Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Galungan kali ini agak berbeda bagi Ida Bagus Surya Manuaba. Jamaknya, dia merayakan dengan memotong hewan dan melancong. Tapi kali ini tumpeng pun tak tersaji di rumah pejabat Pemerintah Daerah Buleleng, Bali, ini Rabu pekan lalu. Bukan soal harga bahan pangan yang melonjak terseret kenaikan harga bahan bakar. "Saya melaksanakan Galungan Naramangsa," begitu alasannya.
Bagi umat Hindu di Bali seperti Manuaba, hari raya Galungan kali ini memang istimewa. Sebab, perayaannya hampir berbarengan dengan hari raya Nyepi, yang menyusul dua hari kemudian. Galungan wajarnya disambut dengan penuh sukacita karena merayakan kemenangan kebaikan atas kejahatan. Sedangkan Nyepi sebagai peringatan tahun baru Saka 1927 adalah saatnya melakukan "hening diri" dengan cara berhenti sejenak dari rutinitas sehari-sehari, dan umat Hindu wajib menghindari berbagai pantangan. Nah, bertemunya dua hari raya dalam waktu berdekatan ini membuat Galungan disebut Galungan Naramangsa. Siklus Galungan seperti ini sekitar 15 tahun, dan Galungan harus "mengalah" kepada Nyepi.
Menurut pemerhati masalah adat dan agama Hindu, Ida Bagus Gede Agastia, keberadaan Naramangsa telah dijabarkan pada kitab Sundarigama dan Sang Hyang Aji Swamandala. Di sana disebutkan, saat Naramangsa umat Hindu diharamkan ngagalung atau merayakan Galungan sebagaimana biasa. Sehingga mereka harus meninggalkan upacara penyembelihan binatang, memasang penjor, atau sekadar membuat tumpeng. Mereka cukup menggantinya dengan membuat sajen caru yang dicampur dengan keladi serta dialasi dengan daun tlujungan (ujung daun pisang). Jika aturan itu tidak dilaksanakan, konon semua wilayah akan menghadapi penyakit ganas selama bertahun-tahun.
Dalam perhitungan Ida Bagus Gede Agastia, Galungan Naramangsa ini terjadi terakhir kali pada Maret, 15 tahun lalu. Saat itu bulan berada segaris lurus dengan matahari, mendekati khatulistiwa. Bertemunya dua hari raya ini karena memakai penghitungan dua kalender yang berbeda. Galungan dirayakan setiap 210 hari dengan hitungan tahun menurut peredaran bulan, sementara Nyepi dilakukan sebagai awal tahun baru Saka yang dihitung berdasarkan matahari layaknya tahun Masehi. "Berjalan sendiri-sendiri, tapi pada suatu saat bersamaan," kata anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Bali ini.
Namun, tidak semua pimpinan agama Hindu di Bali mengamini perhitungan itu. Pemuka agama Hindu lainnya, I Gusti Gede Goda, membuat rumusan perhitungan lain. Menurut Goda, Galungan Naramangsa hanya terjadi jika kedua hari raya itu terjadi tepat bersamaan. Alhasil, jika mengikuti rumusan I Gusti Gede Goda, Galungan Naramangsa hanya akan terjadi dalam kurun waktu sekitar 100 tahun sekali.
Kedua tokoh ini sebenarnya membaca teks yang sama, namun melakukan penafsiran yang berbeda. Biasanya dalam kondisi ini, agar pemahaman teks itu mendekati aslinya, dilakukan penelitian ilmu filologi terhadap teks yang dibaca dan ajaran yang melingkupinya, dalam hal ini agama Hindu. Rumusan Ida Bagus Agastia sempat menjadi rujukan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) untuk penentuan Galungan 1990. Namun, Paruman Sulinggih (keputusan para pandita Hindu) PHDI Provinsi Bali menggantinya dengan rumusan I Gusti Gede Goda, sejak 1993.
Seperti juga sekarang, PHDI menyatakan Galungan tahun ini bukanlah Naramangsa. "Ini Galungan seperti biasa," kata A.A. Rai Andayana, salah satu pengurus PHDI Bali. Dia menegaskan bahwa kalangan Sulinggih memiliki otoritas atas tafsir teks-teks suci. Tetapi, bila ada warga yang berkeyakinan lain, PHDI tidak mempunyai kewenangan memaksa. "Kalaupun ada sanksi atau hukuman, tentu akan diterima pada saatnya nanti di alam yang lain," kata Rai Andayana.
Lalu, bagaimana masyarakat Hindu di Bali pekan lalu merayakan Galungan? Sebagian besar mengikuti petunjuk PHDI, karena di situlah berkumpul para pendeta pemuka agama Hindu. Bali tetap meriah, penjor berdiri di sepanjang jalan. Namun, umat yang merayakannya dengan "cara lain" tidak juga dilarang oleh pemuka adat. "Lebih baik saya tidak ikut ketentuan majelis (PHDI) daripada menggugurkan keyakinan yang bersumber dari bisikan hati nurani," kata Ida Bagus Surya Manuaba, pejabat Pemda Buleleng tadi. Manuaba merayakan dengan pedoman Naramangsa. Sebagian mereka yang merayakan Galungan seperti biasa pun tidak takut akan "hukuman" yang disebut-sebut itu. "Hyang Widhi (Tuhan) tak akan menghukum umatnya yang taat sembahyang. Beragama jangan dilandasi oleh rasa takut, tetapi harus dengan tulus dan bakti," kata Made Artha, Ketua PHDI Provinsi Bali.
Polemik Galungan memang hanya terjadi di Bali, karena ajaran Hindu membolehkan perayaan kemenangan dharma (kebaikan) atas adharma (kejahatan) memakai budaya setempat. Mitologi Galungan diambil dari kemenangan rakyat Bali atas kepemimpinan yang sewenang-wenang dari Prabu Maya Denawa pada abad ke-8. Di India, "perayaan kemenangan" ini menggunakan mitologi kemenangan Rama melawan Rahwana.
Agung Rulianto, Agriceli, Rofiqi Hasan (Denpasar), Made Mustika (Buleleng)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo