Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Santri kecil dari sidayu

Pesantren mambau-i-ikhsan untuk anak-anak sekitar 5 sampai 6 tahun di sidayu, gresik. para calon santri harus antre setahun sebelumnya, karena banyaknya peminat. (pdk)

10 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSIS hari ketujuh dalam Ramadhan, Syaifuddin, Ulil Absor, dan Chafidin bersorak gembira. Rupanya mereka, alhamdulillah, mampu menyelesaikan puasanya sehari penuh. Pada hari-ari sebelumnya, mereka hanya kuat sampai beduk waktu lohor (tengah hari). Maklum, ketiga anak itu masih sekitar 6,5 tahun meskipun mereka adalah calon santri dari Pesantren Mambau-l-lkhsan, Sidayu, 23 km dari kota semen Gresik, Jawa Timur. Mambau-l-Ikhsan yang telah berjalan 30 tahun, semacam pesantren taman kanak-kanak. Mungkin satu-satunya di Indonesia. Banyak orangtua yang hendak menyantrikan anak harus antre. Paling sedikit satu tahun sebelumnya mereka harus sudah mendaftar. Untuk tahun ajaran baru yang akan dimulai 15 Syawal nanti, misalnya, pendaftaran sudah ditutup setahun yang lalu, karena sudah penuh. Para pendaftar tahun ini, akan menjadi calon santri tahun mendatang. Mambau-l-Ikhsan tiap tahun menerima 180 anak, separuh di antara mereka perempuan, sekitar usia 5,5-6,5 tahun. Pendidikan di sana berjalan selama dua tahun. Para calon santri diharuskan tinggal bermukim di pondok. "Maka orangtua harus tega dan ikhlas sepenuhnya menyerahkan anaknya ke mari," kata Kiai Haji Mohammad bin Shofwan, 73 tahun, pendiri pesantren ini. Kini sekitar 350 anak belajar membaca AlQuran di sana, diasramakan dalam 6 pondok. Sebagaimana di pesantren dewasa, Mambau-l-Ikhsan pun menerapkan jadwal kegiatan sehari-hari yang harus dipatuhi anak didiknya. Pukul 04.30, mereka bangun, mandi dan sholat subuh. Beberapa menit menjelang pelajaran dimulai, pukul 08.00, mereka sudah harus hadir di lokal belajar masing-masing. Tak ada bangku seperti di sekolah biasa. Mereka hanya duduk di lantai beralaskan tikar, menghadapi meja kecil panjang tempat meletakkan kitab. Sementara ustadz, guru pesantren, duduk di bangku kecil, memegang sepotong rotan, mengawasi kelas. Tapi jangan dikira ustadz mengawasi dengan keras dan siap memukul dengan rotan. Suatu hari sebelum Ramadhan, misalnya, kebetulan Wak Haji -- panggilan sehari-hari buat K.H. Mohammad bin Shofwan -- sendiri yang mengajar di salah satu lokal. Si kecil Herry sedang membaca Surah Al-Baqorah untuk dua ain. Mungkin ia lagi flu, ingusnya sering nampak meleleh, sebentar-sebentar disedotnya kembali, mengganggu kelancarannya mengaji. Tak ada teguran Wak Haji. Beberapa anak malahan tersenyum-senyum. Sementara ada yang tidur-tiduran setelah mendapat: giliran mengaji hari itu. Baru sesudah Herry selesai mengaji, berkata Wak Haji: "Sekarang keluarkan ingusmu itu." "Suasana seperti itu biasa di sini," kata Abdul Hakim, salah seorang ustadz yang mendampingi Wak Haji. "Kita tak boleh bersikap terlalu keras." Pelajaran di sana tak hanya membaca Al Quran. Ada pelajaran Taukhid, Fiqih. Ada juga pelajaran tambahan seperti matematika (berhitung), dan bahasa Indonesia. Dengan sistem membaca alif-ba-ta tiap hari murid baru dikenalkan dengan empat huruf Arab. Tiap hari pelajaran ditingkatkan, bagaimana buyi huruf-huruf itu bila mendapat harakat, fathah, dlomah, dan kasrah. Selama 12 bulan ditanggung anak itu sudah bisa membaca Al Quran dari awal. Rahasianya, meskipun jam belajar di lokal hanya sampai menjelang sholat lohor, sesudah asar sampai maghrib, mereka diharuskan belajar berkelompok di pondok masing-masing. Belajar berkelompok ini dilanjutkan sesudah sholat Isya sampai tiba waktu tidur, pukul 23.00. Tentu saja ada hari libur, ialah Jumat. Kemudian tiga hari pada Idul Adha, dua hari tiap Maulud. Ditambah lagi tiap tanggal 20 Sya'ban sampai dengan 1 Ramadhan. Bulan puasa, seperti sekarang ini, mereka masuk sampai 20 Ramadhan. Kebanyakan calon santri itu datang dari sekitar Sidayu. Ada juga yang datang dari kota yang jauh. Malahan kini ada juga yang datang dari Jakarta dan Lampung. Dari mana saja datang, mereka hanya diharuskan membayar Rp 10 ribu per bulan. Dengan perincian Rp 7 ribu untuk uang makan dan pondok, sisanya untuk keperluan lain, termasuk uang jajan anak-anak. "Memang ada orangtua yang mengirim lebih, terutama yang datang dari jauh," tutur Abdul Muqsith, 38 tahun, sarjana muda IAIN Sunan Kalijaga, anak pertama Wak Haji. "Kelebihan itu kami simpan." Boleh dikata Mambau-l-Ikhsan berdiri secara kebetulan saja. Abdul Muqsith, anak sulung Wak Haji yang kini ikut mengurus pesantren ini, waktu kecil tak mau sekolah. Ia lebih suka melihat-lihat ayahnya mengajar mengaji kepada orang-orang dewasa. Akhirnya Wak Haji memutuskan untuk menjadi guru bagi anaknya itu. Ya guru mengaji, ya guru menulis dan membaca latin, bahasa Indonesia, bahkan berhitung. ENTAH sudah bakat Wak Haji menjadi guru, ternyata Abdul sukses bahkan lantas mau sekolah. Melihat itulah, lantas para tetangganya pun ingin menitipkan anak pada Wak Haji. Pesantren ini secara tak terasa menanamkan disiplin dan tanggung jawab. Juga ia menanamkan sikap hidup sederhana -- seperti lazimnya pesantren dewasa. Anak-anak itu pun tidur hanya beralaskan sehelai tikar. Bahkan di bulan puasa mereka belajar lebih berat. Bangun lebih awal untuk makan sahur, sesudah itu harus tadarus. Lantas mereka belajar seperti hari-hari biasa, sampai pukul 11.30. Ketika beduk lohor terdengar, mereka dibebaskan memilih, untuk melanjutkan puasa sampai maghrib, atau segera berbuka. Sekuatnya, "tak ada paksaan," tutur Abdul Muqsith. Bagaimana perkembangan anak-anak itu setelah tamat dari pesantren ini, Mambau-l-Ikhsan memang tak mengikutinya. Yang jelas, sekolah sekitar Sidayu langsung menerima mereka di kelas II SD atau kelas II Ibtidaiyah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus