Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUFINUS Tigau, 28 tahun, tersentak mendengar rentetan tembakan di perkampungan Jibaguge, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, Senin, 26 Oktober lalu. Petang itu dia sedang bertandang ke honai bapak angkatnya, Antonius Abugau. Beberapa bulan terakhir, suasana Jibaguge mencekam. Hampir setiap hari terjadi baku tembak antara Satuan Tugas Nemangkawi—gabungan Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian—dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Sebagian penduduk mengungsi ke hutan untuk bersembunyi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Begitu tembakan mereda, Rufinus tergopoh-gopoh kembali ke honai miliknya. Di situ ada istri, anak, dan ibunya. Baru masuk halaman, dahinya ditodong moncong senapan. Puluhan aparat keamanan mengepungnya dan berteriak menuduhnya sebagai personel TPNPB. Sambil mengangkat tangan, Rufinus menjelaskan bahwa dia adalah katekis atau guru agama Katolik di Paroki Jalae Sugapa. Namun para pengepungnya menuduh dia sering memberi makan kelompok kriminal bersenjata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mendengar keributan di depan honai, anak dan istri Rufinus keluar dan mencoba melarikan diri. Dor! Dor! Dor! “Saat itulah kepala Rufinus ditembak,” kata Pastor Paroki Santo Mikael Bilogai Yustinus Rahangiar kepada Tempo pada Kamis, 29 Oktober lalu. Datang dengan berjalan kaki ke Jibaguge selama empat jam, Yustinus memperoleh kronologi kejadian dari istri dan ayah angkat korban. Selain Rufinus, seorang bocah bernama Meinus Bagubau menjadi korban dalam tembak-menembak itu. Hari itu juga helikopter datang dan mengangkut Meinus ke Rumah Sakit Umum Daerah Timika untuk mendapatkan perawatan.
Setelah nyawa Rufinus berpisah dari badan, personel keamanan menggali lubang. Mereka mengubur Rufinus tanpa izin keluarganya. Setelah tentara beranjak pergi, barulah masyarakat berkumpul dan menggali lagi kuburan Rufinus. Ada empat luka tembak di tubuh Rufinus: dekat telinga kiri, di ketiak kiri, di perut, dan di bagian panggul menembus paha atas. Dari penuturan sejumlah saksi, Yustinus menyebutkan, para pelaku mengganti celana yang dipakai Rufinus dengan celana lain yang identik dengan pakaian TPNPB. “Keluarga tidak mengenali celana yang Rufinus kenakan,” ucap Yustinus.
Juru bicara Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Besar Ahmad Musthofa Kamal, mengatakan informasi penembakan katekis Katolik dan anak di bawah umur adalah tidak benar alias hoaks. Menurut dia, yang terjadi adalah baku tembak antara tim gabungan TNI-Polri dan kelompok bersenjata yang dipimpin Sabinus Weker. Kepala Penerangan Komando Wilayah Gabungan Pertahanan III Kolonel Czi I Gusti Nyoman Suriastawa mengatakan ada sekitar 50 anggota kelompok itu yang bermarkas di Jibaguge. Personel gabungan telah mendapatkan informasi dari masyarakat dan pantauan drone terhadap aktivitas kelompok tersebut.
Menurut Musthofa dan Suriastawa, kelompok bersenjata itu menembaki rombongan tim gabungan pencari fakta—bertugas menelusuri kematian pendeta Yeremia Zanambani—yang dipimpin Benny Mamoto pada 9 Oktober lalu. Suriastawa mengatakan Rufinus pun terlibat dalam penembakan itu. Ihwal penembakan terhadap Rufinus, Suriastawa mengatakan personel gabungan telah memberi tembakan peringatan. “Setelah itu, keluarga korban meminta dia dikubur,” tutur Suriastawa.
Administrator Diosesan Keuskupan Timika, pastor Marthen Kuayo, dalam pernyataan resminya justru membenarkan bahwa Rufinus sudah lima tahun menjadi katekis. Tugasnya menjadi penerjemah khotbah ke bahasa lokal. Dia pun membantah jika Rufinus disebut sebagai anggota TPNPB. Adapun pastor Yustinus tak menampik kabar bahwa penduduk di Jibaguge kerap memberi makan tentara Papua. “Kalau TNI minta makan, masyarakat juga pasti kasih. Mereka takut dengan orang bersenjata,” kata Yustinus.
WAYAN AGUS PURNOMO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo