Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tergagap di Tingkat Lokal

Pemda kikuk mendata penduduk. Problem di tingkat pusat masih jauh dari beres. Ketika si miskin bertambah miskin.

14 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETAHUN terakhir tak ada perubahan berarti dalam kehidupan Rosadi. Usaha berjualan sate maranggi yang padam sejak tahun lalu tetap tak berasap. Untuk memasak saja, kepala keluarga yang masih menanggung dua anak sekolah menengah pertama itu mengandalkan kayu bakar. Kompor minyak tanahnya sudah lama istirahat. Alas rumahnya di Desa Babakan Jati, Kelurahan Adiarsa Timur, Karawang, Jawa Barat, itu masih asli tanah.

Sejak Juli tahun lalu ia memegang kartu keluarga miskin yang diterbitkan Bupati Karawang. Namun fasilitas yang mestinya ia nikmati, seperti beras murah Rp 1.000 per liter dan beasiswa pendidikan, lewat begitu saja, tak menghampiri rumahnya. "Kami tetap membeli beras Rp 2.500 dan membayar uang sumbangan pembangunan dan pendidikan si bungsu Rp 25 ribu per bulan," kata Cicih, istri Rosadi.

Kini, setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), beban hidup keluarga miskin itu makin berat. Menurut Rosadi, hingga kini tak ada pemberitahuan perihal penyaluran dana kompensasi BBM oleh pemerintah daerah. "Enggak pernah dapat penyuluhan," katanya, bagai di tengah kegelapan.

Tetangga Rosadi, sebut saja Adung, juga tak tahu-menahu soal dana kompensasi itu. Meski pemerintah mengampanyekan program ini lewat televisi dengan menampilkan pelawak Bolot segala macam, "Semua orang desa bingung," ujar Adung, tokoh masyarakat di lingkungannya. Dia malah bertanya, "Sebetulnya siapa, sih, yang berhak menerima dana subsidi itu?"

Di Tangerang, Banten, keluarga buruh yang banyak menjadi penganggur akibat pemutusan hubungan kerja dan pabrik tutup, November lalu, seperti tak tersentuh program dana kompensasi. Sastro dari Federasi Serikat Buruh Karya Utama mengaku belum ada pendataan dari pemerintah daerah. "Kami prihatin, apalagi banyak anggota kami buruh perempuan yang punya bayi dan balita," katanya.

Apa sebetulnya yang terjadi? Pemerintah daerah, yang berperan lebih besar dalam penyaluran dana kompensasi bagi si miskin, rupanya masih bingung akan peran barunya. Berbekal semangat otonomi daerah, pemerintah pusat memang menyerahkan sebagian tugasnya ke pemerintah daerah.

Menurut Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Dedi M. Masykur Riyadi, proses penyaluran dana program kompensasi BBM berdasarkan struktur pemerintah daerah. Jadi, mulai dari tingkat terendah rukun tetangga (RT) hingga pemerintah provinsi. Tapi, rupanya di tingkat lokal proses itu tergagap-gagap.

Simak saja pengakuan Bupati Karawang, Achmad Dadang. Meskipun sudah memiliki tujuh kriteria warga yang bisa digolongkan miskin, pihaknya belum melakukan pendataan terkini. "Sambil melakukan koordinasi dengan pusat dan provinsi, dalam satu-dua pekan lagi kami akan memperbarui data," katanya. Jadi, masih satu-dua pekan lagi.

Sutrisno, Kepala Desa Kronjo, Tangerang, Banten, lain pula bingungnya. Meski dipastikan mendapat jatah seratus kartu jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin (JPKMM), ia tetap gelisah. Sebab, dari sekitar 9.000 warganya, lebih dari seribu tergolong miskin. "Semuanya minta kartu itu," katanya. "Bagaimana membaginya secara adil?"

Aparat Desa Kelapa Dua, Curug, Tangerang, malah belum punya kriteria dan prosedur yang tepat mendata si miskin. Karena itu, mereka belum melakukan kegiatan apa pun. "Kami menunggu perintah atasan saja," ujar Syamsudin, staf Kepala Desa Kelapa Dua.

Kebingungan di tingkat lokal ini tentu berimbas ke pemerintah pusat. Sebab, data makro yang dipakai setiap departemen terkait harus diperbarui di tingkat lokal, lewat pemerintah daerah. Departemen Kesehatan, misalnya, menyatakan hingga akhir bulan ini baru bisa mendata 18 juta dari 36,1 juta penduduk miskin versi Badan Pusat Statistik (BPS).

"Klarifikasi ini melibatkan petugas PT Askes, pegawai departemen, dan para tokoh lokal," ujar Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari kepada Maria Ulfah dari Tempo. Ia memperkirakan seluruh data baru rampung pada Juni. Di Departemen Pendidikan Nasional, problem pendataan ini relatif lebih ringan. Data murid miskin di tingkat lokal sudah tersimpan rapi oleh sekolah yang bersangkutan, persis model tahun sebelumnya.

Apalagi, audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan 2003 menilai penyaluran dana kompensasi BBM di sektor pendidikan sangat berhasil (skornya 90-100 persen). "Sampai sejauh ini tiada kendala di prosedur penyaluran," kata Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo.

Sektor infrastruktur pedesaan juga masih bergantung pada data lokal. Meski begitu, Departemen Pekerjaan Umum sudah punya prioritas kegiatan: perbaikan jalan desa. Setelah itu, baru pembangunan instalasi air minum dan hidran umum. "Kami akan cocokkan data BPS dengan data lapangan oleh pemerintah kabupaten dan kecamatan," kata Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto kepada Agricelli dari Tempo.

Joko Kirmanto memperkirakan dana kompensasi infrastruktur pedesaan ini bisa terlaksana paling cepat Juli. BPS sendiri mencatat ada 11.140 desa miskin di Indonesia yang tersebar di 31 provinsi dan 419 kabupaten. Tapi, pemerintah pusat juga direpoti urusan baru: Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) meminta dana kompensasi BBM.

Nilainya juga cukup besar: Rp 600 miliar, untuk kegiatan pembangunan perkampungan nelayan dan dana mikro kepada keluarga nelayan. "Ada tambahan dari DKP, nilainya sedang dihitung," kata sumber Tempo di Bappenas. "Indikasinya, sih, bakal disetujui, sehingga semuanya jadi sembilan sektor."

Urusan baru lain adalah perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ingin dana kompensasi bagi pengusaha angkutan, setelah inspeksinya ke berbagai pelabuhan dan terminal dua pekan terakhir. Presiden ingin harga baru BBM tidak menyebabkan tarif angkutan naik terlalu besar. Untunglah, pemerintah tidak memberikan kompensasi berupa dana kontan seperti di sektor lainnya.

Pemerintah pun bergerak cepat. Kamis pekan lalu, Menteri Keuangan Yusuf Anwar mengaku sudah meneken kebijakan insentif kepada pengusaha bus itu. "Hari ini suratnya saya teken. Keringanan bea masuk itu antara lain untuk sasis angkutan dan suku cadang." Insentif itu membuat pemerintah kehilangan pendapatan dari bea masuk Rp 150 miliar per tahun.

Sekarang tinggal urusan dengan lembaga legislatif. Sebab, dana kompensasi BBM itu ternyata baru bisa dicairkan oleh Departemen Keuangan jika Dewan Perwakilan Rakyat sudah menyetujui. "Dana kompensasi BBM Rp 10,5 triliun tergantung pembahasan APBN Perubahan 2005 dengan DPR," ujar Dirjen Anggaran Departemen Keuangan, Achmad Rohjadi. Artinya, masih perlu waktu. Padahal si miskin langsung makin miskin sejak harga BBM dinaikkan.

M. Syakur Usman, Mawar Kusuma, Nanang Sutisna (Karawang), Ayu Cipta (Tangerang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus