LETAKNYA tersuruk di Ruc de Vaugirard, Quartier Latin, jantung intelektual Kota Paris, dan cuma sekitar 200 meter dari Universitas Sorbonne. Sebuah papan nama kecil Restaurant Indonesia menandai kehadirannya. Suasana Indonesia terasa begitu pengunjung masuk. Suara musik - dari Rayuan Pulau Kelapa dan Mak Inang sampai keroncong, gamelan Jawa, Sunda, Bali, atau lagu-lagu Maluku - memenuhi ruangan. Dinding restoran yang dihias kain batik, ukiran kayu, topeng serta wayang, dan juga pelayan yang memakai baju batik, menambah warna Indonesia. Di restoran ini pengunjung bukan saja bisa menikmati masakan standar Indonesia, seperti nasi goreng dan sate, tapi juga rendang, opor, tumis, sayur asam, dan tempe. Restorannya sendiri tak terlalu besar. Ruang dalam yang berbentuk memanjang, diisi meja yang dipasang bersambungan, dilengkapi dengan kursi dan bangku panjang yang memunggungi dinding - bisa menampung sekitar 25 orang. Ruang bawah (tanah), yang ditata serupa, dapat diisi sekitar 30 orang. Inilah restoran yang beberapa bulan lalu diributkan karena dikabarkan melakukan kegiatan "anti-Indonesia", sehingga para diplomat Indonesia di Paris tidak dianjurkan mengunjunginya. Tatkala ditanya kebenaran berita ini, Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja, dalam suatu pertemuan pers beberapa pekan lalu, mengelak menjawab langsung. "Barangkali mereka tidak datang ke sana karena masakannya kurang enak," katanya. Yang mengganjal, tentu saja, bukan enak tidaknya masakan di situ. Pasalnya: restoran itu didirikan oleh beberapa orang bekas anggota Partai Komunis Indonesia yang terlarang itu. Banyak orang Indonesia yang mengalir ke Prancis, termasuk di antaranya bekas anggota PKI. Kebanyakan mereka ada di luar negeri ketika pemberontakan G-30-S/PKI pecah. Setelah beberapa tahun tinggal di RRC, Uni Soviet, dan negara sosialis lain di Eropa Timur, mereka pindah ke Eropa Barat. Secara tradisional, banyak yang memilih tempat tinggal di Belanda. Namun, ketika pengangguran di negeri ini meningkat dan pekerjaan sulit didapat, mereka menoleh kE negeri lain. Salah satu negeri sasaran adalah Prancis. Setelah Partai Sosialis berkuasa di Prancis sejak Mei 1981, pemerintah baru ini lebih longgar membuka pintu bagi pelarian politik dari mana saja. Dalam Konstitusi Prancis memang disebutkan, negara harus memberi perlindungan bagi para pelarian politik. Di negeri ini, setiap pengungsi mendapat bantuan keuangan, perumahan, dan biaya hidup sampai mereka mendapat pekerjaan. Salah seorang yang kemudian menetap di Paris adalah Umar Said, bekas pimpinan koran Ekonomi Nasional, sebuah harian sore yang satu kelompok dengan Warta Bhakti. Tatkala G-30-S/PKI pecah, ia ada di Kairo menghadiri konperensi OISRAA (Organisasi Internasional Setiakawan Asia Afrika). Umar Said, bersama Ibrahim Isa, pada 1966 pernah muncul di KTT Nonblok di Havana, Kuba, dan menyebut dirinya delegasi Indonesia, menyaingi delegasi resmi RI yang dipimpin Roeslan Abdulgani. Dengan bantuan suatu organisasi kemanusiaan, Umar Said bersama beberapa bekas anggota PKI lain pada 1982 mendirikan sebuah koperasi dengan modal pertama sekitar 500.000 franc (sekitar Rp 60 juta). Mereka kemudian membeli sebuah restoran kurang laku, mencat dan mendekorasinya kembali, dan jadilah Restaurant Indonesia, satu-satunya restoran Indonesia di Paris. Para koki dan pelayan pertama adalah mereka sendiri bersama istri dan keluarganya. Untuk memperkenalkan restoran ini beberapa wartawan diundang. Disediakan juga sebuah buku tamu untuk menulis kesan. Usaha ini rupanya berhasil. "Sebulan setelah dibuka, restoran ini sudah mulai penuh. Kini kami sering sekali menolak tamu karena kekurangan tempat," kata Umar Said. "Keuntungan mengalir jauh lebih cepat dari waktu yang kami perhitungkan," kata seorang Prancis yang ikut mendirikan. Setelah laris, restoran ini tampaknya di kelola lebih profesional. Juru masaknya kini benar-benar koki. Para pekerja sekarang juga hanya bekerja delapan jam, tidak dua belas jam seperti pada saat pertama dibuka. Beberapa anggota parlemen, tokoh politik, dan intelektual sering tampak makan di restoran itu. "Masakannya lumayan," kata Jacques Leclerc, sejarawan Prancis yang sering mengunjungi Indonesia. Restoran ini beberapa kali mengadakan pameran, antara lain batik, foto, dan lukisan Indonesia. Juga menyelenggarakan pemutaran film dan slides tentang kegiatan pariwisata Indonesia. Bagi mereka yang berminat belajar bahasa Indonesia, disediakan beberapa guru dari kalangan mereka. Setelah hampir dua tahun berdiri, kini restoran ini menampung juga beberapa orang Indonesia yang bukan bekas anggota PKI. Sebuah sumber menduga, ini merupakan usaha menggalang suatu "front nasional". Belum jelas apakah kegiatan itu termasuk yang dianggap "anti-Indonesia". Seorang orang pejabat di Jakarta memang mengakui, pengelola restoran ini "campur aduk", termasuk beberapa orang bekas anggota PKI. "Ada indikasi bahwa restoran itu dipakai sebagai tempat penampungan pelarian anggota PKI dari beberapa negara, termasuk RRC," kata pejabat tadi. Di restoran ini memang bekerja beberapa orang yang dikenal sebagai anggota PKI. Kendati demikian, mereka menolak tuduhan melakukan kegiatan anti-Indonesia. "Kini, kami mau bekerja untuk mencari makan, dan tidak mau pusing soal politik lagi," kata seorang karyawan restoran pada wartawan TEMPO Nasir Tamara. Umar Said sendiri menegaskan, "Kami tidak melakukan hal yang merugikan Indonesia. Sebetulnya, kami semua ingin sekali pulang ke Indonesia." Sebuah sumber TEMPO mengungkapkan, pemerintah Indonesia tentu saja tidak bisa mengambil tindakan terhadap mereka, karena itu urusan dalam negeri Prancis. "Kita ikuti saja kegiatan mereka " ujar sumber itu. Apakah para diplomat Indonesia akan tetap dilarang makan di restoran itu. Sembari tertawa, Menlu Mochtar Kusumaatmadja akhir pekan lalu berkata kepada TEMPO, "Kalau ke Paris, saya ingin juga mencicipi masakan restoran itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini