BAGI K.G.P.H. Mangkubumi, S.H., 42 tahun ketua DPD Golkar Daerah Istimewa Yogyakarta itu kans naik takhta sebagai Hamengku Buwono X cukup besar. Ia anak lelaki tertua, yang juga diangkat sebagai pangeran lurah yang mengomandani 21 adik-adiknya. Ia pula satu-satunya pangeran yang dipromosikan satu tingkat lebih tinggi dengan gelar kanjeng. Selain itu, ada faktor lain. Sejak lahir, ia sudah diperhatikan ayahandanya. Hal itu misalnya diceritakan oleh Ki Juru Permono, 70 tahun. Penasihat spiritual Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang tinggal di Sleman itu yakin, Mangkubumilah pewaris takhta ayahandanya, meskipun untuk itu ia juga memperhitungkan musyawarah seluruh kerabat Keraton. "Ketika Ngarso Dalem mempersunting Windianingrum, beliau berjanji jika ia melahirkan anak lelaki, anak itulah kelak yang akan menggantikannya," kata Ki Juru. Ketika itu Sri Sultan sudah dianugerahi empat anak perempuan. Kemudian lahirlah Mangkubumi dari rahim Windianingroem. Bahwa Mangkubumi merupakan "anak istimewa", diceritakan oleh Sri Sultan dalam biografinya, Tahta Untuk Rakyat. Beberapa hari menjelang kelahiran Mangkubumi pada 2 Maret 1946, seseorang dari Ambarawa menyerahkan wayang Srikandi -- satu di antara lima wayang ciptaan Hamengku Buwono I yang menjadi pusaka Keraton, yang diramalkan akan hilang. Bila kelak kelima wayang itu ditemukan, negara akan adil, makmur, dan sentosa. Srikandi adalah wayang keempat yang ditemukan. Penemunya menyarankan agar anak lelaki Sri Sultan yang akan lahir diberi nama Arjunawiwaha. "Saya pikir kurang enak bila saya memberi nama Arjunawiwaha. Lalu saya mencari bunyi lain dengan memasukkan nama Arjuna, dan anak itu saya beri nama Herjuno Darpito," katanya. Tepat ketika Herjuno lahir, ayahandanya mengalami kejadian "aneh". Seekor ayam jago hitam mulus yang dipelihara dekat ruangan penyimpan pusaka Keraton mendadak mati. "Seolah-olah jiwanya berpindah ke dalam tubuh anak saya," tutur Sri Sultan. Ayam jago itu berpasangan dengan seekor ayam jantan lain yang berbulu putih mulus, yang disembelih dan dikuburkan di suatu tempat di kompleks Istana. Kedua ayam jantan itu berasal dari Gunung Wilis, Jawa Timur, atas petunjuk seorang kiai yang dimintai nasihat oleh Sri Sultan. Di awal revolusi kemerdekaan itu sang kiai mengaku mendapat wisik (semacam ilham) bahwa untuk keselamatan republik, Sri Sultan antara lain harus mengorbankan dua ayam jantan tersebut. Menjelang usia lima tahun, B.R.M. Herjuno dititipkan kepada Ki Juru Permono di Sleman. Ketika si kecil berusia lima tahun, Ki Juru merasa perlu mewisuda dengan memberi nama baru: Herjuno Suryo Alam. Nama itu konon ia peroleh melalui wisik Sunan Kalijaga. Dua tiga kali dalam seminggu Herjuno pergi ke rumah Ki Juru naik andong (kereta kuda), dan baru pulang pada sore hari. Di sanalah ia mendengarkan cerita Ki Juru mengenai kepahlawanan para raja dan pengeran sejak dari zaman Majapahit. Gemblengan agar menjadi kesatria berbudi luhur itu ditempuh sampai Herjuno disunat. Ki Juru merasa bertanggung jawab atas anak asuhannya itu, setelah menerima pesan Ngarso Dalem agar tidak keluar dari Yogyakarta sebelum tugasnya menggembleng Herjuno selesai. "Amanat itu saya terima pada 1949, ketika Ngarso Dalem akan pindah ke Jakarta," kata Ki Juru lagi. Ketika Herjuno berusia 27 tahun, pada tahun 1973, Sri Sultan minta Ki Juru memberi nama baru untuk Herjuno. Setelah menyelenggarakan selamatan di Keraton Ambar Ketawang yang dibangun oleh Hamengku Buwono I, Ki Juru memutuskan nama Mangkubumi -- yang adalah juga nama Hamengku Buwono I, pendiri dinasti Kasultanan Yogyakarta. Meski dipersiapkan secara spiritual selama bertahun-tahun, pada usianya yang ke-42 kini, Mangkubumi yang juga Dirut PT Punakawan itu mengaku tidak pernah berpuasa, "kecuali di bulan Ramadan." Ia juga tidak pernah bertapa di pucuk gunung, berendam di sungai, atau memendam diri dalam tanah. "Bagi saya, kalau kita melakukan hidup sederhana, sak murwat, itu berarti juga nglakoni atau mengurangi hawa nafsu," katanya. Ia juga tidak pernah meditasi, mengalami yang gaib-gaib, atau bertemu arwah seseorang, apalagi menerima wisik. "Bapak hanya mengajarkan agar semua putranya mandiri, sederhana, dan berorientasi kepada rakyat," tambahnya. Tentang nama Mangkubumi, katanya, diusulkan Pangeran Poerboyo yang mencarinya di perpustakaan Keraton. Sejak Hamengku Buwono I sudah 27 pangeran yang bernama Mangkubumi. Misalnya Hamengku Buwono II dan VI, juga teman seperjuangan Pangeran Diponegoro. Yang ke-28 ialah Mangkubumi, konon calon Hamengku Buwono X. Di masa kanak-kanaknya, Mangkubumi yang kini dianugerahi lima anak itu (semuanya perempuan) juga bandel. Ketika masih duduk di SD Keputran I, banyak angka merah dalam rapornya gara-gara terlalu suka bermain-main. Akibatnya ia harus mengulang dan duduk sekelas dengan adiknya, Hadikusumo. Di SMP, SMA dan di FH-UGM, ia aktif dalam kegiatan olahraga dan kesenian. "Hingga kuliah itu saya selesaikan selama 17 tahun," katanya. Salah satu kelebihan Mangkubumi dari adik-adiknya adalah kedudukan sosialnya. Selain menjabat Ketua DPD Golkar Daerah Istimewa Yogyakarta serta anggota DPR, ia juga menduduki kursi Ketua Kadin DIY. Ia juga satu-satunya putra mendiang Sultan yang telah menunaikan ibadah haji. Budiman S. Hartoyo, Budiono Darsono, Slamet Subagyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini