Masalah WNI keturunan Cina belum pula tuntas terpecahkan. Karena warisan liku-liku sejarah, persoalannya menjadi panjang. GANJALAN itu belum juga hilang. Sampai sekarang, setelah Indonesia berusia 46 tahun, belum terlalu tua untuk suatu bangsa, masih ada saja hal yang belum terselesaikan. Yakni soal kebangsaan, terutama untuk kelompok warga negara Indonesia keturunan Cina. Meminjam istilah para mafioso dalam film Godfather, seperti ada kerikil di dalam sepatu. Berbagai faktor tampaknya masih terus menyelimuti masalah keturunan Cina ini. Berangkat dari kesenjangan sosial, eksklusivisme, atau apa pun alasannya, polemik tentang WNI Keturunan Cina dan tetekbengeknya masih saja hangat. Ini memang beban sejarah. Ketika Belanda mendarat di Banten, 1596, mereka ternyata sudah menjumpai orang Cina. Para pendatang dari utara ini hidup baik-baik dengan pribumi. Mereka, yang rata-rata pedagang, juga mencukur rambut yang biasanya dipanjangkan, dan masuk Islam. "Orang yang mencukur rambut itu hendak menunjukkan bahwa mereka ingin berbaur dengan masyarakat Sunda," demikian Dr. Leonard Blusse mencatat. Dr. Blusse adalah sinolog ternama yang mendapatkan gelarnya dari Universitas Leiden di Belanda. Namun, Blusse menambahkan, bukan berarti Cina yang mencukur rambut itu menghilangkan identitas kecinaannya. "Mereka tak pernah mengatakan saya bukan Cina lagi," tutur Blusse kepada TEMPO. Mereka tetap saja berbicara bahasa Cina dengan para pedagang yang baru datang langsung dari Tiongkok. Gaya eksklusif ini ternyata juga tak terlalu menjadi soal. Bahkan, para pangeran di Banten lalu memanfaatkan orang-orang Cina yang sudah berambut pendek itu. Mereka dijadikan agen un- tuk berdagang. Dari semula, kedatangan orang Cina kemari rupanya ditakdirkan untuk tak lepas dari percaturan politik yang dijalankan penguasa. Hal yang sama juga terjadi ketika Belanda kemudian berhasil menguasai Indonesia. Agak unik sebenarnya. Mulanya, menurut banyak pengamatan sejarawan Barat, Belanda sebenarnya menaruh kecurigaan yang paling besar pada kelompok Cina jika dibanding kelompok-kelompok pendatang asing lain yang ada di Indonesia waktu itu. Ruang gerak orang Cina dibatasi dengan ketat. Mereka harus masuk ke Pecinan. Bahkan seusai Perang Diponegoro, ketentuan masuk Pecinan itu dibuat sedemikian ketatnya. "Semua orang Cina yang mau keluar, biar itu hendak ke tabib, harus minta izin pada opsir yang ditunjuk," demikian penjelasan Onghokham, sejarawan yang banyak melakukan penelitian soal ini. Namun, di luar pembatasan ketat itu, Belanda memberikan keuntungan khusus pada orang Cina. Di sinilah politik aliansi itu terjadi kembali. Ada studi yang bagus dari Peter Carey, sejarawan dari Trinity College, Amerika Serikat. Tahun 1816, ketika Belanda baru mengambil oper kekuasaan dari Inggris, terjadi kesulitan keuangan yang amat berat. Untuk mengatasinya, Belanda lalu membuat gerbang-gerbang tol di jalan umum. Siapa pun yang lewat, mesti membayar. Pengelolaan gerbang tol itu ternyata banyak dikontrakkan pada orang Cina. Menurut Onghokham, ada dua penjelasan mengapa monopoli pengelolaan ini diberikan kepada Cina. Pertama, mereka kaya. Kedua, orang Cina adalah pilihan paling aman bagi Belanda. "Jika orang Jawa diberi hak, ia bisa membahayakan posisi Belanda," tutur Ong. Sistem yang dikenal dengan sebutan pacht ini memberi keuntungan luar biasa pada orang Cina, sedangkan mereka sebelumnya juga sudah dikenal sebagai pemegang pacht untuk penanaman dan penjualan candu. Ini pula yang kemudian membuat kebencian orang Jawa tertumpah habis pada kelompok yang diuntungkan itu. Terlebih lagi kondisi ekonomi rakyat pada tahun-tahun menjelang Perang Diponegoro itu sedemikian buruk akibat kekeringan dan kegagalan panen. Carey juga mencatat bahwa selain orang Cina yang dekat dengan penguasa, ada juga sejumlah peranakan Cina yang ikut bergabung dalam pemberontakan melawan Belanda. Khususnya di Lasem. Mereka bahu-membahu, memeluk agama Islam, dan ikut pula dibasmi ketika Perang Diponegoro usai. Belanda memang bisa dituding sebagai biang keladi sehingga masalah Cina ini menjadi warisan sejarah yang berkepanjangan. Selain pacht yang memberi kemakmuran, orang Cina juga diberi keuntungan lain dalam status kependudukan. Mereka masuk dalam golongan Timur Asing, yang setaraf lebih tinggi di atas pribumi. Persoalan muncul pada saat embrio Republik Indonesia mulai terbentuk. Ketika orang Indonesia mulai sadar berpolitik, mulai berpikir tentang suatu negeri yang merdeka, orang-orang Cina pun bingung mau ke mana. Mereka kemudian terpecah menjadi tiga. Yang terpengaruh dengan maraknya nasionalisme di Cina, dikobarkan Sun Yat Sen, segera membentuk organisasi yang berorientasi ke Cina, seperti Tiong Hwa Hwee Koan dan Soe Po Sia. Berikutnya muncul organisasi yang sangat pro-Belanda, Chung Hua Hui. Kelompok yang pro-Indonesia baru muncul belakangan, Partai Tionghoa Indonesia. Terpecahnya orientasi orang Cina di sini tentu saja menyulitkan mereka untuk bersatu ke dalam republik yang sedang terbentuk itu. Biarpun banyak kakek moyang orang-orang Cina itu sudah ratusan tahun di sini dan sudah beranakpinak sehingga keturunannya disebut peranakan Cina, para bapak pendiri bangsa tetap beranggapan bahwa kelompok Cina tak bisa digolongkan sebagai Indonesia. Itu sebabnya ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membicarakan soal kewarganegaraan, muncul pertanyaan apakah orang Cina secara otomatis masuk menjadi warga negara Indonesia. Ketika itu, Liem Koen Hian, pemimpin Partai Tionghoa Indonesia, berkeras, "Tetapkan saja dalam undang-undang dasar, bahwa semua orang Tionghoa pada saat ini menjadi warga negara Indonesia. Tapi diberi kebebasan, jika mereka tak suka boleh menolak." Usul ini akhirnya ditolak. Seperti tampak pada pasal 26 UUD 1945, yang menyebut hanya orang Indonesia asli yang menjadi warga negara. Bisa jadi, para anggota PPKI saat itu melihat soal lain. Pemerintah Cina saat itu menganut undang-undang kewarganegaraan yang memang tak menguntungkan bagi keturunan Cina di sini yang hendak masuk menjadi bagian dari Republik. Hukum Cina sejak 1909, dan kemudian ditegaskan kembali pada 1929, menyebutkan bahwa semua orang Cina di Hindia Belanda adalah warga negara Cina. Sementara itu, pemerintah Hindia Belanda sejak 1910 sudah mengeluarkan peraturan bahwa semua orang Cina di Hindia Belanda adalah rakyat Kerajaan Belanda. Akibatnya, orang Cina di sini punya kewarganegaraan ganda. Persoalan rumit dalam hal kewarganegaraan inilah yang tampaknya menjadi ganjalan besar dalam proses pembauran di kemudian hari. Sebenarnya, pada 1955 pemerintah RRC dan Indonesia mencoba menyelesaikan masalah ini dengan mengadakan perjanjian tentang dwikewarganegaraan. Intinya, orang Cina boleh memilih menjadi warga negara RRC atau Indonesia. Jika ia belum berusia 18 tahun, untuk sementara kewarganegaraannya mengikuti ayahnya. Perjanjian ini mulai berlaku sejak 1960. Namun, sebelum proses ini selesai, hubungan RI-RRC memburuk. Keterlibatan Cina dalam G30S-PKI membuat semua kebijakan tentang Cina ditata kembali. Termasuk juga perjanjian dwikewarganegaraan yang dibatalkan sejak 1969. Akibatnya, banyak warga Cina yang belum sempat memilih tak punya lagi kesempatan menjadi warga negara Indonesia dengan mudah. Mereka yang ingin mesti mengikuti prosedur yang sudah ditentukan lewat Undang-Undang Kewarganegaraan 1958. Jika menengok data resmi Imigrasi, pada 1971 masih ada sekitar satu juta orang Cina yang tergolong warga negara RRC di antara tiga juta lebih orang Cina di Indonesia. Dr. Leo Suryadinata, peneliti tentang masalah Cina di sini, bahkan meragukan angka itu. "Angka Tionghoa asing itu terlalu rendah," tulis Leo dalam bukunya, Dilema Minoritas Tionghoa. Dampak lain susahnya proses naturalisasi ini adalah membengkaknya imigran gelap pada awal '70-an. Kebanyakan adalah bekas mahasiswa yang memilih warga negara RRC pada tahun '60-an, dan kemudian menetap di Hong Kong karena kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan Daratan Cina. Para pejabat keamanan di sini sangat yakin, banyak unsur subversi yang berada di antara para imigran gelap itu. Maka, tak heran jika kebijaksanaan pemerintah semakin ketat. Zaman sudah berubah. Hubungan dengan RRC sudah baik. Warga RRC dan Indonesia juga sudah bisa saling mengunjungi lewat prosedur normal. Sejak 1980 pun syarat untuk menjadi warga negara Indonesia diperlunak dengan munculnya Inpres Nomor 2 dan Keppres Nomor 13. Sekalipun demikian, beban sejarah yang begitu berat tampaknya tak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Beban inilah yang tampaknya mesti dipikul pula oleh orang Cina yang sudah menjadi warga negara Indonesia. Beberapa peraturan memang mensyaratkan begitu. Misalnya saja ada Keppres 240 Tahun 1967, yang jelas menyebut bahwa warga negara Indonesia keturunan asing (Cina) dihina dalam proses asimilasi. "Itu untuk mencegah orang-orang Cina di sini menggalang kekuatan," kata seorang pejabat pemerintah. Pendekatan "kaku" seperti ini, menurut Dr. Blusse, tak terlalu salah. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman, itu harus diubah. Dr. Blusse melihat, justru kelompok peranakan Cina yang sudah menyatakan dirinya Indonesia bisa memainkan peranan penting. Kelompok peranakan, menurut Blusse, tak bisa terus dibiarkan seperti sekarang, yang berkembang menjadi masyarakat semu. Mereka bisa diberi kesempatan yang lebih besar. "Kalau orang Cina yang tetap ingin menjadi Cina, lupakan saja." Masalahnya tak mudah. Mendeteksi seorang Cina sudah menjadi Indonesia atau tidak tentu tak bisa dilihat dari kurang sipitnya mata, atau lebih gelapnya kulit. Yopie Hidayat (Jakarta) dan Asbari M. Krisna (Negeri Belanda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini