Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Riset Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Yogyakarta bersama Persekutuan Gereja Indonesia menunjukkan kebebasan beragama di Indonesia semakin melemah yang ditandai dengan maraknya beragam peraturan di tingkat daerah hingga nasional yang diskriminatif dan menekan kelompok minoritas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Penelitian bertajuk, Mambang Agama: Pergulatan Kerukunan dan Kebebasan di Indonesia menggunakan pendekatan sejarah. Enam peneliti berlatar akademisi dan aktivis melacak gagasan kerukunan dan kebebasan sejak awal kemerdekaan Indonesia Tahun 1945, periode demokrasi terpimpin (sidang konstituante pada 1956-1959), Orde Baru, dan Reformasi lewat amandemen konstitusi 1999 -2002.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Riset yang sedang ditulis dalam bentuk buku berisi tujuh bab dibahas di University Club Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam diskusi terbatas pada Rabu, 17 Mei 2023. Keenam peneliti yang terlibat yakni Trisno S. Sutanto, Maufur, Suhadi Cholil, Asfinawati, Ihsan-Ali Fauzi, dan Zainal Abidin Bagir mengumpulkan beragam data tentang kebijakan, peraturan, dan putusan legal yang relevan. Setelah itu mereka menganalisis untuk melihat sejauh mana gagasan dasar kebebasan dan kerukunan mempengaruhi produk legal itu.
Peneliti juga memperkaya kajian dengan membandingkan dengan tiga negara di Asia Tenggara yakni Singapura, Malaysia, dan Myanmar. Salah satu peneliti yang juga Direktur ICRS, Zainal Abidin Bagir menjelaskan riset itu menekankan pentingnya isu kebebasan beragama, hak asasi manusia, dan demokrasi. Kebebasan beragama dalam konstitusi muncul pada Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen.
Masalahnya, apa yang tertuang dalam konstitusi tidak menjadi pegangan utama dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan kebebasan beragama. "Contohnya aturan tentang penodaan agama," kata Zainal kepada Tempo.
Melalui riset itu, peneliti menemukan peminggiran kebebasan beragama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2020- 2024. Dokumen itu hanya menyebut moderasi beragama sebagai upaya strategis penguatan harmoni dan kerukunan umat beragama. Kebebasan beragama tidak muncul dalam dokumen itu.
Temuan itu menunjukkan betapa kuatnya paradigma kerukunan beragama dan bertahan pada politik agama Indonesia. Padahal istilah itu secara eksplisit tidak pernah muncul dalam perjalanan perumusan konstitusi sejak 1945 hingga periode sekarang.
Perdebatan tentang kebebasan beragama telah ada sejak 1945 sebelum muncul Deklarasi Universal HAM. Kemerdekaan agama juga disebut dalam konstitusi Tahun 1950-1959. "Era konstituante bisa disebut sangat liberal dan merujuk pada Deklarasi Universal HAM," ujar Zainal.
Tapi, dekrit presiden dan kekuasaan Orde Baru menggencet kebebasan beragama. Konsep kerukunan menguat saat rezim Orba karena pemerintah menggunakan agama sebagai alat kontrol untuk mengatur seluruh kehidupan dan tingkah laku warga negara. Gagasan kebebasan kembali menguat saat era reformasi melalui amandemen UUD. Tapi, peraturan menteri, surat edaran bupati, dan perda justru melemahkan kebebasan beragama.
Peneliti lainnya, Asfinawati menyebutkan kerukunan menjadi alat kontrol yang memperkuat pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Contohnya Perda Ketahanan Keluarga pada 2014 dan perda yang berisi tentang moralitas, asusila, dan prostitusi. "Perda-perda dan surat edaran yang menekan kelompok minoritas muncul seperti wabah," kata Asfinawati.
Celakanya, kelompok minoritas tidak mendapatkan kepastian perlindungan hukum. Hubungan negara dan agama dari rezim ke rezim menurut Asfinawati tidak berubah, misalnya norma agama sebagai kewajiban yang harus dipatuhi pembuat undang-undang misalnya di Mahkamah Agung.
Para peneliti juga menyinggung tentang potensi polarisasi akibat persaingan elite politik pada Pemilu 2024. Pemilu 2014 dan 2019 menunjukkan elite politik sukses membelah masyarakar sipil dengan membawa isu agama.
Kualitas demokrasi semakin merosot karena menyempitnya hak sipil dan politik. "Elit politik memecah pendukungnya supaya ke kubu masing-masing, dilakukan berulang kali. Membawa dampak yang panjang," kata Zainal.
Antropolog Universitas Boston Amerika Serikat, Robert William Hefner dan peneliti Institute of International Studies UGM, Diah Kusumaningrum menanggapi dan memberikan catatan kritis terhadap riset itu. Diah menyebutkan tim penulis perlu menjelaskan mengapa menggunakan perspektif sejarah dalam riset ini dan apa sumbangannya untuk pengetahuan sejarah. Selain itu perlu penjelasan tentang visi yang lebih tegas tentang kerukunan dan kebebasan. "Kerukunan sebagai sumber diskriminasi atau seperti apa?," kata Diah.
Robert lebih menekankan tradisi kerukunan yang berakar dan hidup dalam keseharian masyarakat yang majemuk. Konsep kerukunan bukan diciptakan pemerintah, tapi dari hasil perjuangan masyarakat. Contohnya kerukunan dalam masyarakat perdesaan Jawa.
SHINTA MAHARANI