PERSIS hari ketujuh dalam Ramadhan, Syaifuddin, Ulil Absor, dan
Chafidin bersorak gembira. Rupanya mereka, alhamdulillah, mampu
menyelesaikan puasanya sehari penuh. Pada hari-ari sebelumnya,
mereka hanya kuat sampai beduk waktu lohor (tengah hari).
Maklum, ketiga anak itu masih sekitar 6,5 tahun meskipun
mereka adalah calon santri dari Pesantren Mambau-l-lkhsan,
Sidayu, 23 km dari kota semen Gresik, Jawa Timur.
Mambau-l-Ikhsan yang telah berjalan 30 tahun, semacam pesantren
taman kanak-kanak. Mungkin satu-satunya di Indonesia. Banyak
orangtua yang hendak menyantrikan anak harus antre. Paling
sedikit satu tahun sebelumnya mereka harus sudah mendaftar.
Untuk tahun ajaran baru yang akan dimulai 15 Syawal nanti,
misalnya, pendaftaran sudah ditutup setahun yang lalu, karena
sudah penuh. Para pendaftar tahun ini, akan menjadi calon santri
tahun mendatang. Mambau-l-Ikhsan tiap tahun menerima 180 anak,
separuh di antara mereka perempuan, sekitar usia 5,5-6,5 tahun.
Pendidikan di sana berjalan selama dua tahun. Para calon santri
diharuskan tinggal bermukim di pondok. "Maka orangtua harus tega
dan ikhlas sepenuhnya menyerahkan anaknya ke mari," kata Kiai
Haji Mohammad bin Shofwan, 73 tahun, pendiri pesantren ini. Kini
sekitar 350 anak belajar membaca AlQuran di sana, diasramakan
dalam 6 pondok.
Sebagaimana di pesantren dewasa, Mambau-l-Ikhsan pun menerapkan
jadwal kegiatan sehari-hari yang harus dipatuhi anak didiknya.
Pukul 04.30, mereka bangun, mandi dan sholat subuh. Beberapa
menit menjelang pelajaran dimulai, pukul 08.00, mereka sudah
harus hadir di lokal belajar masing-masing. Tak ada bangku
seperti di sekolah biasa. Mereka hanya duduk di lantai
beralaskan tikar, menghadapi meja kecil panjang tempat
meletakkan kitab. Sementara ustadz, guru pesantren, duduk di
bangku kecil, memegang sepotong rotan, mengawasi kelas.
Tapi jangan dikira ustadz mengawasi dengan keras dan siap
memukul dengan rotan. Suatu hari sebelum Ramadhan, misalnya,
kebetulan Wak Haji -- panggilan sehari-hari buat K.H. Mohammad
bin Shofwan -- sendiri yang mengajar di salah satu lokal. Si
kecil Herry sedang membaca Surah Al-Baqorah untuk dua ain.
Mungkin ia lagi flu, ingusnya sering nampak meleleh,
sebentar-sebentar disedotnya kembali, mengganggu kelancarannya
mengaji. Tak ada teguran Wak Haji. Beberapa anak malahan
tersenyum-senyum. Sementara ada yang tidur-tiduran setelah
mendapat: giliran mengaji hari itu. Baru sesudah Herry selesai
mengaji, berkata Wak Haji: "Sekarang keluarkan ingusmu itu."
"Suasana seperti itu biasa di sini," kata Abdul Hakim, salah
seorang ustadz yang mendampingi Wak Haji. "Kita tak boleh
bersikap terlalu keras." Pelajaran di sana tak hanya membaca Al
Quran. Ada pelajaran Taukhid, Fiqih. Ada juga pelajaran tambahan
seperti matematika (berhitung), dan bahasa Indonesia.
Dengan sistem membaca alif-ba-ta tiap hari murid baru
dikenalkan dengan empat huruf Arab. Tiap hari pelajaran
ditingkatkan, bagaimana buyi huruf-huruf itu bila mendapat
harakat, fathah, dlomah, dan kasrah. Selama 12 bulan ditanggung
anak itu sudah bisa membaca Al Quran dari awal.
Rahasianya, meskipun jam belajar di lokal hanya sampai
menjelang sholat lohor, sesudah asar sampai maghrib, mereka
diharuskan belajar berkelompok di pondok masing-masing. Belajar
berkelompok ini dilanjutkan sesudah sholat Isya sampai tiba
waktu tidur, pukul 23.00.
Tentu saja ada hari libur, ialah Jumat. Kemudian tiga hari pada
Idul Adha, dua hari tiap Maulud. Ditambah lagi tiap tanggal 20
Sya'ban sampai dengan 1 Ramadhan. Bulan puasa, seperti sekarang
ini, mereka masuk sampai 20 Ramadhan.
Kebanyakan calon santri itu datang dari sekitar Sidayu. Ada juga
yang datang dari kota yang jauh. Malahan kini ada juga yang
datang dari Jakarta dan Lampung.
Dari mana saja datang, mereka hanya diharuskan membayar Rp 10
ribu per bulan. Dengan perincian Rp 7 ribu untuk uang makan dan
pondok, sisanya untuk keperluan lain, termasuk uang jajan
anak-anak. "Memang ada orangtua yang mengirim lebih, terutama
yang datang dari jauh," tutur Abdul Muqsith, 38 tahun, sarjana
muda IAIN Sunan Kalijaga, anak pertama Wak Haji. "Kelebihan itu
kami simpan."
Boleh dikata Mambau-l-Ikhsan berdiri secara kebetulan saja.
Abdul Muqsith, anak sulung Wak Haji yang kini ikut mengurus
pesantren ini, waktu kecil tak mau sekolah. Ia lebih suka
melihat-lihat ayahnya mengajar mengaji kepada orang-orang
dewasa. Akhirnya Wak Haji memutuskan untuk menjadi guru bagi
anaknya itu. Ya guru mengaji, ya guru menulis dan membaca latin,
bahasa Indonesia, bahkan berhitung.
ENTAH sudah bakat Wak Haji menjadi guru, ternyata Abdul sukses
bahkan lantas mau sekolah. Melihat itulah, lantas para
tetangganya pun ingin menitipkan anak pada Wak Haji.
Pesantren ini secara tak terasa menanamkan disiplin dan tanggung
jawab. Juga ia menanamkan sikap hidup sederhana -- seperti
lazimnya pesantren dewasa. Anak-anak itu pun tidur hanya
beralaskan sehelai tikar. Bahkan di bulan puasa mereka belajar
lebih berat. Bangun lebih awal untuk makan sahur, sesudah itu
harus tadarus. Lantas mereka belajar seperti hari-hari biasa,
sampai pukul 11.30. Ketika beduk lohor terdengar, mereka
dibebaskan memilih, untuk melanjutkan puasa sampai maghrib, atau
segera berbuka. Sekuatnya, "tak ada paksaan," tutur Abdul
Muqsith.
Bagaimana perkembangan anak-anak itu setelah tamat dari
pesantren ini, Mambau-l-Ikhsan memang tak mengikutinya. Yang
jelas, sekolah sekitar Sidayu langsung menerima mereka di kelas
II SD atau kelas II Ibtidaiyah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini