Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahukah Anda apa itu keadilan?" tanya Ayatullah Khomeini. Dan pemimpin revolusi Iran itu meneruskan, dengan jawaban yang hanya separuh jawaban: "Jika Anda tak tahu, tanyakanlah ke nalar Anda, sebab nalar bertindak bagaikan mata bagi manusia."
Kali ini, dengan separuh jawaban itu, Khomeini keliru. Dengan gampang orang bisa menunjukkan bahwa keadilan tak pernah bisa diterangkan oleh nalar, dan bahwa nalar tak selamanya bertindak bagaikan "mata", dan bahwa perumpamaan itu meleset.
Saya punya sebuah pengalaman tentang itu. Saya pernah memimpin sebuah tim. Pada suatu waktu, kepada tiap anggota tim disediakan fasilitas dan penghargaan, berupa sebuah mobil. Untuk keadilan, sebuah jip dengan ukuran yang sama dan merek yang sama diberikan kepada setiap orang, sejak dari ketua tim sampai anggota di bawahnya yang berbeda-beda. Bagi saya, setelah ada perbedaan gaji, tak perlu ada tambahan perbedaan fasilitas, yang akhirnya lebih bersifat simbolis ketimbang fungsional. Bagi saya tak adil bila yang di atas kian banyak mendapat, yang di bawah tidak.
Sekitar setahun sistem ini berjalan. Kemudian beberapa anggota tim yang merasa punya beban kerja yang lebih besar mulai berpikir. Mereka akhirnya berkesimpulan bahwa tak adil menutup kemungkinan bagi yang punya beban kerja lebih besar buat menikmati fasilitas yang lebih baik, di samping gaji yang lebih tinggi. Keadilan di sini berasas penghargaan yang berbeda sesuai dengan kontribusi yang berbeda pula. Sama-rasa-sama-rata dianggap tak adil. Kata-kata Cicero berlaku: "Keadilan yang ekstrem adalah ketak-adilan yang ekstrem".
Argumen ini menang. Sejak itu ada beberapa jenis dan merek mobil dalam tim kami, karena yang bekerja lebih keras dan lebih mampu dapat mobil yang tak hanya sebuah jip. Keadaan ini diterima oleh kebanyakan anggota timmeskipun bagi saya ganjil.
Sejak itu jika saya ditanya, "Tahukah Anda apa itu keadilan?" saya akan angkat bahu. Adakah keadilan, jika subsidi BBM dicabut, dan beban orang yang lebih miskin akan memberatkarena menambah belanja Rp 500 baginya akan terasa lebih menguras kantong ketimbang bagi si kaya?
Kita akan menjawab: tidak, Bung! Tapi sebuah pertanyaan lain juga dapat diajukan: adilkah jika sedikit sekali uang negara yang bisa dipakai buat pendidikan dan kesehatan, dibanding dengan begitu besar dana yang dikeluarkan untuk menombok ongkos bahan bakardi antaranya bensin bagi para pemilik Jaguar, Audi, BMW, Mercedes Benz?
Akan makin adilkah jika nanti, dua tahun lagi, subsidi dicabut? Jika harga minyak di dunia mencapai US$ 80 per barel, sementara impor minyak bumi akan bertambah, dan Indonesia kian bergantung pada energi dari luar, bersama dengan kian menurunnya produksi dalam negeriadilkah bila sebagian besar dana habis di sini?
Maaf, saya angkat bahu: tak ada yang bisa ditentukan secara a priori. Tentang keadilan, saya tak akan mengutip Khomeini. Ia begitu percaya kepada nalar sebagai pemberi jawab. Saya lebih percaya nalar sebagai pemberi pertanyaan. Tiap kali saya memandang lambang keadilandewi yang memegang dacin dengan mata dibalut penutuptiap kali saya menafsirkannya sebagai tanda bahwa keadilan adalah sebuah keputusan yang bermula dari posisi tak melihat.
Sebab, keadilan selalu hadir tapi nyaris tak terlihat. "Ada keadilan," kata Jules Renard, penulis Poil de carotte itu, "tapi kita tak selalu melihatnya. Keadilan tak menonjolkan diri, tapi ia ada, tersenyum, di sebelah sana, agak di belakang ketak-adilan, yang membuat heboh."
Sejarah manusia memang sejarah yang terjadi ketika ketak-adilan membuat heboh. Orang justru hidup dengan imajinasi tentang keadilandan sebab itulah keadilan "ada" bagaikan sebayang mambang, sekilas jejakketika yang dibicarakan itu tak ada. Sejarah menunjukkan bahwa hidup terbentuk justru oleh kekurangan.
Demikianlah pada mulanya imajinasi, bukan nalar, sebab keadilan pertama-tama lebih bersipongang sebagai retorika ketimbang rumus, lebih berwujud penggugah hati ketimbang konsep yang selesai. Ia seperti cakrawala di seberang pantai: sesuatu yang mirip garis panjang di mana langit menyentuh bumidan kita akhirnya tahu bahwa langit tak pernah menyentuh bumi.
Dengan imajinasi itu manusia berusaha, dan politik terjadi. Karena keadilan selalu berarti keadilan dalam hubungannya dengan orang lain, usaha menegakkannya berlangsung lewat perundingan, tuntut-menuntut, tawar-menawar, dan tak jarang adu kekuatan dan pertumpahan darah.
Tapi tak dapat dikatakan bahwa nalar tak punya peran sama sekali di sini. Untuk membuat keadilan singgah dalam ruang hidup kita, senjata mungkin perlu dihunus, tapi tak mungkin hanya itu. Keadilan baru "keadilan", dan meyakinkan sebagai keadilan, bila ia sesuatu yang berlaku bagi siapa saja. Dalam tiap adu kekuatan itu selalu tersirat seruan tentang sesuatu yang universal.
Nalarlah yang merumuskan yang universal itu. Karl Marx menyaksikan dengan pedih ketak-adilan yang ditanggung kaum buruh, tapi ia tak hanya bersuara dengan dengus dan cerca. Ia berbicara tentang sebuah "sosialisme ilmiah". Ia berbicara tentang revolusi dengan teori dan angka-angka. Das Kapital, yang baru-baru ini selesai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan sangat mengesankan, melalui kerja keras Oei Han Djoen, adalah sebuah bentuk dorongan untuk membuktikan bahwa keadaan yang tak adil harus dipaparkan agar diterima siapa saja dan kapan saja, tak hanya kaum proletar. Rasionalitas adalah bagian yang tak terelakkan dari politik keadilan.
Ia bukan segala-galanya, tentu. Tapi demikian juga yang "bukan-rasio", yang "bukan-nalar": perut yang lapar, hati yang marah, mata yang basah, kaki yang luka. Tiap kali kita menengok kembali apa yang terjadi dalam sejarah, kita tahu "keadilan" adalah jejak universal yang tidak satu.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo