Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sejumlah Soal Setelah 40 Hari

Peringatan 40 hari wafat Sri Sultan Hamengkubuwono IX berlangsung dengan khidmat. Hadikusumo menerima wasiat dari sultan yang menyebutkan KGPH Mangkubumi akan menjadi Hamengkubuwono X.

19 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELEPAS Magrib, 25 abdi dalem berjubah dan berpakaian serba putih tampak memasuki Bangsal Kencono. Bangunan utama Keraton Yogya yang berumur lebih dari 200 tahun itu dulu adalah tempat raja bertakhta, menerima para abdi bangsawan, dan para tetamu lainnya Kini malam itu, ia hanya tempat memperingati seorang raja. Sebelum memasuki ruangan yang diagungkan itu, satu per satu lelaki berjubah itu menghaturkan sembah. Lalu satu persatu pula mereka memasuki bangsal dan dengan teratur duduk bersimpuh menghadap barat. Inilah para abdi dalem putih yang bertugas mengurusi masalah agama di Keraton, dan malam itu mereka dipimpin oleh Raden Wedono Ngabdul Bardi, ulama Keraton. Tak lama kemudian, para tamu mulai berdatangan melalui gerbang utama Srimanganti. Di antaranya terlihat Ketua KONI Surono, Ketua Kwarnas Pramuka Mashudi, bekas Menteri Penerangan Budiardjo, dan Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto. Semuanya mengenakan pakaian peranakan. Sekitar pukul 19.35, rombongan tamu dari Kasunanan Surakarta memasuki Bangsal Kencono, dengan dipimpin langsung oleh Sri Susuhunan Paku Buwana XII. Kemudian menyusul rombongan dari Mangkunegaran. K.G.P.A Mangkoenagoro (dulu Sujiwo Kusumo) tampak hadir sebagai kepala rombongan. Ada sekitar 1.000 undangan dan keluarga Keraton yang mengikuti upacara di Bangsal Kencono, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, malam itu, Kamis pekan lalu. Ini peristiwa penting, upacara tahlilan memperingati 40 hari wafatnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Hanya Sri Paku Alam VIII, Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tak terlihat. Konon kesehatannya terganggu. Mereka duduk bersimpuh mengitari ruangan. Di tengahnya terpancang gambar lukisan Sri Sultan berukuran 4 kali 8 meter, karya pelukis Samsoel Hadi. Itulah gambar Sri Sultan semasa muda, ketika ia dilantik sebagai raja Yogyakarta, 48 tahun yang silam. Persis di depan lukisan yang menghadap ke timur itu ada meja panjang setinggi 30 cm, dilapisi kain putih. Di atasnya terletak bermacam sesaji yang disebut kersanan dalem atau yang diinginkan oleh Ngarso Dalem. Hidangan yang tersaji itu terdiri dari nasi gurih lengkap dengan sambal pecal, lalap, dan seekor ayam (ingkung). Ada pula berbagai penganan kegemaran Sri Sultan semasa hidupnya, seperti cake Mandarin dan mangut ikan, serta buah-buahan anggur, salak, dan apel. Meja itu dihiasi 16 lilin. Bau semerbak datang dari bunga melati yang ditaburkan di lantai bangsal berlapis karpet merah itu. Tepat pukul 19.45, Raden Wedono Ngabdul Bardi, pimpinan abdi dalem putih tadi, mengajak para hadirin untuk mulai memanjatkan doa. Hujan pun mulai turun rintik-rintik. Hadirin mulai ramai membaca tahlil. Lalu hujan pun menderas. Acara ini memang sudah disiapkan dengan rapi. Kepada para hadirin sebelumnya telah dibagikan buku kecil berisi doa tahlil bertulisan Arab dan Latin. Buku bersampul hijau itu sengaja dicetak Keraton khusus. Di sampulnya ada tulisan, "Mengenang Sri Sultan Hamengku Buwono IX, 1912-1988." Upacara khidmat ini berlangsung sekitar 30 menit, dan berakhir dengan pembagian nasi sedekah kepada semua hadirin. Dengan tertib satu per satu hadirin beringsut meninggalkan ruangan. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan, di Pagelaran, semacam pendopo keraton, 2.000-an umat Islam juga membacakan doa tahlil dipimpin oleh Drs. Haji Husen Yusuf, Ketua Majelis Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di Siti Hinggil, bangsal sebelah selatan Pagelaran, ratusan penganut Budha dan Hindu tak ketinggalan. Dan di Sasana Hinggil, gedung yang terletak di alun-alun selatan, 400-an umat Kristen dan Katolik dipimpin Romo Hadiwidjaja melakukan kebaktian untuk Ingkang Sinuwun. Doa-doa dibacakan dalam bahasa Jawa, dan gending-gending dialunkan dengan seperangkat gamelan. Kudus. Hamengku Buwono IX memang sekali lagi nampak telah jadi orang yang bisa mempersatukan banyak kalangan dalam satu ikatan dukacita. Juga, di malam itu ketiga istri Sri Sultan yang ditinggalkan nampak akrab satu sama lain. Nyonya Norma atau K.R.Ay. Nindyokirono seakan menjadi pusat perhatian. Mengenakan baju serba hitam ia nampak duduk di samping K.R.Ay. Hastungkoro, istri ketiga Sri Sultan. Di sisinya sebelah lagi terlihat K.R.Ay. Pintoko Purnomo, istri tertua Ngarso Dalem. Di barisan ini terlihat pula para menantu Sri Sultan duduk bersimpuh. Sering terlihat Nyonya Norma berbisik-bisik dengan Hastungkoro di sebelahnya -- satu indikasi, mungkin, bahwa hubungan Norma dengan keluarga Keraton tidaklah seburuk seperti yang sering digosipkan. Begitu pula hubungan dengan para anak tirinya. "Saya baik-baik saja dengan Bu Nindyo, tak ada masalah. Entah dengan saudara yang lain saya ndak tahu. Tapi bagi saya, bagaimanapun juga, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dia adalah ibu saya," ujar K.G.P.H. Mangkubumi, putra tertua almarhum. Pendapat ini dikukuhkan oleh keturunan Sri Sultan yang lainnya. "Hubungan saya baik. Tak ada beda dengan ibu-ibu yang lain. Boleh dicek bagaimana pandangannya terhadap saya," kata Gusti Kanjeng Ratu Anom, putri tertua Sultan dari K.R.Ay. Pintoko Purnomo. Nindyokirono sudah berada di Keraton sejak dua hari sebelum upacara. Ia tinggal di Keraton Kulon, tempat yang khusus disediakan untuknya bila berada di sini. Dalam acara menziarahi makam Sri Sultan di kompleks makam raja-raja Mataram, Astana Saptarengga, Imogiri, keesokan harinya, Jumat pekan lalu, ketiga janda Sri Sultan juga nampak rukun. Mereka sama mengenakan kebaya warna hijau tua dengan kain batik cokelat tua. Sejak dari Istana sampai ke makam, mereka terus berdampingan. Pada waktu menaiki tangga menuju kompleks makam terkadang mereka terlihat saling berpegangan tangan. Adegan ini cukup menarik perhatian 2.000an hadrin yang turut meramaikan upacara ziarah, menabur bunga di makam Ngarso di Bangsal Kencono Dalem, di pagi hari itu. Tapi yang lebih menarik adalah munculnya pernyataan G.B.P.H. Hadikusumo, yang disampaikan kepada para wartawan di sela-sela upacara tahlilan tadi. "Memang benar Kangmas Mangkubumi sudah disiapkan sejak lama untuk menggantikan Bapak. Meskipun demikian, yang memutuskannya nanti adalah rapat keluarga," kata putra tertua Sri Sultan dari istri pertama, K.R.Ay. Pintoko Purnomo, itu. Apa yang diungkapkan Hadikusumo, 42 tahun, sungguh tak terduga sebelumnya. Dan ini bisa memberi arti bahwa jalan K.G.P.H. Mangkubumi menuju tahta sudah amat mulus. Sebab, pernyataan ini, menurut Hadikusumo, tak lain dari pesan lisan yang disampaikan Sri Sultan kepadanya, 5 September yang lalu. Sebelumnya, pesan itu pernah juga ia terima delapan tahun yang lampau. "Saya koreksi keterangan saya sebelumnya, sebenarnya yang saya terima itu pesan, bukan wasiat," kata pangeran yang juga Rektor Universitas Proklamasi Yogyakarta itu kepada TEMPO. Seperti diketahui, pada 11 Oktober 1988, delapan hari setelah Sri Sultan wafat, tiba-tiba Hadikusumo melemparkan sebuah berita yang kontroversial yang dimuat Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Di situ ia mengatakan bahwa pada 5 September 1988, atau 28 hari sebelum Sri Sultan wafat, ia telah menerima wasiat dari ayahandanya. Wasiat yang diterimanya dari Ingkang Sinuwun di rumah kediaman Jalan Halimun Jakarta, dengan disaksikan oleh K.R.Ay. Nindyokirono. Untuk itu, ia sengaja dipanggil sang ayah dari Yogyakarta. Nindyokirono, saksi satu-satunya, membenarkan pula adanya wasiat itu. Malah janda termuda Ngarso Dalem ini menguak sedikit rasa keingintahuan orang dengan mengisyaratkan bahwa pertemuan yang berlangsung selama dua setengah jam itu ada kaitannya dengan soal suksesi takhta Kasultanan Yogyakarta. "Bapak malah pernah menyebut pada saya bahwa nantinya akan ada Hamengku Buwono X," katanya pada waktu itu. Untuk urusan itu pula, menurut Nyonya Norma pula, menjelang penobatan empat pangeran baru di Keraton Yogyakarta, 23 Juli yang lalu, Sri Sultan telah memanggil tiga putranya ke Jalan Halimun untuk sebuah pembicaraan yang konon berlangsung dari dari pukul 5 sore sampai pukul 12 tengah malam. Mereka yang dipanggil oleh Ingkang Sinuwun itu ialah K.G.P.H. Mangkubumi dan dua adiknya seayah seibu, G.B.P.H. Hadiwinoto dan8ui G.B.P.H. Joyokusumo. Untuk keperluan yang sama, Ngarso Dalem pernah pula mengadakan pembicaraan dengan Sri Paku Alam VIII, Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Apa isi wasiat dan berbagai pembicaraan yang dilakukan Sri Sultan? Hadikusumo maupun Nindyokirono sama menolak memberikan jawaban yang jelas, dengan alasan: saat itu mereka sekeluarga masih dalam suasana berkabung. Wasiat itu baru akan mereka buka setelah 40 hari masa berkabung itu berakhir. Banyak dugaan jika isi wasiat itu hanya akan mendukung Hadikusumo menjadi pengganti ayahandanya sebagai Sultan HB X. Dugaan ini menjadi kuat bila diingat hubungan Hadikusumo dengan sang ibu asal Bangka itu selama ini dianggap cukup dekat. Apalagi Mangkubumi dan Hadikusumo adalah putra Sri Sultan dari ibu yang berlainan, yang dianggap merupakan calon paling potensial di antara 14 putra Sri Sultan yang ada untuk menduduki dampar kencono yang ditinggalkan Ngarso Dalem. Keduanya menonjol. Mangkubumi, putra tertua, adalah Ketua DPD Golkar DIY. Ia juga pendiri Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Sedang Hadikusumo, yang berusia enam bulan lebih muda, selain rektor adalah Komandan Tim Sar dan Ketua Kwarda Pramuka Yogyakarta. Ia juga pimpinan kelompok spiritual Sabtu Pahing yang memiliki 80.000 anggota, tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Berbagai reaksi dari kalangan Keraton muncul. Umumnya kurang yakin akan adanya wasiat itu, apalagi bila wasiat itu tidak tercantum hitam di atas putih. Reaksi terkeras datang dari Pangeran Poeroebojo, kakak Sri Sultan lain ibu. "Saya tak yakin ada wasiat dari Ngarso Dalem," katanya terus terang waktu itu, dengan alasan dalam catatan sejarah Mataram sejak HB I sampai HB VIII, tak satu pun yang pernah meninggalkan wasiat seperti itu. Pernyataan meragukan wasiat versi Hadikusumo itu juga datang dari kubu Mangkubumi. Menurut sebuah sumber, ini mengakibatkan terjadinya semacam "polarisasi" antara Mangkubumi dan kerabat Keraton lainnya di satu pihak, serta Hadikusumo dan Nyonya Norma di pihak lain. Jumat, 4 November yang lalu, keluarga ini sepakat membuka lemari-lemari peninggalan Sri Sultan di kantornya, di Jalan Prapatan Jakarta Pusat. Ternyata, dari 12 lemari yang ada di situ, 10 lemari bisa terbuka dari kunci yang diberikan K.R.Ay. Nindyokirono. Isinya cuma album, yang antara lain berisi foto-foto lama, buku, surat-surat tua, buku-buku diktat berbahasa Belanda, serta buku-buku lainnya yang sudah berusia puluhan tahun. Tapi dua lemari besi tak bisa dibuka karena kuncinya tak ada. "Bu Nindyo bilang, tak tahu di mana kedua kunci itu," kata G.B.P.H. Prabukusumo, putra tertua dari K.R.Ay. Hastungkoro. Sri Sultan memang menyerahkan kunci-kunci pada Nyonya Norma sebelum mereka berangkat ke Amerika Serikat 14 September yang lalu. Yang masih terkunci itu berupa sebuah filing cabinet, dua laci warna abu-abu, dan sebuah brankas merk "Crown". Apakah di sini tersimpan benda berharga, surat-surat perusahaan, cek, atau berbagai catatan penting Sri Sultan dalam perjuangannya yang panjang yang bernilai sejarah? Belum diketahui. Atau di situ tersimpan wasiat Ngarso Dalem tentang masalah suksesi Keratonnya? Siapa tahu. Di Keraton, Senin pekan lalu, G.B.P.H. Prabukusumo, ketua panitia peringatan 40 hari wafatnya Sri Sultan, memberikan keterangan pers dengan didampingi adiknya lain ibu, G.B.P.H. Pakuningrat. Bersama mereka terlihat Letkol. Moerdiono Darmo, Kapolresta Yogyakarta. Dalam kesempatan itu, Prabukusumo menjelaskan kisah hilangnya dua kunci tadi. Bila kunci itu tak juga ditemukan sampai berakhirnya masa berkabung, maka pihak keluarga akan membongkar paksa filing cabinet dan brankas di kamar kerja Sri Sultan itu. Apakah berkumpulnya keluarga ini di Yogyakarta dalam peringatan 40 hari wafatnya Sri Sultan sudah menghapus seluruh persoalan? Belum tentu. Tapi agaknya dua kunci yang hilang telah ditemukan. Ketika Minggu pagi yang lalu, putra-putra Keraton ini membuka meja kerja Sri Sultan di Gedung Jene (Gedung Kuning, kantor Sri Sultan di Keraton) ditemukan beberapa kunci dan dua di antaranya dicurigai sebagai kunci brankas dan filing cabinet itu. Meskipun demikian, lemari besi itu nampaknya terpaksa juga dibongkar dengan menyewa ahli kunci. Sebab, tak seorang pun di antara mereka yang tahu nomor kode brankas itu kecuali Almarhum. Jika soal kunci itu beres, mungkin akan beres terbuka pula persoalan lain. Pernyataan Hadikusumo di malam tahlilan yang lalu mungkin juga bisa meredam kontroversi. Toh Mangkubumi sendiri mengaku belum tahu apakah betul ada wasiat Sri Sultan. Ia menolak mengomentari pernyataan Hadikusumo itu. "Bila tidak ada wasiat, maka yang menentukan siapa yang akan bertakhta di Keraton Yogya adalah rapat keluarga," kata Mangkubumi. Pesan Sri Sultan yang diungkapkan Hadikusumo memang masih memancing pertanyaan. Bila memang Sri Sultan sudah mempersiapkan Mangkubumi sebagai penggantinya, mengapa la masih memesankan agar masalah itu diselesaikan melalui rapat keluarga? "Terserah menafsirkan atau menebaknya. Pokoknya, pesannya hanya itu," kata Hadikusumo. Maka, nampaknya setelah brankas dan filing cabinet itu dibuka. yang segera akan dilangsungkan ialah rapat keluarga memilih H.B. X. Mungkin akan banyak lagi berlangsung rapat keluarga. Urusan warisan adalah urusan yang memang harus diselesaikan, dan tak mudah buat sebuah keluarga sebesar keluarga Hamengku Buwono IX. Urusan lain ialah jabatan. Bila kelak Mangkubumi akan jadi H.B. X, belum tentu ia merangkap jabatan gubernur. Mensesneg Moerdiono mengatakan itu tidak otomatis. Pendapat itu diperkuat pula oleh Mendagri Rudini. Dengan berlakunya UU Nomor 5/1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah maka pemilihan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan melalui DPRD. Mangkubumi sendiri menyadari posisinya. Tapi mengubah struktur administrasi Yogya tak mudah. Maka, seperti kata Rudini, "Soal Yogyakarta ini baik kita tunggu saja keputusan Presiden." Silakan. Amran Nasution, Slamet Subagyo, Aries Margono, Tri Budianto Soekarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus