Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tiga tokoh nasional mendapatkan Ki Hadjar Dewantara Award pada puncak perayaan Satu Abad Taman Siswa di Pendapa Agung Taman Siswa Yogyakarta, Ahad 3 Juli 2022. Ketiga tokoh tersebut adalah Nyi Hadjar Dewantara sebagai pendamping Ki Hadjar Dewantara, Ir Soekarno sebagai proklamator, dan Drs Mohammad Hatta selaku proklamator.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, agenda perayaan Seabad Taman Siswa ini pun berisikan beberapa kegiatan. Di antaranya adalah peluncuran buku, perangko, dan penandatanganan prasasti 1 Abad Taman Siswa, serta gelar budaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melansir teras.id, Menteri Pendidikan Kebudayaan Ristek dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim pun memberikan sambutan secara virtual mewakili Presiden Jokowi. Menurutnya, perjuangan Tamansiswa dilakukan demi memerdekakan Indonesia dalam ranah pendidikan.
“Penjajahan waktu itu bukan bukan hanya fisik, tapi juga pembatasan pendidikan, sehingga bangsa Indonesia tidak bisa maju,” ujar Nadiem Makarim.
Lantas, bagaimanakah awal mula perjuangan para tokoh nasional mendirikan Taman Siswa pada 100 tahun yang lalu? Berikut awal mula sejarah dan penjelasannya.
Kisah Seabad Taman Siswa
Pada 3 Juli tahun 1992, pria dengan nama asli Suwardi Suryaningrat atau dikenal Ki Hajar Dewantara membangun sekolah bernama Taman Siswa di Kota Jogja, Daerah Istimewa Yogyakarta. Makna dari kata ‘taman’ ialah tempat untuk bermain atau tempat belajar, sedangkan kata ‘siswa’ berarti murid.
Awal mula sekolah ini berdiri, Ki Hajar bersama paguyuban Sloso Kliwon merealisasi gagasan dengan memberi nama National Onderwijs Institut Taman Siswa. Di saat berdiri, Taman Siswa merupakan sekolah swasta atau disebut partikelir karena dibangun tanpa tanpa mendapatkan subsidi dari pemerintahan Belanda.
Ki Hajar dikenal kritis untuk melawan sistem pendidikan yang diterapkan oleh Belanda. Menurutnya, metode yang dipakai Belanda hanya menanamkan sifat intelektualis, individualis, dan materialis.
Terutama dalam menilai pendidikan kolonial bersifat diskriminasi rasial atau dikhususkan untuk beberapa golongan, baik masyarakat Belanda atau pribumi keturunan priyayi.
Hal ini diperkuat oleh pembatasan yang dilakukan oleh Belanda saat itu. Mereka menganggap bahwa adanya ancaman ketika masyarakat Indonesia mampu mengakses pendidikan. Yang membuat posisi Belanda akan tergantikan di kemudian hari oleh para siswa Indonesia.
Maka dari itu pemerintah Belanda menetapkan biaya yang tinggi untuk masuk sekolah. Sistem pendidikan seperti ini memberikan pemahaman secara tidak langsung bahwa anak-anak bumiputra posisinya sebagai inferior.
Hambatan lain yang dirasakan Ki Hajar Dewantara adalah sistem penilaian dan penghargaan yang intelektualis. Banyak dari mereka dituntut beragam hal dengan sangat ketat sehingga belajar bukan untuk perkembangan hidup, melainkan hanya untuk mendapatkan nilai tinggi saja. Ki Hajar pun membentuk budaya tanding dari pembeda sistem pendidikan tersebut. Ia beranggapan bahwa pendidikan yang mengarah ke bangsa Timur lebih memiliki budaya lebih humanis.
Sistem pendidikan Taman Siswa dibuat berdasarkan kombinasi antara model pendidikan sekolah Maria Montessori di Italia dan Rabindranath Tagore di India. Menurutnya, sistem pendidikan ini cocok untuk diadopsi oleh anak-anak pribumi.
Selain itu, Taman Siswa mengarah kepada sifat kerakyatan yang mengarahkan kepada politik pembebasan atau kemerdekaan. Dalam rangka pembebasan tersebut, Taman Siswa mencoba membuka seluas-luasnya pendidikan bagi pribumi untuk menempuh pendidikan, khususnya untuk masyarakat jawa saat itu.
Taman Siswa pun mengubah sistem ‘perintah dan sanksi’ menjadi metode among. Melansir kebudayaan.kemdikbud.go.id, metode ini menekankan guru dapat menjadi among bagi siswa sesuai dengan fase pertumbuhan dan perkembangan siswa.
Kemudian, Ki Hajar menemukan istilah ‘Patrap Guru’ yang ditujukan bagi setiap guru Taman Siswa. Hal ini berdampak secara langsung kepada tingkah laku guru yang menjadi panutan bagi murid-muridnya.
Inti dari istilah ini mungkin sering kita dengar, yaitu Ing ngarsa sung tulada artinya di muka memberi contoh, Ing madya mangun karsa artinya yang di tengah membangun cita-cita, dan terkahir Tut wuri handayani yang artinya mengikuti dan mendukungnya.
Melihat kemajuan tersebut, pemerintah kolonial Belanda pun memasang tanda bahaya dengan segera menutup sekolah yang tidak menerima subsidi pemerindah melalui kebijakan Wilde Scholen Ordonnantie. Masalah lain yang dialami Taman Siswa adalah sulitanya mengurusi Pajak Rumah Tangga, Tunjangan Anak dan Pajak Upah.
Namun, Ki Hajar Dewantara bertindak cepat dengan mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal di Bogor, serta mampu mengatasi permasalahan lainnya. Alahasil, sampai saat ini, sekolah ini mampu berdaptasi dan melewati zaman kolonial Belanda dan Jepang. Lalu, Taman Siswa yang terletak di balai Ibu Pawiyatan (Majelis Luhur) di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta, juga telah memiliki berbagai cabang di seluruh penjuru Indonesia.
FATHUR RACHMAN
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.