Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jangan biarkan mereka semu

Pandangan terhadap wni keturunan cina. penggolong- an orang cina yang ada di indonesia. kebijaksanaan pemerintah dalam penyelesaian masalah cina.

24 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pandangan terhadap WNI keturunan Cina cenderung main sapu rata. Menyebabkan yang sudah membaur pun ikut merana. IA belajar di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kemudian menikah dengan Dr. Djamaluddin Ancok, pengajar di universitas itu, seorang pribumi tulen yang belakangan dikenal sebagai tokoh cendekiawan muslim, ICMI. Namun, nyonya ini, Indrawati alias Lie Siok Tye, 43 tahun, masih tetap merasa mendapat perlakuan berbeda dengan warga pribumi. Sebagai contoh, ketika ia mengurus paspor di imigrasi, petugas selalu memandangnya curiga. Ia diminta menunjukkan surat keterangan ganti nama, Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), dan berbagai tetek-bengek lainnya yang tak diperlukan bila ia seorang pribumi. "Mereka rupanya tak percaya kalau saya ini benar-benar telah WNI. Saya tetap dicina-cinakan," keluh nyonya itu dengan getir kepada TEMPO. Tampaknya, tak sedikit kaum WNI keturunan yang mendapat perlakuan seperti Nyonya Indrawati ini ketika mereka mengurus KTP di kelurahan, paspor di imigrasi, atau berbagai keperluan administrasi kependudukan lainnya. Mereka juga mengalami perlakuan berbeda dengan kaum pribumi ketika lahir, menikah, mengadakan kenduri, masuk sekolah, dan sebagainya. Bukan rahasia lagi, di sela-sela sulitnya urusan surat-menyurat tadi sering dimanfaatkan oleh para petugas untuk mencari uang di dalam amplop. Padahal, banyak ahli Cina menggolongkan orang Cina yang ada di Indonesia menjadi dua kelompok besar: totok dan peranakan. Dr. Leo Suryadinata, pengajar di Singapore National University, misalnya, lebih suka memakai ukuran budaya untuk menentukan apakah orang itu totok atau peranakan, bukan berdasarkan kampung atau negeri tempat ia dilahirkan. Kalau orang itu masih berorientasi ke kebudayaan Cina, Dr. Leo cenderung menyebutnya orang Cina totok, sekalipun ia lahir di Indonesia. Kalau ia sudah berorientasi ke Indonesia, misalnya, tak lagi bisa berbahasa Cina, ia disebut peranakan. Orang peranakan ini, menurut Dr. Leonard Blusse, banyak memberi sumbangan pada perkembangan Indonesia di masa lalu dan sekarang, termasuk dalam perkembangan arsitektur, kesusastraan, dan senibatik Indonesia. Ahli keris Surakarta yang terkenal itu, Go Tik Swan, agaknya bisa sebagai contoh. Maka, katanya, "Akuilah kedudukan peranakan. Jangan biarkan mereka jadi masyarakat semu." Tak ada yang meragukan ini persoalan pelik. Tak ada juga yang meragukan niat pemerintah sekarang untuk menyelesaikan masalah ini. Susahnya berbagai kebijaksanaan terkadang dilakukan dengan ragu-ragu atau mendua, yang akhirnya hanya memberi hasil sedikit saja. Lihatlah ke masa awal-awal republik ini mulai berjalan efektif setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda. Suasana penuh gejolak nasionalisme pada waktu itu membuat pemerintah merasa perlu memberi perlindungan pada pengusaha pribumi agar bisa segera merebut kendali ekonomi yang saat itu banyak dikuasai keturunan Cina. Banyaknya orang keturunan bekerja sama dengan Belanda untuk kepentingan bisnisnya di masa penjajahan -- bahkan sikap ragu-ragu mayoritas mereka untuk memihak republik di masa revolusi -- dijadikan salah satu alasan oleh para pendukung gerakan ini. Muncullah sistem Benteng, 1950, yang membatasi gerak importir keturunan Cina. Para importir pribumi yang rata-rata baru dan belum berpengalaman, diberi kemudahan izin dan hak istimewa untuk mengimpor barang tertentu. Toh upaya ini boleh disebut gagal. Kebanyakan importir pribumi yang memperoleh lisensi impor -- tanpa modal dan keterampilan -- mencari pengusaha Cina untuk memodali dan menjalankan bisnisnya. Ketika itulah muncul julukan pengusaha Ali-Baba. Kegagalan program ini juga disebabkan seringnya terjadi gonta-ganti kabinet pada zaman demokrasi parlementer itu. Banyak kabinet berusia hanya beberapa bulan sehingga Benteng tak dijalankan dengan konsisten. Pengusaha Benteng yang mulai berkibar pada zaman Kabinet Masyumi, misalnya, ambruk setelah kabinet dipimpin orang PNI. Akhirnya Benteng dihentikan, 1954. Namun, iklim anti pengusaha Cina tetap bergolak. Pada tahun 1956, muncul gerakan Assaat yang menginginkan agar keturunan Cina -- tak peduli ia warga asing atau Indonesia, totok atau peranakan -- disisihkan dari kegiatan ekonomi. Penganjur kampanye ini adalah Assaat, politisi asal Sumatera dan pernah menjadi penjabat presiden Republik Indonesia. Salah satu hasil gerakan Assaat muncul beberapa tahun kemudian, ketika Soekarno mulai benar-benar berkuasa setelah Dekrit Presiden 1959. Pada bulan November tahun itu, keluar Peraturan Presiden No. 10 -- amat dikenal sebagai PP 10 -- yang melarang orang Cina asing berdagang eceran di luar kota kabupaten. Setahun kemudian, pelaksanaan PP 10 dihentikan begitu saja walaupun PP itu sendiri tak dicabut pemerintah. Kacaunya ekonomi, setelah terjadi stagnasi distribusi barang-barang kebutuhan sehari-hari di pedesaan yang ditinggalkan oleh pedagang Cina, menjadi salah satu alasan pembatalan PP ini. Selain itu. Soekarno sendiri yang mulai mendempet ke Beijing menganggap PP itu menghalangi kebijaksanaan politiknya. Di masa itulah eksistensi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) menjadi amat menonjol. Organisasi keturunan Cina yang didukung PKI ini giat berkampanye untuk integrasi orang Cina ke Indonesia, yang artinya: Keturunan Cina dijadikan kelompok masyarakat tersendiri, dan budayanya harus dipelihara. Jika menyimak pidatonya pada periode ini tampak bagaimana Soekarno sangat membenci rasialisme. "Saya sendiri tidak tahu apakah saya ini orang asli atau tidak. Mungkin saja saya keturunan Portugis," katanya antara lain. Namun, cuaca bisa segera berubah sesuai dengan iklim politik. Setelah G30S/PKI meletus, Baperki sebagaimana ormas pendukung PKI lainnya dikubur, dan keterlibatan RRC terungkap, pendekatan pemerintah pada warga keturunan Cina berubah dengan cepat. Mereka diawasi ketat, dan dilarang menyekolahkan anaknya ke sekolah Cina yang semuanya segera ditutup. Kebijaksanaan pemerintah tentang penggantian nama bagi WNI keturunan diberlakukan. Dengan turunnya kebijaksanaan itu, pemerintah lalu membentuk Panitia Negara Penyelesaian Masalah Cina, yang sekarang berada di bawah Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Instansi itu bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). "Bakin bertugas memberi masukan pada instansi lain tentang masalah Cina," kata W.D. Soekisman, bekas ketua BKMC, yang kini menjadi Rektor Universitas Darma Persada. Salah satu contoh bagaimana badan ini bekerja adalah ketika Teater Koma dilarang mementaskan drama komedi Sampek Engtay di Medan. "Di sana banyak orang Cina, itu sebabnya dilarang," kata Soekisman. Petunjuk dari Bakin memang menyebut, salah satu cara mengatasi masalah Cina adalah memotong afinitas, keterkaitan kultural, di kalangan etnis Cina. Berkaitan dengan itu sejak 29 April 1988, sesuai dengan instruksi Menteri Dalam Negeri, tak boleh lagi dibangun kelenteng yang baru di sini. Berbagai langkah ini sebenarnya bisa mempercepat tumbuhnya kaum peranakan dan dianggap tepat oleh ahli seperti Leonard Blusse tadi. Tentu saja ada kritik. Soetandyo Wignyosoebroto, guru besar FSIP Universitas Airlangga Surabaya, menganggap pemutusan budaya itu bukanlah cara efektif untuk mengatasi masalah Cina. Persoalannya, menurut Soetandyo, lebih banyak terletak pada kesetiaan politik. "Kalau sudah bagus, ya, sudah. Jangan logikanya dibalik, lantas kesetiaan politik dihubungkan dengan kesukuan," katanya pada Bina Bektiati dari TEMPO. Namun, beleid Pemerintah untuk terus menaruh perhatian ekstra pada warga keturunan Cina tampaknya masih akan berlanjut. Hal ini banyak tercermin dalam berbagai kebijaksanaan kependudukan sehari-hari. Di mata para pejabat pelaksana, kelompok keturunan mendapat perlakuan yang sama saja dengan si totok sehingga menimbulkan keprihatinan bagi orang-orang seperti Nyonya Indrawati tadi. Di Jakarta, misalnya, nomor KTP warga keturunan Cina selalu diberi spasi di tengah, yakni setelah nomor kode kelurahan. Demikian pula surat penting lain, seperti akta perkawinan, diberi kode khusus. Rupanya, pembedaan seperti ini memang tak terelakkan sebagai salah satu cara perencanaan yang bersifat sekuriti. Panglima ABRI, Jenderal Try Sutrisno, berkata, "Tak usah berkecil hati, itu kan supaya perencanaan kita lebih baik. Misalnya untuk Anda yang dari Tanah Abang warnanya hijau, untuk yang dari Lapangan Banteng warnanya kuning. Lo, kenapa mesti takut? Kalau amalnya baik, kan nggak apa-apa." Meskipun demikian, dalam bidang ekonomi tak bisa dimungkiri bahwa banyak kebijaksanaan pemerintah di masa orde baru yang juga mendorong pengusaha keturunan Cina bisa bergerak lebih cepat. Dalam kurun belakangan ini, muncul banyak konglomerat yang sebagian besar keturunan Cina. Menurut Sejarawan Onghokham, kesempatan yang muncul di era orde baru lebih cepat ditangkap orang Cina karena mereka memiliki kultur bisnis yang sudah ditumbuhkan selama berabad-abad. "Ini tak ada hubungannya dengan nilai-nilai tradisional Cina karena kita bisa melihat di daratan Cina sendiri ekonomi malah jebol," kata Ong. Yang juga penting, pengusaha Cina memang lebih mudah diajak bekerja sama. "Mereka bisa menyimpan rahasia," ia menambahkan. Kondisi ini pula yang akhirnya menyulut kembali perdebatan tentang kesenjangan ekonomi. Pemerintah cukup tangkas mencoba mengatasi dengan berbagai beleid lagi. Penjualan saham pada koperasi, program Bapak Angkat, adalah beberapa contoh. Bahwa program ini sangat penting, sudah tampak dari awal. Presiden Soeharto sendirilah yang mengampanyekannya di Tapos. YH, Dwi S. Irawanto, Sri Pudyastuti K. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus