Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menghadapi tudingan itu, Usop tak gentar. Cuma, lelaki 65 tahun itu mempertanyakan mengapa orang-orang yang jelas melakukan aksi tidak ada yang dijadikan tersangka. Sejauh ini, figur yang pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur Kalimantan Tengah tersebut belum ditahan. Di rumahnya di Perumahan Dosen Universitas Palangkaraya, pekan lalu ia menerima Bambang Kartika Wijaya dari TEMPO untuk sebuah wawancara. Berikut petikannya.
Kapan Anda dipanggil oleh Mabes Polri?
Saya menerima panggilan melalui faksimile yang saya terima pada Minggu, 15 April lalu. Lalu, saya berangkat dari Palangkaraya tiga hari kemudian. Di Mabes Polri, saya menemui Direktur Pidana Umum, Brigjen Polisi M.D. Primanto.
Apa saja yang ditanyakan?
Saya ditanya sekitar kerusuhan etnis di Kalimantan Tengah. Saya jelaskan bahwa sebagai tokoh masyarakat Dayak, saya mengelola reaksi terhadap aksi, karena pihak Madura sudah menguasai Sampit saat itu. Kami mendapat telepon dari mana-mana. Kami harus melakukan sesuatu untuk membantu masyarakat. Jadi, kami mengelola reaksi spontan dari masyarakat
Mengapa Anda perlu menulis buku?
Kami tidak dapat berbuat apa-apa jika tidak tahu permasalahannya. Lalu, pada saat kejadian, kami pergi ke Sampit selama empat hari, mengumpulkan fakta-fakta di sana. Semua temuan itu kami tuangkan dalam Buku Merah jilid pertama. Fakta-fakta yang kami temukan kemudian kami kumpulkan di Buku Merah kedua.
Pihak penyidik menanyakan ihwal Buku Merah itu juga. Jadi, kami bilang semua itu merupakan kumpulan informasi dan bukti-bukti. Sebab, jika tidak dikerjakan seperti itu, masyarakat tidak tahu apa masalahnya. Akibatnya, terlalu banyak isu yang simpang-siur. Semua orang punya versi masing-masing, tapi tanpa bukti. Jadi, Buku Merah itu bisa dijadikan acuan bagi semua pihak. Malah, buku itu sudah kami sampaikan pula kepada Presiden.
Apa benar surat Anda kepada Bupati Kotawaringin Barat juga ditanyakan?
Saya ditanya tentang surat yang saya kirim ke Bupati Kotawaringin Barat. Saya jelaskan, walaupun ada kesepakatan antara kelompok masyarakat Madura dan Dayak untuk tidak memperluas persoalan, saya mendapat sebuah informasi lain. Kabarnya, pasukan khusus Dayak sudah menyusup ke Pangkalanbun. Ini kan sangat berbahaya. Pangkalanbun bisa menjadi Sampit kedua. Lalu saya tulis surat, apakah sebaiknya orang Madura di Pangkalanbun dicarikan tempat aman.
Benarkah LMMDDKT terlibat dalam kerusuhan di Kalimantan Tengah?
Ya, sebenarnya lembaga ini kan berperan membimbing dan mengarahkan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang kita sepakati di masyarakat majemuk seperti di Indonesia.
Apakah Anda juga mengatakan kepada polisi bahwa orang Dayak menolak orang Madura?
Ya, saya katakan bahwa masyarakat Dayak itu kenyataannya antipati terhadap masyarakat Madura. Jadi, sebenarnya tanpa perlu provokasi pun potensi konflik itu memang sudah ada.
Mungkinkah status Anda berubah menjadi tersangka?
Saya tidak mengharapkan begitu. Saya tidak ingin menjadi tersangka. Kenapa menjadi tersangka? Kan, hanya bereaksi. Orang memukul, kami menangkis. Yang bikin aksi itu mengapa tidak diusut? Masa, kita yang diusut. Kan, lucu. Dengan pikiran begitu, mengapa saya harus menjadi tersangka?
Mengapa pula Anda harus diperiksa di Jakarta?
Ya, saya merasa diperlakukan dengan tidak adil. Tidak enak juga mengapa saya dipanggil ke Jakarta, mengapa tidak ditanyai di Palangkaraya saja. Tapi karena saya menghormati aparat, panggilan itu saya penuhi. Padahal kami kan hanya mengelola reaksi, mengelola akibat perbuatan mereka (orang Madura). Tapi mengapa belum ada aktor dari orang Madura yang dijadikan tersangka?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo