MEREKA tiba di bandar udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, dengan pengawalan ketat. Tiga mobil CD 60 dari kedutaan besar Belanda di Jakarta dipergunakan untuk membawa mereka: Yohannes Rumbiat, Luth Sarakan, Ottis Simupiarip dan Yakob Amas D.G. Dengan pesawat KLM, Selasa sore pekan lalu itu, keempat pemuda Irian Jaya yang mencari "suaka pofftik" di kedubes Belanda dua pekan sebelumnya terbang ke negara impian mereka. Menurut Menlu Mochtar Kusumaatmadja, keempat pemuda itu tidak terlibat dalam masalah politik apa pun. Maka, "Tidak ada masalah suaka di sini. Mereka cuma orang yang meminta tiket gratis ke kedutaan besar Belanda," kata Mochtar. Seorang pejabat lain menganggap "aneh" tindakan pemerintah Belanda menerima mereka sebagai warga negara, yang sedikit banyak bisa mengganggu hubungan Indonesia - Belanda yang selama ini cukup baik. "Semestinya, mereka bisa lebih dingin menangani masalah itu," katanya. Dalam suatu wawancara dengan Radio Hilversum setiba mereka di lapangan terbang Schiphol, Amsterdam, Yohannes Rumbiat mengatakan, kedatangan mereka di Belanda untuk "mencari perlindungan." Apakah mereka akan mendapat "hujan emas" di negeri orang? Yang pasti, mereka akan tergabung dalam lebih dari setengah juta imigran "berwarna" yang kini bermukim di Belanda, sekitar 40.000 di antaranya masyarakat Maluku. Sebagai kelompok minoritas, jumlah imigran Maluku ini lebih sedikit dibanding imigran Suriname (180.000), Turki (150.000), dan Marokko (100.000). Sekalipun lebih kecil, masyarakat Maluku di Belanda memperoleh perhatian dan publisitas yang lebih banyak dibanding kelompok minoritas lainnya. Perhatian ekstra itu mereka peroleh karena berbagai tindakan ekstrem yang dilakukan sekelompok pemuda Maluku, misalnya pembajakan kereta api di Beilen dan pendudukan gedung konsulat jenderal RI di Amsterdam pada akhir 1975. Serta yang terakhir, bentrokan dengan polisi di Capelle aan de Ijssel awal Januari lalu mengenai soal perumahan. Lahirnya masyarakat Maluku di Belanda dimulai pada 1951 dengan datangnya sekitar 12.000 anggota KNIL dan keluarganya, setelah Republik Maluku Selatan (RMS) yang didukung Belanda cuma bisa bertahan sekitar enam bulan. Begitu tiba di Belanda, mereka segera didemobilisasikan dari KNIL. Mula-mula, mereka ditempatkan di barak-barak bekas tentara Jerman. Baru pada 1957-1958, setelah pers internasional menulis tentang buruknya tempat tinggal mereka, pemerintah Belanda mulai membangun rumah-rumah untuk penduduk Maluku yang tersebar di seluruh Belanda. Kini setelah lebih dari 30 tahun, muncul generasi kedua (umur sekitar 30 tahun) dan ketiga (di bawah 20 tahun) dalam masyarakat Maluku. Secara keseluruhan, masyarakat Maluku masih tetap tertutup dan hidup dalam lingkungan mereka sendiri. Sebagian besar mereka tinggal dalam perkampungan tersendiri. Di Capelle, misalnya, semua jalan di sana memakai nama pulau di Maluku, seperti Seram, Banda, dan Aru. Bahasa Indonesia logat Maluku masih menjadi bahasa utama di rumah, tapi anakanak di bawah 10 tahun umumnya berbahasa Belanda. Dibandingkan dengan masyarakat Belanda, orang-orang Maluku umumnya memiliki tinkat pendidikan yang lebih rendah. Penyebabnya antara lain karena bahasa Belanda kurang mereka kuasai. Di samping itu, baru sejak 1970-an pemerintah Belanda mulai meningkatkan fasilitas pendidikan dan sosial budaya masyarakat Maluku. Ragsangan belajar pada generasi pertama juga kurang, karena mereka mengira akan tinggal di Belanda hanya untuk sementara, dan bisa pulang lagi ke Indonesia. Angka putus sekolah tinggi. Pada 1970 tercatat hanya 2% orang Maluku yang masuk univcrsitas dibanding 19,2% pada orang Belanda. Akibatnya, orang Maluku lebih sulit memperoleh pekerjaan. Dalam suatu studi pada 1979, selain soal pendidikan yang rendah, faktor lain yang menyebabkan sulitnya orang Maluku memperoleh pekerjaan adalah bahasa. Sedikitnya pengetahuan tentang sifat dan kebudayaan Maluku pada majikan Belanda, serta adanya ketidaksukaan kepada orang Maluku akibat berbagai peristiwa kekerasan kelompok muda Maluku juga menjadi faktor lain. Suatu statistik terakhir menunjukkan, tingkat pengangguran di kalangan masyarakat Maluku mencapai 40%, sedang pada penduduk Belanda sendiri cuma 20%. Yang menolong para penganggur adalah jaminan sosial berupa tunjangan pengangguran minimal 1.000 gulden sebulan buat tiap keluarga, di samping jaminan kesehatan. Tapi yang lebih memukul masyarakat Maluku adalah meningkatnya prasangka rasial terhadap imigran berwarna dalam masyarakat Belanda. Belakangan ini kesempatan kerja dan sekolah, misalnya, lebih diprioritaskan pada orang Belanda asli. Gejala rasialisme ini tidak hanya muncul di Belanda. Di seluruh Eropa Barat akhirI akhir ini makin kuat kebencian terhadap imigran berwarna. Dibanding minoritas lain, masyarakat Maluku sebenarnya mendapat perlakuan istimewa. "Kami di sini 'kan datang atas undangan dan diangkut kapal Belanda. Jadi, ada sebab politik dan sejarahnya, berbeda dengan minoritas lain, seperti Turki dan Marokko," kata Rits Mual, Kepala Inspraakorgaan Welzijn Molukkers, suatu badan yang memberi nasihat tentang masalah Maluku kepada pemerintah Belanda. Tapi "presiden RMS" Manusama menganggap keistimewaan untuk masyarakat Maluku hanya di atas kertas. "Dalam prakteknya, itu omong kosong besar. Belanda tak pernah menepati janji mercka," katanya pada Nasir Tamara dari TEMPO bulan lalu. Menurut Manusama, scjak 1952 masyarakat Maluku menentang keinginan Belanda untuk melakukan integrasi dan asimilasi. Pada 1978, pemerintah Belanda mengeluarkan suatu kebijaksanaan terhadap minoritas Maluku. Pada garis besarnya, aspirasi politik dan posisi sosial masyarakat Maluku di Belanda dibedakan. Dalam aspirasi politik, pemerintah Belanda menolak pendirian negara Maluku Selatan dan menolak membantu gerakan politik ke arah itu. Mengenai posisi sosial orang Maluku, pemerintah Belanda menjanjikan usaha keras agar tercapai proses integrasi dalam masyarakat Belanda dan meningkatkan partisipasi dalam kehidupan sosial dan politik Belanda. Akan diusahakan juga menghilangkan kesenjangan hak antara Belanda dan Maluku. "Tapi dalam praktek ini belum dilaksanakan," kata Rits Mual. Sekalipun sekitar 75% masyarakat Maluku lahir di Belanda, masalah RMS tampaknya masih merupakan isu terpenting di kalangan mereka. Manusama, 74, mengakui, melihat suasana internasional sekarang, melanjutkan perjuangan RMS tidak mudah. "Namun, sebuah cita-cita hanya dapat dicapai dengan kepercayaan penuh bahwa suatu waktu itu akan tercapai," ujarnya dengan gagah dalam suatu wawancara dengan TEMPO di rumahnya di Capelle bulan lalu. Manusama, insinyur lulusan ITB yang baru menginjak Maluku pada usia 37 tahun, mengungkapkan strategi RMS sekarang adalah memanfaatkan seluruh move politik yang ada, masalah Timor Timur misalnya. "Apa yang terjadi di Timor Timur melemahkan Indonesia di mata dunia, meskipun belum parah betul," ucapnya dengan yakin. Menurut Manusama, sebagian besar generasi muda Maluku masih pro RMS. Diakuinya, memang ada di antara generasi muda yang berpendapat bahwa mereka sudah berjuang lama tanpa hasil. Sebagian memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan membantu pembangunan Maluku, tapi umumnya mereka terus tinggal di Belanda dan tak memusingkan soal RMS lagi. Manusama dikenal menentang aksi-aksi keras kelompok pemuda RMS. Sekalipun sering dikecam, Manusama yang mengaku "rindu sekali pada Indonesia, tapi khawatir ditangkap kalau pulang," tetap diakui sebagai pimpinan tertinggi RMS. Di sampingnya, ada Pendeta Metiari, Ketua Badan Persatuan - yang menghimpunkan seluruh organisasi politik Maluku di Belanda yang dianggap orang kedua. Tokoh yang sering disebut calon pengganti Manusama adalah Rits Mual, Wakil Ketua Badan Persatuan. Sebagai kepala Inspraakorgaan Welzijn Molukkers, ia yang mengelola dana bantuan dari pemerintah Belanda buat masyarakat Maluku mempunyai pengaruh cukup besar. Rits menganggap, kejadian antara 1975 dan 1977 bukan terorisme Maluku. "Itu hanya karena Belanda tidak memenuhi janji mereka pada 'bangsa' Maluku," katanya. Risiko eskalasi seperti itu, katanya, meski kecil tetap ada," apabila ketidakadilan masih terjadi." Manusama dan Metiari bisa digolongkan dalam kelompok moderat. Kelompok radikal umumnya berasal dari generasi muda, yang lahir di Belanda dan dibesarkan dalam impian RMS orangtua mereka. Karena tak terintegrasikan dengan orang Belanda, mereka tak punya akar Belanda. Di samping itu, karena realitas sehari-hari dan jauh dari Indonesia, mereka juga kehilangan akar Indonesla mereka. Kebingungan atas identitas mereka itu membuat mereka merasa tidak aman, gundah, karena tidak punya pegangan kebudayaan. Mungkin itu ikut mendorong sikap keras mereka. Beberapa sumber menyebut adanya latihan militer rahasia di antara kelompok ini. RMS dan Badan Persatuan diketahui bekerja sama dengan kelompok anti-Indonesia lain, termasuk segelintir separatis Aceh, retilin, dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pada 9 Maret lalu, misalnya, sekitar 100 anggota kelompok RMS dan OPM berdemonstrasi menyampaikan petisi ke kedutaan besar RI di Den Haag. Adalah juga Nicolass Jouwe, tokoh OPM di Belanda, yang menjadi penerjemah tatkala Radio Hilversum mewawancarai Yohannes Rumbiat dan kawan-kawan. Di samping kelompok radikal dan moderat, belakangan ini tampaknya makin tumbuh kelompok baru yang lebih realistis dan mencoba mencari jalan baru dengan wawasan dan visi yang lebih luas. Hal ini terlihat dalam diskusi para cendekiawan muda Maluku di Belanda tentang peranan media massa. Diskusi yang baru pertama kali diselenggarakan itu diadakan di Museum Tropen, 4 Februari lalu. Sekitar 200 tokoh muda Maluku hadir dalam diskusi tadi. Hadir seluruh media massa Maluku, seperti majalah Cengkeh (oplah 4.000 eksemplar), Kora-Kora (800), Pattimura (300-500), dan satu-satunya majalah yang disubsede Inspraakorgaan: Marinyo (8.000). Masalah pers, seperti kekurangan modal dan tenaga, ternyata hampir tidak dibicarakan dalam pertemuan itu. "Diskusi ini penting karena untuk pertama kalinya generasi muda Maluku di seluruh Belanda bertemu," kata Jopie Sahetapy, salah seorang pengurus Kora-Kora dan tokoh organisasi "Pemuda 20 Mei". Kelompok "Pemuda 20 Mei" tampaknya yang paling keras berusaha membuka kontak dengan Indonesia dan melihat masalah pembanunan dan keadilan sosial di Indonesia sebagai masalah pokok generasi muda Maluku sekarang. Majalah Kora-Kora, di samping tulisan dalam bahasa Belanda, juga memuat artikel dalam bahasa Indonesia, termasuk kutipan dari pers Indonesia. Di kalangan muda, minat berkunjung ke Indonesia cukup besar. Namun, umumnya, mereka tidak mau sekaligus pindah. "Kami ingin melihat dulu situasi Indonesia yang sebenarnya supaya mendapat gambaran yang jelas," kata Tji Rehatta, seorang penulis wanita di Cengkeh. Joop de Jong, Kepala Bagian Indonesia di Departemen Luar Negeri Belanda, menilai "aspek politik, yang dulu amat penting dalam masalah Maluku, klni sudah tldak ada lagi." Menurut dia, pemerintah Belanda menganggap bahwa masalah Maluku adalah masalah minoritas biasa, sama dengan Suriname, Turki, atau Antillen. Pemerintah Belanda tampaknya menghadapi dilema dalam penyelesaian masalah Maluku ini. RMS lahir karena dukungan mereka pada masa lalu, tapi kini masalah itu membengkak dan sulit diatasi. Usaha mcmulangkan mereka ke Maluku (repatriasi) seret, karena adanya berbagai persyaratan kesepakatan pemerintah Indonesia dan Belanda (lihat: Sebuah Restoran ....). Berbeda dengan masyarakat Maluku, orang-orang Indo yang menetap di Belanda setelah 1956 sudah terintegrasikan dalam masyarakat Belanda. Yang tinggal di antara mereka cuma nostalgia manis ketika tinggal di Indonesia. Mereka sering mengunjungi Indonesia dan masih menyelenggarakan berbagai kegiatan mengenang Indonesia seperti "Pasar Malam Tong-Tong" atau membuka latihan pencak silat. Warga Cina yang berasal dari Indonesia umumnya juga tidak mempunyai masalah. Selama ini, tak tercatat keluhan terhadap mereka, tapi tak dapat juga dikatakan seperti pernah dilaporkan majalah Onze Wereld - minoritas Cina diterima masyarakat Belanda. Dalam suatu pengumpulan pendapat: hanya 1% responden Belanda yang pernah berhubungan atau mengetahui sedikit seluk-beluk orang Cina Belanda. Orang Indonesia lain yang menimbulkan masalah adalah bekas tokoh Orde Lama dan anggota PKI yang datang dari berbagai negara komunis dan menetap di Belanda. Di antaranya adalah Djawoto, bekas duta besar RI di Peking. Pada umumnya, mereka terpecah-belah dan tidak melakukan kegiatan politik lagi. Mereka hidup dari tunjangan sosial sebagai pelarian politik. Sebagian di antaranya ada yang meninggalkan Belanda dan pindah ke negara lain, misalnya Prancis. Hanafi, bekas duta besar Indonesia di Havana Kuba, termasuk seorang di antaranya. Hanafi konon telah mencoba berbagai usaha untuk bisa pulang ke Indonesla, termasuk menghubungi duta besar RI di Prancis, Barli Halim dan bekas wakil presiden Adam Malik, tapi belum berhasil. Apakah mereka bisa diterima kembali? Menurut Menlu Mochtar Kusumaatmadia. kita melihat mereka sebagai orang Indonesia. "Jadi, soal perasaan. Wajar jika kita tidak keberatan mereka pulang. Kita dapat mengerti perasaan mereka. Apaiagi kalau mereka masih warga negara Indonesia. Mereka berhak pulang," katanya pada TEMPO pekan lalu. Kendati begitu, ada dimensi lain: aspek keamanan. Di sini ada dua pilihan: pemerintah RI tidak memperkenankan mereka kembali, atau mereka boleh pulang tapi kalau perlu lantas diperiksa dan ditahan. Sidang Dewan Polkam Oktober lalu menurut Menlu Mochtar, menerima pendapat yang mengatakan bahwa lebih baik para pelarian politik itu dibiarkan di luar. "Sampai sekarang putusan itu belum ditinjau kembali," katanya. Ia sendiri berpendapat, kalau masalah ini tidak dibicarakan secara umum, tapi kasus per kasus, pemecahannya akan lebih mudah. Tampaknya Umar Said, Djawoto, dan Hanafi masih harus terus menjadi pengembara di luar negeri, tanpa paspor RI. Buat mereka, agaknya, belum ada tiket gratis untuk pergi ke Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini