ADA sebuah sekolah yang santaisantai saja--di masa sekolah lain
sibuk karena kebanjiran calon siswa baru. Namanya Sekolah Luar
Biasa bagian C.
Sekolah itu masa pendaftarannya setiap waktu. Ia memang
melakukan seleksi, tapi konon belum pernah ada calon siswa yang
ditolak. Seleksinya si calon memang penderita cacat mental
berat--dengan tingkat kecerdasan (IQ) tak lebih dari 50.
Tujuan pendidikannya pun sederhana "Pendidikan di sini adalah
pelajaran mengurus diri sendiri," tutur J.L.W. Senduk, 69
tahun, Direktur Panti Asih Pakem -- sebuah panti asuhan 21 km
dari Yogya yang memiliki SLB-C.
Di sebuah ruang di SLB-C Yayasan Sumber Asih, Jakarta, seorang
gadis, 12 tahun, sedang mengelap sejumlah gayung plastik. Gayung
tersebut tak ada yang kotor, bersih sama sekali. "Ia berlatih
mengelap alat-alat dapur," kata ibu guru yang menungguinya.
Di sebuah ruang yang lain, seorang bapak guru diam saja, hanya
mengawasi 10 anak asuhannya yang sibuk sendiri-sendiri: ada yang
lari-lari, ada yang teriak-teriak, ada yang duduk dan diam saja.
Di lapangan sekolah tersebut beberapa anak gadis berjalan-jalan
sambil berpegangan tangan. Di pinggir lapangan beberapa anak
berdiri di depan sejumlah bak kecil: mereka sedang belajar
menyikat gigi.
Di SLB-C tak ada masa belajar. "Tergantung kesanggupan anak itu
sendiri. Ada yang sebelas tahun, ada yang lebih," cerita
Direktur Panti Asih Pakem.
Di panti asuhan itu bahkan ada seorang perempuan yang rambutnya
sudah memutih, berumur sekitar 45 tahun dan sudah 10 tahun lebih
menjadi siswa SLB-C di situ. Kini ia punya jabatan: asisten
pengasuh. Toh sekali-sekali para pengasuh di situ harus masih
bersabar ia masih suka bercermin lama sekali.
Dua Pandangan
Menurut kriteria Departemen P&K, SLB dibagi menjadi tiga
kategori SLB-A untuk tunanetra, SLB-B untuk bisu-tuli dan SLB-C
seperti telah disebut. Di seluruh Indonesia sendiri ada 9 SLB
Negeri--antara lain di Jakarta, Bandung, Garut, Surakarta.
Sedang yang didirikan Swasta kini sekitar 20.
Pemerintah, kecuali memberi subsidi bagi SLB swasta--yang tidak
rutin-memberikan bantuan tenaga pendidik. Di SLB-C Pakem
misalnya, ada 3 guru bantuan pemerintah. Di SLB-C Alpa Kumara
Wardhana, di Surabaya, bahkan dari 43 tenaga pendidiknya
adalah bantuan pemerintah.
Sejumlah SLB-C mengasramakan siswanya. Yang lain tidak. Kecuali
kesulitan teknis --soal biaya --memang ada dua pandangan dalam
hal ini. Bagi Dra. Murdaningsih, 38 tahun, Kepala SLB-C Sumber
Asih, "mengasramakan anak cacat mental sama saja dengan menambah
jarak antara anak dan orang tuanya." Ia berpendapat: pendidikan
yang diberikan rli sekolah sebaiknya diteruskan para keluarga
anak di rumah.
Tapi di SLB-C Panti Asih Pakem jadwal kegiatan memang penuh.
Lagipula, di sekolah itu anak-anaknya datang dari berbagai
penjuru Kalimantan, Sumatera dan Maluku. Maka mengasramakan
mereka adalah jalan yang praktis. lentang menjauhkan mereka
dengan orang tua, Senduk, sang direktur hanya menjawab:
"Sudah menjadi tujuan Panti Asih, untuk pada akhirnya
mengembalikan mereka ke orang tuanya setelah anak itu bisa
mengurus diri sendiri." Menurutnya pula, sejak sekolah itu
berdiri, 1969, sudah sekitar 100 anak dikembalikan ke orang
tuanya.
Pelajaran bagi SLB-C tentu lain dari sekolah biasa. Di samping
tercantum acara seperti: agama/budi pekerti, olahraga,
ketrampilan (menjahit, masak), kesenian, pengetahuan lingkungan,
membaca dan berhitung, ada juga pelajaran berpakaian. menyikat
gigi, menyapu, mandi.
Dan rata-rata para guru SLB-C sepakat, erhitung dan membaca
paling susah diajarkan kepada anak-anak cacat itu.
Ada yang menarik, yang kini sedang dicoba di SLB-C Bandung
memberikan pelajaran karate. Ide ini datang dari Juhaeri, 22
tahun, mahasiswa IKIP Bandung jurusan Pendidikan Luar Biasa.
Mulai belajar Mei yang lalu, menurut Juhaeri yang memang
karateka itu "Anakanak itu senang." Tapi ada yang mengritik
mengapa anak-anak yang mental dan emosinya tak stabil justru
diajar karate? Jawab Juhaeri "Justru karate mendidik
mengendalikan emosi dan melatih mental. Dan ini baru percobaan.
Kalau memang lebih banyak efek buruknya, akan saya hentikan,
katanya kepada TEMPO,
Anggrek dan Ayam
Bagi SLB-C swasta, tentu saja salah satu masalah yang harus
dihadapi ialah soal biaya. Tak semua orang tua anak mampu SLB-C
Alpa Kumara Surabaya, yang sekarang mengasuh lebih dari 150 anak
cacat mental, memungut sumbangan dari Rp 500 sampai Rp 6 ribu
sebulannya. Tapi sejumlah anak dibebaskan dari beban itu, karena
memang apa daya. "kita tak bisa terlepas dari masalah sosial,"
kata Ny. Soedewo, Ketua yayasannya.
Di SLB-C Pakem, karena anak-anaknya diasramakan, uang sumbangan
menjadi tinggi: Rp 25 ribu sebulan. Tapi hanya 16 anak dari 101
yang kini diasuh di situ yang ditarik bayaran setinggi itu.
Sebagian besar dipersilakan menyumbang semampunya, dan ada 16
anak yang dibebaskan sama. sekali dari kewajiban tersebut.
Praktis, SLB-SLB swasta tak bisa menutup pengeluaran hanya dari
sumbangan orang tua murid.
Tapi ada sebuah contoh yang pantas disebut. SLB-C Pakem
misalnya menutup kekurangan biaya dari hasii peternakan ayam
dan kebun anggreknya seluas 2.500 mÿFD. Dari 4 ribu ekor ayam,
setiap hari sekitar 125 kilo telur dihasilkan, dan seminggu
dua kali telur-telur itu dijual ke pasar.
"Dulu saya hanya ingin mengetahui bagaimana mendidik anak cacat
mental, " cerita Sri Pancaningsih guru di SLB-C Pakem. Tapi
akhirnya ia merasa satu dorongan untuk mengabdi kepada anak-anak
itu. Dan rata-rata begitulah para guru SLB-C. Mereka,pagi-pagi
sudah sadar "harus siap mental"--seperti dikatakan Lilik Qomariah,
20 tahun, guru di SLB-C Alpa Kumara. Bagaimana tidak. Misalnya
ada seorang murid di SLB-C Sumber Asih yang belum mau pulang
kalau belum dicium gurunya. Ada juga anak asuh Lilik, yang
kalau melihat ibu gurunya dekat dengan temannya, lantas
membentur-benturkan kepalanya kedinding.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini