebuah sumber. Situasi seperti ini tidak dipungkiri oleh Oesmanoeddin, Pembantu Bupati Wilayah I Pulau Tujuh, yang membawahkan Kepulauan Natuna. Menurut dia, orang-orang di daerah Sedanau dan sekitarnya memang sering mencuri kayu. "Tapi itu semua akan saya perbaiki," janjinya. Hambatan yang dihadapi Oesman dalam mengawasi wilayahnya adalah sulitnya transportasi. Dari kantornya di Ranai, untuk mengunjungi Sedanau, misalnya, setidaknya dibutuhkan waktu delapan jam dengan menggunakan perahu motor. Kesulitan lain, di Natuna hanya ada beberapa buah telepon. Itu pun masih tradisional -- menggunakan engkol. Jamaluddin, Dirjen Pengusahaan Hutan Departemen Kehutanan, ternyata belum mendapat informasi mengenai situasi Natuna. "Walaupun tidak ada sambungan telepon maupun teleks, kami akan mengecek kesana," ujarnya. Dirjen ini mengaku baru sekarang Natuna terpikirkan. "Itu 'kan pulau kecil, sedangkan kami bekerja per provinsi. Jadi, Natuna ini tidak ada dalam benak saya," ujarnya. Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini