Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Reformasi 1998: Salim Said Sebut Amerika Serikat Sudah Tau Sehari Sebelum Soeharto Lengser

Salim Said menceritakan mendapat telepon William Liddle di AS mengkonfirmasi sehari sebelum Soeharto lengser, kabar itu sudah tersebar di AS.

21 Mei 2024 | 12.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Runtuhnya Orde Baru ditandai lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 menjadi awal baru bagi era Reformasi. Rezim yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade itu ambruk setelah mendapat berbagai tekanan dari berbagai pihak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Catatan kisah ambruknya Orde Baru ini menjadi salah satu warisan yang ditinggalkan mendiang Salim Said, Tokoh Pers dan Perfilman Nasional serta mantan Duta Besar RI untuk Republik Ceko. Dia meninggal dunia setelah sempat dirawat di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Sabtu 18 Mei 2024 pukul 19.33 WIB.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cerita lengsernya Soeharto itu dituangkan Salim Said dalam buku Dari Gestapu ke Reformasi: Rangkaian Kesaksian (2013). Salim Said mengungkapkan, jatuhnya Soeharto sudah ia prediksi sejak tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti dalam Peristiwa 12 Mei 1998.

Kisah itu mirip seperti kala jelang lengsernya Sukarno. Sukarno, Presiden Pertama RI itu juga lengser setelah adanya insiden penembakan yang menewaskan seorang mahasiswa, Arief Rahman Hakim, dalam sebuah unjuk rasa pada 1966. Saat menerima kabar kematian empat mahasiswa Universitas Trisakti, Salim Said tak ragu berujar:

“Kita sedang berada pada hari-hari terakhir rezim Orde Baru," seperti dikutip dari bukunya tersebut.

Benar saja, tewasnya mahasiswa Universitas Trisakti menyulut peristiwa yang lebih besar. Kericuhan terjadi di berbagai tempat. Peristiwa yang kemudian disebut Kerusuhan Mei 1998 itu berubah jadi anarkis rasial. Situasi panas akibat krisis moneter membuat perusuh menyasar etnis Tionghoa yang disebut jadi penyebab paceklik ekonomi.

Lalu muncullah sentimen anti-Tionghoa yang diwujudkan dalam bentuk penjarahan, pembakaran toko dan rumah, serta pelecehan seksual. Kejadian terjadi di berbagai kota antara 13-15 Mei. Bahkan ratusan orang tewas dalam Jakarta membara, 14 Mei. Peristiwa ini masuk dalam deretan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM Berat yang belum rampung hingga detik ini. 

Saat kejadian berlangsung, Soeharto berada di Kairo, Mesir. Setelah pulang dari Mesir pun ia tak kuasa berbuat banyak. Desakan mundur santer dari berbagai pihak. Salim Said menyatakan, kala itu orang-orang tak yakin kekuasaan Soeharto masih dapat bertahan. Meski begitu, sang Jenderal Tersenyum itu masih enggan untuk lengser, menunggu hingga Pemilu 2002.

"Presiden Soeharto berada di Kairo tatkala huru-hara itu terjadi. Bahkan, sebelum Presiden mendarat di pangkalan udara Halim Perdanakusuma menjelang subuh 15 Mei, tidak seorang pun di antara kami yang masih yakin rezim Orde Baru akan bertahan," tulis eks wartawan senior Tempo itu.

Kejatuhan Orde Baru kian nyata setelah demonstrasi demi demonstrasi dilakukan oleh mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat. Puncaknya pada 18 Mei kala mereka berhasil menguasai Gedung DPR/MPR. Pengunjuk rasa, di bawah koordinasi Amien Rais, bahkan berencana menggeruduk Monumen Nasional (Monas) bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei.

Agenda itu gagal digelar setelah Amien Rais ditelepon oleh petinggi TNI untuk membatalkan rencana. Agenda dikawatirkan menyulut tragedi yang lebih luas. Menurut Salim Said, aparat keamanan mempunyai alasan kuat mencegah pengumpulan massa di Monas. Massa dikhawatirkan akan merangsek ke mana-mana. Padahal, di sekitar Monas terletak sejumlah gedung vital.

Untuk mencegah berkumpulnya massa, militer memasang barikade di semua jalan menuju lapangan Monas. Tank, panser, berbagai kendaraan militer lainnya dikerahkan, juga barikade kawat berduri dan sejumlah besar prajurit siap tempur. Amien Rais memang membatalkan rencana pengumpulan massa. Tapi, tentara tak ingin mengambil risiko, dan Monas tetap ditutup dari segala penjuru.

Dalam keadaan tertutup itu, Salim Said mengaku mendapat telepon dari staf Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono untuk hadir pada 20 Mei, pukul 19.00 dalam rapat di Gedung Urip Sumohardjo di Kompleks Departemen Pertahanan dan Keamanan di Jalan Merdeka Barat. Dalam rapat tersebut ternyata dibahas kemungkinan mundurnya Soeharto dan siapa penggantinya.

Salim Said tak tahu bahwa Soeharto akan mundur lebih cepat pada 21 Mei. Dia justru memperoleh kabar itu dari rekannya di Columbus, Ohio, Amerika Serikat, Prof. William Liddle dari Columbus, Ohio. Said mendapat sambungan telepon internasional sebelum subuh jatuh. Telepon itu jelas mengganggu tidur Salim Said, tapi di Amerika Serikat bagian timur memang baru pukul 4 sore.

“Salim, apakah Soeharto betul mundur? Di sini sudah tersiar berita Pak Harto pagi ini akan mengundurkan diri," tulis Salim Said menuturkan ulang percakapan Liddle.

Pertanyaan sekaligus informasi itu mendorong Salim Said menggali kabar soal Soeharto lengser dari Susilo Bambang Yudhoyono lewat jalur telepon. “Betul, Mas, Pak Harto mundur pagi ini,” kata Jenderal yang lebih dikenal sebagai SBY itu. Beberapa jam kemudian di Istana Kepresidenan, seperti sudah diketahui, Soeharto mengumumkan mundur dari jabatan yang didudukinya selama hampir 32 tahun.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus