SEHABIS salat lohor, dua orang banci berdebat mengenai wudu. Masalahnya: apakah bersentuhan dengan perempuan (kulit dengan kulit) membatalkan wudu mereka. Tidak, menurut Mono - yang mengganti namanya menjadi Mona. Dan itu bukan karena Mono atau Mona mengikuti paham (seperti Muhammadiyah, dan bukan seperti NU) yang menganggap persentuhan tidak membatalkan wudu. Nanik sebaliknya. Menyenggol wanita, katanya, membikin batal. Tapi, dan inilah yang menarik, juga menyenggol laki-laki. "Kalau aku kesenggol mereka sedikiiit saja, rasanya - aih aiiih...," kata Nanik. Sedangkan bagi Mona, menyenggol laki-laki juga tak membatalkan wudu. Aneh, memang. Kesimpulan: mereka, baik yang pro-batal maupun yang tidak, menganggap diri mereka kelas tersendiri. Perbincangan seperti itu memang menjadi mungkin sekarang ini. Bukan karena Tuhan di tahun-tahun belakangan lebih banyak menciptakan jenis seks yang "unik" itu, tapi karena, misalnya, saudara-saudara kita itu sudah punya rumah alias markas khusus, lengkap dengan musala pula. Tempat pertemuan itu diberi nama Griya Chandra Kencana, di Jalan Karangasem, Surabaya, dan diresmikan oleh tak kurang dari dr. Purnomo Kasidi wali kota Surabaya bulan lalu. Wali kota, yang juga menyumbang dua juta, memang bukan yang membikin. Griya bermula dari rumah kontrakan 10 m x 15 m, yang hanya dipermegah: ada ruangan serba guna, ada ruang klinik, ada pula musala 4 m x 2,5 m. Di situ mereka mengadakan berbagai kegiatan, misalnya menjahit, meski dengan gaya hidup tetap seperti semula. "Ini pertama di Indonesia," kata Pangky Kentut (memang begitu namanya), 33, ketua perkumpulan yang diberi nama Perwakos alias Persatuan Waria Kota Surabaya, dengan anak buah 300-an orang. K.H. Munawar Djaelani, ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Madya Surabaya, kepada TEMPO menyatakan syukurnya. "Kalau kepingin pula salat jemaah di Masjid AlFalah, silakan. Tak perlu minder atau takut: saudara-saudaramu akan senang," katanya. Tak dijelaskan apakah mereka akan harus salat di sana dengan kopiah atau mukena. Membandingkan dengan rekan-rekan mereka di Jakarta, maka ada penuturan Mirna alias Bambang Wisynupriadi, 38, ketua Hiwaria (Himpunan Waria) DKI Jaya. Katanya, mereka pernah mencoba memakai pici dan salat di masjid. Tapi, "Tidak mantap rasanya malah terasa menjadi bahan ejekan." Juga para banci Surabaya itu sekarang mantap dengan mukena. "Apa lagi sejak Pak Bey Arifin (ulama Surabaya) bilang, di koran, memakai mukena lebih sip," kata Isnanik. Boleh dijamin tak ada para banci di bawah pimpinan Pangky ataupun Mirna itu yang ingin hidup sebagai laki-laki normal. Mirna sendiri merasa tak perlu "berobat". Salah seorang teman, katanya, sudah pernah berobat dan akhirnya kembali lagi ke dunia banci - meski sudah kawin dan punya anak. "Kami ini jenis yang sulit," kata Mirna. "Jangan disamakan dengan mereka yang hanya berlagak menjadi waria di waktu malam. Sejak kecil kami sudah ditakdirkan seperti ini." Tapi adakah jenis khas seperti itu? Tidak ada, jawab para ulama. Sayang, memang. Tapi itu karena para ulama memandang persoalannya hanya secara biologis. Memang, dalam sementara kitab fiqih ada istilah huntsa musykil - mereka yang berkelamin ganda. Tapi Ini pun, menurut fiqih, harus dikelompokkan ke dalam golongan laki-laki atau perempuan. "Kalau ia mengeluarkan darah haid, dan kelamin laki -lakinya hanya sebagai alat buang air kecil, barulah ia boleh di sempurnakan (lewat sarana kedokteran zaman ini) menjadi perempuan utuh," kata K.H. Syafi'i Hadzami, wakil ketua MUI DKI Jakarta. Hanya, banci jenis itu sangat jarang dan belum pernah terdengar muncul di Indonesia. "Yang jelas," katanya, "semua banci disini ini laki-laki." Tapi, tidak perlu jugakah dilihat faktor psikisnya, Kiai? Tidak, rupanya. Bahwa kebancian memang menyajikan persoalan psikologis yang cukup runyam - sepanjang ia serius - memang ya. Bahwa mereka yang banci acap menjadi bulan-bulanan ejekan sekeliling, seperti halnya orang cacat pun di lingkungan kita sering tertekan batinnya, juga benar. Tetapi tentang masalah psikis di sekitar kebancian, yang sekaligus menyangkut pendidikan, bahkan ada ajaran Nabi yang mencegah tumbuhnya kelainan itu. Yakni: larangan keras kepada anak-anak (lewat orang dewasa, tentunya, dan juga terhadap mereka sendiri) untuk berpakaian dan bertabiat seperti lawan jenisnya. "Ini untuk menanggulangi kemungkinan tumbuhnya mental ganda," kata Kiai Syafi'i. Dan terhadap mental ganda, bahkan yang disebabkan oleh porsi berimbang antara hormon laki-laki dan hormon perempuan dalam satu tubuh, tidak seorang dokter pun pernah menyatakan tertutupnya sama sekali upaya "penyembuhan". Memang, soalnya bisa menjadi lebih sulit bila peri laku yang menyimpang itu sudah terbina sejak kanak-kanak dan lebih sulit lagi bila lingkungan sekitar justru memberi angin bagi berkembangnya penyimpangan itu. "Peri laku masyarakat," seperti ditulis Nicholas Cole dalam International Family Health Encyclopaedia, "sangat menentukan apakah seorang (yang berbakat) homoseksual akan menyembunyikan perasaan-perasaannya" - atau akan menurutinya sehingga makin berkembang. Itulah sebabnya, sebelum 15-an tahun yang lalu, orang tidak mendengar istilah-istilah seperti wadam, waria, atau sebutan penghalusan apa pun. Bukan karena Tuhan tidak menciptakan orang laki-laki yang keperempuan-perempuanan, waktu itu, bahkan di kampung-kampung. Tapi karena norma-norma masyarakat telah memaksa mereka (yang memang psikologis banci, dan yang sebenarnya sedikit sekali jumlahnya) untuk melupakan kelainan mereka, hidup normal, dan sukses - setidak-tidaknya tak ada kisah tentang banci yang bunuh diri. Berbeda dengan belakangan ini, ketika perjuangan kaum homoseks di masyarakat Barat - yang sejajar dengan kaum pelacur, dan itu memang berarti perjuangan hak asasi untuk menempuh napsu hidup yang maksimal dan di luar agama - ditiru-tiru pula di lingkungan kita. Banci kemudian menjadi gaya hidup, dan akhirnya sebuah profesi. Perlu MTQ khusus? Syu'bah Asa Laporan Saiff Bakham (Surabaya) & Musthafa Helmy (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini