Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sisa cinta pensiunan

Kembali ke Indonesia tidak gampang. hanya repatrian yang sudah pensiun atau pemuda yang sudah pasti punya pekerjaan yang diizinkan pulang.

24 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA bagi warga Maluku di Negeri Belanda bermakna masa tua atau lapangan kerja. Setelah keturunan Maluku di negeri itu kini mencapai 40.000 orang, kemungkinan pulang ke tanah leluhur baginya hanya ada jika usia pensiun sudah tiba, atau kalau pekerjaan yang pasti sudah menunggu di Indonesia. Pemulangan keturunan Maluku yang ditangani Panitia Repatriasi Suku Maluku (PRSM) - yang dibentuk tahun 1974 dan diketuai menteri dalam negeri - berjalan perlahan. Sejak 1977, hingga kini, baru 91 repatrian yang diurus panitia itu. Dalam kelompok inl hanya seorang yang tergolong muda: Margareth Rahadbouw, yang mendapat pekerjaan sebagai sekretaris di sebuah perusahaan di Surabaya. Sisanya adalah para pensiunan berusia di atas 65 tahun. Di Negeri Belanda sekarang terdapat 12.000 orang Maluku WNI di samping 12.000 pemegang kewarganegaraan Belanda. Di luar itu, terdapat golongan stateless, mereka yang dulu menamakan dirinya warga negara Republik Maluku Selatan (RMS). RMS sendiri tak diakui Belanda lagi sejak 1978. Kaum repatrian yang tiba kembali di Indonesia kebanyakan adalah mereka yang berstatus WNI dan agak kecewa oleh janji Belanda awal 1950-an dulu. Sumber di PRSM mengatakan, Indonesia memang tak giat merangsang minat mereka buat pulang. "Pendekatan yang kita lakukan adalah untuk mengubah citra Indonesia di mata mereka dan untuk meyakinkan bahwa RMS sama sekali tak realistis," ujar sumber itu. Tak terbaca dengan pasti seberapa jauh munculnya niat untuk pulang di kalangan orang-orang Maluku itu. Apalagi persyaratan yang ditentukan bukan soal yang mudah dipenuhi. Indonesia hanya mau menerima keturunan Maluku WNI yang sudah pensiun. Malah, kalau dia seorang warga negara Belanda, usia minimum harus 70 tahun. Orang-orang yang kembali ini menjalani screening dulu di Negeri Belanda, kemudian mendapat penataran lagi dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Sosial, dan Bakin di Indonesia. Orang Maluku usia muda pun sebetulnya dapat kembali ke Indonesia jika dia dapat ditampung bekerja di salah satu proyek yang dibiayai dengan bantuan Belanda. Proyek yang khusus dibikin untuk mereka inilah yang tak kunjung ada hingga kini. Konon, Indonesia pernah mengusulkan agar Belanda memberikan bantuan buat proyek transmigrasi untuk keperluan ini. Belanda menolak dengan alasan, tidak mungkin orang-orang itu diterjunkan di daerah baru sebagai petani. Walaupun tak hidup sebagai petani, kaum repatrian yang pulang menyebar di Jakarta, dan beberapa kota lain di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku sendiri. Jumlah mereka secara pasti tak diketahu hingga sekarang. Setiap keluarga yang pulang mendapat tunjangan 13.000 gulden - sekitar Rp 4,4 juta - dari pemerintah Belanda. Selain itu, setiap bulan pensiunan tadi menerima lagi Rp 338.000. Indonesia tak mengeluarkan dana khusus untuk ini. Bantuan Indonesia untuk mereka yang pulang hanyalah surat jalan dan surat keterangan untuk bupati atau camat di daerah yang mereka tulu. Usaha repatriasi ini sendiri sebetulnya sudah dimulai sejak 1956, diawali oleh tiga kepala keluarga (KK). Sementara itu, di luar penanganan PRSM, antara 1968 dan 1972, repatrian yang datang sudah mencapai 1.009 orang, tergabung dalam 209 KK. Tahun 1969 misalnya, datang rombongan beranggotakan 14 KK. Mereka ditampung Departemen Sosial di 14 rumah beratap seng, berdinding separuh kayu separuh tembok, dengan ukuran 8 x 6 m, di Petukangan Utara, Jakarta Selatan. Rumah itu mereka tebus dengan tunjangan yang mereka bawa dari Negeri Belanda. Jopi Picaulina, 34, yang ketika datang berumur 19 tahun, menyebut bahwa mereka kecewa sekali melihat lingkungan baru itu. Lingkungan baru itu rupanya sempat menimbulkan persoalan. Para tetangganya konon sering mengejek mercka dengan panggilan "KNIL". "Saya kemudian berusaha mendekati orang-orang di sekitar kami," ujar Jopi, yang kini sudah jadi ayah dua anak dan menganggur itu. Dia mengaku, tidak ada bantuan pemerintah yang mereka terima pada saat pertama tiba dulu. Keempat belas keluarga itu kemudian mencoba mendirikan PT Usaha Berdikari, bergerak di bidang perbengkelan, pembuatan mebel, dan modiste. "Tapi setelah dua tahun kami bangkrut," ujar Jopi. Kini tampaknya kehidupan mereka kian baik. Rata-rata pemuda penghuni kompleks kecil itu mendapat pekerjaan yang, menurut Jopi, tergolong lumayan. Kakaknya, Max, bekerja di pabrik semen di Cibinong. Dia sendiri pernah bekerja di bagian keuangan Hotel Borobudur, Jakarta, dengan gaji Rp 550.000 per bulan. Pernahkah dia berniat kembali ke Negeri Belanda? Agaknya, tidak. Jopi menyebut bahwa keluarganya merasakan betapa tak enaknya berhadapan dengan keadaan, yang di dalamnya berlaku diskriminasi rasial. "Mayoritas penduduk Maluku bekerja di pabrik," ujarnya. Walaupun demikian, penilaian yang timbul dari lingkungan barangkali tetap menghantui kaum repatrian ini sehingga mereka enggan bercerita tentang diri mereka. Sikap seperti itu diperlihatkan oleh Sopacua, ketika dijumpai di rumahnya, JI. Munggung, Solo, Senin pekan ini. "Tak ada urusan dengan wartawan," katanya dari balik pagar tanpa membuka pintu. Pria kelahiran Ambon berkumis tebal ini meninggalkan Amsterdam dan tiba di Indonesia tahun 1982. Kata istrinya, "Sudahlah! Jangan ganggu kami lagi. Kami cinta Indonesia."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus