Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Riset Indonesian Parliamentary Center atau IPC mencatat sebagian besar rekomendasi pengawasan DPR periode 2019-2024 terhadap pemerintah tidak ditindaklanjuti. Tren ini menunjukkan DPR telah gagal menjalankan fungsi pengawasannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu disampaikan peneliti IPC, Arif Adiputro, saat memaparkan hasil riset lembaganya di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin, 30 September 2024. Berdasarkan data yang dihimpun IPC, pemerintah hanya menindaklanjuti 37 persen rekomendasi dari DPR. Sedangkan 63 rekomendasi diabaikan oleh pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Rendahnya rekomendasi yang dikerjakan menjadikan DPR hanya sebagai tempat rapat formalitas saja," kata Arif.
Arif mengatakan leluasanya pemerintah periode 2019-2024 mengabaikan rekomendasi DPR merupakan dampak dari hilangnya peran oposisi. Abainya pemerintah terhadap rekomendasi DPR juga menjadikan lembaga tersebut gagal menjalankan fungsi pengawasannya.
"DPR ini tidak dianggap sebagai lembaga pengawas yang diatur dalam konstitusi," kata Arif.
Arif mengatakan tren tersebut bisa berdampak serius bagi keberlangsungan demokrasi dan kontrol terhadap pemerintah. Dia mewanti-wanti jika tren ini terus berlanjut pada periode mendatang, bukan tidak mungkin lembaga eksekutif akan memainkan peran yang sangat dominan dalam pengelolaan negara.
Di saat bersamaan, kata Arif, DPR periode 2019-2024 juga gagal menyerap keresahan dan aspirasi publik. Ada banyak isu penting dan mendesak, tapi DPR tidak menjalankan fungsi pengawasannya. Hal itu terekam dari minimnya penggunaan hak angket selama lima tahun terakhir.
"Hanya ada satu Panitia Khusus hak angket yang dibentuk, yakni hak angket terhadap penyelenggaraan ibadah haji, sedangkan isu lain seperti tragedi Kanjuruhan, kelangkaan minyak goreng, dugaan kecurangan pemilu judi online dan sebagainya tidak dilirik sama sekali," katanya.
Analis Politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto, menyebutkan lemahnya fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah sudah berulang kali terjadi. Dia mengatakan hal tersebut merupakan masalah struktural akibat sistem pemilu yang tidak mapan.
"Sejak 1999 hingga 2019, itu selalu ada perubahan regulasi bagaimana Pemilu diatur. Jadi pemilu kita gagal memperkuat akuntabilitas vertikal wakil rakyat," katanya.
Selain itu, Susanto mengatakan gagalnya DPR menjalankan peran pengawasan juga berhulu dari buruknya demokratisasi di internal parpol. "Faktanya, dan sampai saat ini saya rasa tidak ada partai yang mengklaim secara internal mereka demokratis," kata Susanto.
Faktor tersebut, kata Susanto, tergambar dari buruknya kinerja DPR periode 2019-2024, baik di sektor legislasi maupun pengawasan. Susanto juga pesimistis DPR periode 2024-2029 bisa berbenah.
Susanto mengatakan akan sulit bagi DPR periode berikutnya untuk bisa kritis karena telah tergabung dalam koalisi besar Prabowo-Gibran. "Dengan koalisi besar, kecenderungannya akan mengulangi apa yang kita saksikan pada DPR periode ini," katanya.