Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rumahku (Bukan) Istanaku

Istana Gebang di Blitar, tempat bekas presiden Sukarno pernah tinggal, ditutup untuk umum. Ahli warisnya berebut pengelolaan.

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


GEDUNG putih itu jauh dari kesan modern. Meski berdiri di atas tanah yang cukup luas, rumah di Jalan Sultan Agung di Blitar, Jawa Timur, ini lebih mirip bangunan tua peninggalan zaman Belanda ketimbang sebuah istana. Biar kuno, rumah ini populer. Maklum, kompleks rumah tua bekas milik Belanda ini adalah peninggalan pasangan R. Sokemi Sastrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai, orang tua bekas presiden Sukarno. Di rumah yang masih terawat baik inilah "Putra Sang Fajar" melewatkan masa kecilnya.

Kompleks rumah yang terdiri atas empat bangunan dan dijuluki sebagai Istana Gebang itu—karena dulu banyak tanaman gebang tumbuh di sekitarnya—adalah salah satu tempat tujuan wisata Kota Blitar, entah sejak kapan. Kompleks tanahnya seluas 5.800 meter persegi. Tiap hari ada saja orang datang mengunjungi istana yang dipugar semasa Soeharto berkuasa (1984) itu. Para tukang becaklah yang memopulerkan istana yang terletak tak jauh dari makam Bung Karno tersebut. Caranya, wisatawan yang berkunjung ke makam Sukarno dibujuk untuk sekalian menengok istana itu. Tentu saja dengan tarif khusus, dari biasanya Rp 4.000 menjadi Rp 9.000.

Istana Gebang kini dalam sengketa. Para wisatawan tak bisa lagi melongoknya, dan tukang becak kehilangan rezekinya. Sejak akhir Maret silam, Istana Gebang ditutup untuk umum atas perintah Retno Reny Pujawati (juga dikenal sebagai Renny Brahmana Bausat). Ia adalah salah satu dari dua belas cucu almarhum Soekarmini Wardoyo—kakak perempuan satu-satunya Bung Karno yang menjadi ahli waris rumah pertama.

Renny menutup istana itu karena menganggap pengelolaannya amburadul. "Ada sejumlah barang warisan seperti foto-foto eyang dengan Bung Karno yang hilang," kata Renny. Selain itu, keluarganya (selanjutnya disebut kelompok Surabaya) menghendaki kejelasan tentang lalu-lintas sumbangan dana untuk pengelolaan rumah tersebut. "Selama ini saya tidak tahu sumbernya dari mana," kata Renny.

Penutupan itu diprotes keluarga cucu Soekarmini yang lain, Impuni Herman Moejiriun, yang tinggal di Jakarta (selanjutnya disebut kelompok Jakarta). Menurut Impuni, rumah induk Istana Gebang adalah hak ibunya, Soekartini, yang notabene juga anak Soekarmini Wardoyo. Sedangkan tiga sisa bangunan lain diwariskan kepada tiga saudara laki-lakinya. Bukti kepemilikan tertuang dalam surat wasiat yang dikeluarkan oleh Soekarmini. Hanya, sertifikat tanah tersebut memang tidak pernah dibalik nama oleh Soekartini.

Kelompok Surabaya juga keberatan dengan adanya pemasangan kotak amal untuk menampung sumbangan dari pengunjung. Pemasangan kotal amal tersebut, menurut Renny, mengesankan seolah-olah keluarga Soekarmini Wardoyo mengemis kepada masyarakat. Renny menilai sebaiknya rumah tersebut dikelola secara transparan oleh badan sosial, berupa Yayasan Keluarga Soekarmini.

Namun, Impuni punya alasan. Selama ini, yang mengelola bangunan induk Istana Gebang adalah anak-anak Soekartini. Dari gaji karyawan sampai biaya listrik dan telepon Istana Gebang dibayar oleh keturunan Soekartini. Jumlahnya mencapai sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Uangnya didapat dari sumbangan para ahli waris, dibantu oleh Taufiq Kiemas (suami Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri) serta sumbangan dari pengunjung.

Meski telah menutup tempat itu, Renny menyatakan bahwa sebenarnya suatu ketika bisa dibuka kembali. "Boleh saja rumah tersebut terbuka untuk umum, tapi ada aturannya. Sekarang semua orang bisa masuk, sehingga privasi keluarga kami terganggu," kata Renny seraya menambahkan bahwa pada saat-saat tertentu, anak-anaknya masih suka liburan di Blitar dan menginap di sana. Karena itulah ia berencana menata kembali fungsi rumah itu.

Impuni, sebaliknya, keberatan apabila hak milik yang diwariskan oleh Soekartini diusik oleh orang lain, walaupun itu sebetulnya keluarga mereka sendiri juga.

Di mata salah satu putri Sukarno, Sukmawati, sengketa Istana Gebang sepenuhnya masalah internal ahli waris keluarga Soekarmini Wardoyo. "Keluarga Bung Karno tidak ikut campur sama sekali, meski kalau diminta tentu dengan senang hati akan membantu," katanya kepada Arif A. Kuswardono dari TEMPO.

Walhasil, karena kedua kelompok keluarga itu bersikukuh merasa pihaknya yang paling benar, Istana Gebang pun dibiarkan tertutup sampai kata sepakat didapat. Tinggallah kini para tukang becak yang kehilangan peluang menuai rezeki.

Wicaksono, Gita W. Laksmini, Zed Abidien (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus