Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Respons PBNU Soal Polemik Salam Lintas Agama

PBNU menegaskan belum pernah melakukan kajian mendalam perihal masalah salam lintas agama.

2 Juni 2024 | 20.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia atau MUI melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia 2024 telah menetapkan ketentuan ucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram. Menanggapi fatwa MUI itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU menegaskan pihaknya belum pernah melakukan kajian secara mendalam dan membahas secara intens ihwal masalah salam lintas agama.

"PBNU belum pernah melakukan kajian secara mendalam dan membahas secara intens dalam berbagai forum resmi yang ada di lingkungan NU mengenai salam lintas agama," ujar Katib Aam PBNU KH Ahmad Said Asrori dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu, 1 Juni 2024 seperti dikutip Antara.

Ahmad merespons Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII di Bangka Belitung yang menghasilkan panduan hubungan antar-umat beragama berupa fikih salam lintas agama yang menuai pro dan kontra.

"PBNU tidak menugaskan dan memberikan mandat kepada siapa pun untuk berbicara atau menyampaikan pandangan tentang salam lintas agama," tuturnya.

Dia menyebutkan pembahasan atau kajian mengenai salam lintas agama selain dari hasil Ijtima Ulama juga pernah dilaksanakan oleh Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur. Kajian tersebut dilakukan melalui forum Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur pada 2019.

Menurut dia, dalam kesimpulan Bahtsul Masail PWNU tersebut, disebutkan pejabat muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh atau diikuti dengan ucapan salam nasional, seperti selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua, dan seterusnya.

"Namun, dalam kondisi tertentu demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan, pejabat muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama," ucap Ahmad.

Penjelasan MUI Soal Salam Lintas Agama

Adapun Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Arif Fahrudin mengatakan MUI memutuskan mengucapkan salam lintas agama bukan implementasi dari toleransi. Fatwa itu ditetapkan melalui Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII.

Arif menuturkan toleransi beragama tetap memiliki batas. "Tidak semua aspek dalam Islam bisa ditoleransi. Yang tidak diperkenankan Islam adalah motif mencampuradukkan wilayah akidah dan ritual keagamaan, sehingga mengaburkan garis demarkasi antara wilayah akidah dan muamalah," ujar Arif dikutip dari situs web resmi MUI, Sabtu, 1 Juni 2024.

Meski begitu, dia menegaskan toleransi antarumat beragama sangat penting, seperti yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad. Dia menyebutkan karakter itu sangat dicintai oleh Allah SWT. 

Menurut Arif, keputusan dari fatwa itu telah memperhatikan pertimbangan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang plural. Dia mencontohkan, apabila ada suatu wilayah yang penduduknya minoritas beragama Islam, maka secara budaya mereka tak bisa menghindari tradisi interaksi lintas agama.

Sebab, kata dia, sikap itu dinilai sebagai bentuk kerukunan. Jika tidak melakukan salam lintas agama, ada kekhawatiran Islam dipandang tidak mendukung kerukunan antarumat beragama. Maka, mereka dianggap memiliki alasan untuk bersalaman selama tidak diniatkan sebagai ibadah amaliah dan akidah. Begitupun dengan pejabat publik misalnya, ketika menyampaikan sambutan.

“Pejabat juga diharapkan menggunakan redaksi salam nasional agar semua pihak terangkum di dalamnya. Namun, jika hal di atas tidak memungkinkan, maka pejabat publik atau pejabat di pemerintahan juga mendapat alasan syar'i dengan syarat tidak diniatkan sebagai bentuk sinkretisme ibadah, ” ujarnya.

Arif yakin rakyat Indonesia sudah memahami makna toleransi beragama sehingga mereka tidak langsung menghakimi orang yang tidak mengucapkan salam lintas agama. Dia mengatakan jangan sampai ada yang menilai mereka intoleran atau antikebangsaan. Sebaliknya, jika mengucapkan salam lintas agama, otomatis dianggap toleran.

Dia menegaskan pentingnya menjaga moderasi beragama dengan memposisikan toleransi antarumat beragama dengan proporsi yang sama. 

"Saling menghormati, saling menghargai, dan saling memperkuat kerukunan tanpa terjebak ke dalam praktik ekstremisme yang sempit dan toleransi yang melewati batas akidah dan syariah," tuturnya.

AISYAH AMIRA WAKANG | ANTARA

Pilihan editor: Refly Harun Bicara Soal Putusan MA, Anies Baswedan di Pilgub Jakarta, hingga Partai Oposisi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus