SEWAKTU Bush dan Dukakis bersaing untuk menjadi presiden AS, para guru dan siswa STM Magetan, Jawa Timur, menyaksikannya lewat televisi. Mereka memang punya antena parabola. Tetapi tak lazim: parabola beton bikinan sendiri. "Teman-teman dl pedesaan 'kan nggak mungkin punya parabola. Terlalu mahal," kata Pak Guru Sutrisno, pencetus ide. Mengapa tak bikin yang murah, pikirnya. Ia tahu, semua benda padat memantulkan gelombang pendek. Bukan hanya logam, tapi juga beton. Dibantu lima guru lain, ia menyusun rencana dan mengerjakannya. Tanah digali cekung. Perhitungan cekungnya sama persis dengan parabola biasa. Kecekungannya mereka hadapkan ke posisi satelit Palapa. Lalu dilapis semen. Tepat di titik fokus, dipasang peralatan teknis lazimnya, misalnya satellite receiver low noise block. Tepat di Hari Sumpah Pemuda lalu, klik ... azan magrib dari stasiun TV Malaysia pun berkumandang. Kelemahan parabola beton memang ada. Arah antena statis, tak bisa diputar ke satelit lain, sehingga siarannya, ya, itu-itu juga: TV Muangthai atau Malaysia. Kata Sutrisno, itu bisa diatasi. Yakni dengan membikin feed horn-nya bisa diubah-ubah arah, secara manual maupun dengan motor. Perbaikan itu baru dalam rencana. Tapi ia yakin, parabola betonnya dapat menangkap gelombang Intelsat. Kini mereka siap menerima pesanan. Murah, cuma habis Rp 1,6 juta. Parabola biasa seharga Rp 5-7 juta. Namun, jangan lupa diberi lubang saluran air, biar kalau hujan tak jadi kolam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini