Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jalur Neraka di Mulia

7 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN itu tidak beraspal dan hanya dilapisi pasir dan bebatuan. Di sisi kiri jurang menganga. Di kanan Pegunungan Kuniba-Kikire berhutan lebat. Lebar jalan tak sampai dua meter, sehingga mobil tak bisa berpapasan. Meski sempit dan terkesan tak terawat, inilah jalur transportasi darat satu-satunya yang menghubungkan Wamena—ibu kota Kabupaten Jayawijaya—dengan Mulia, ibu kota Kabupaten Puncak Jaya.

Sejak awal tahun ini, jalan vital sepanjang 280 kilometer itu berubah menjadi jalur neraka. ”Tak ada yang berani melintas sendiri,” kata Agus Fakaubun, seorang pegawai negeri yang ditemui Tempo di Mulia, dua pekan lalu. Mobil pengangkut bahan bakar, makanan, dan barang kebutuhan pokok menunggu kadang sampai sepekan agar bisa terkumpul 20-30 mobil. Setelah itu, barulah mereka beramai-ramai turun ke Wamena, sembilan jam perjalanan dari Mulia.

Jika nekat melintas sendiri, bahaya menghadang dari dua sisi. Semua warga tahu bahwa Organisasi Papua Merdeka (OPM) aktif bergerilya di sini. Sejak awal 2010, sudah ada belasan insiden penembakan warga. Biasanya peluru melesat dari rerimbunan pepohonan di sisi kanan jalan.

April lalu, iring-iringan dua truk, satu buldoser, dan satu mobil milik PT Modern dihadang gerombolan bersenjata. Rombongan kontraktor itu sedang menuju Distrik Mewoluk untuk membuka jalan perintis di sana. Para penghadang yang membawa senjata api, parang, dan panah meminta semua orang turun dari kendaraan. Setelah korban berkumpul, tanpa aba-aba, senjata menyalak. Tiga karyawan tewas, yang lain lari tunggang-langgang. Semua kendaraan yang ditinggal dibakar.

Tak hanya warga sipil, tentara dan polisi pun jadi sasaran penembakan. Sebulan sebelumnya, Maret lalu, mobil yang ditumpangi prajurit TNI dari Batalion Infanteri 753/Arga Vira Tama juga ditembaki di dekat Pos Puncak Senyum, Distrik Tingginambut. Penembakan gelap itu disusul penyerangan ke pos tentara di Kampung Gurage, juga di Tingginambut. Seorang tentara, Prajurit Kepala Saiful Yusuf, tewas.

Puncaknya pada Juni lalu. Patroli Brimob di Mulia ditembaki dari jarak dekat. Satu polisi, Brigadir Pembantu Satu Agus Suhendar, tewas. Setelah dua insiden itulah, kekuatan polisi dan tentara ditambah besar-besaran. Markas Besar Polri mengirim satu kompi Brimob dari Kelapa Dua, Depok, untuk mengejar para pelaku.

Tak hanya mengejar, polisi dan tentara lalu membangun pos-pos penjagaan di jalur Mulia-Wamena. Mereka juga mulai sering keluar-masuk kampung, menggeledah rumah-rumah warga. Sejak itu pula, keluhan mengenai tindakan berlebihan pasukan TNI dan polisi mulai bermunculan. ”Tentara mencurigai siapa saja. Mereka berpikir semua orang Papua bisa jadi OPM,” kata Pendeta Misi Telenggen dari Gereja Injil Indonesia di Puncak Jaya. ”Karena itulah, kami terus disiksa.”

Sejumlah warga yang ditemui Tempo mengaku mengalami sendiri tindakan brutal tentara dan polisi ketika memeriksa warga sipil. Warga yang ketahuan membawa cermin, karung, kamera, dan telepon seluler hampir selalu mendapat perlakuan kasar. ”Mereka curiga cermin dipakai untuk mengirim sinyal ke pasukan OPM di atas gunung,” kata satu warga. Kendala bahasa membuat situasi makin buruk. Tak jarang, warga ditahan dan disiksa karena tak bisa menjawab pertanyaan aparat dengan benar.

Buti Kogoya, 30 tahun, warga Kampung Gurage, punya cerita sama. Suatu hari, Juni lalu, setelah insiden penembakan Brimob, dia hendak melintasi jalan menuju Mulia. Di satu pos pemeriksaan, tentara memaksanya menunjukkan kartu tanda penduduk. Buti tidak punya. ”Tiba-tiba saja, buk, wajah saya dipukul pakai popor senjata,” katanya dalam bahasa Lani.

Lima tentara dengan cepat mengerumuninya, menghujani tubuhnya dengan pukulan dan tendangan. Seharian dia ditahan di pos pemeriksaan, tanpa diberi makan, minum, atau pemeriksaan kesehatan. ”Setiap kali mau pingsan, kepala saya disiram air,” katanya. Baru setelah yakin bahwa Buti bukan anggota OPM, tentara melepasnya pergi.

Juru bicara Kodam Cenderawasih, Letkol Susilo, mengaku belum menerima laporan mengenai hal itu. ”Kalau memang ada bukti, silakan disampaikan kepada kami untuk ditindaklanjuti,” katanya. Dia menjamin tidak ada perintah dari Pangdam Cenderawasih untuk memperlakukan warga dengan kasar.

Tempo, yang mencoba menyusuri jalur Wamena-Mulia, melintasi Tingginambut, menyaksikan langsung bagaimana ketatnya penjagaan aparat. Di pos pemeriksaan pertama, 30 menit perjalanan dari Kota Mulia, dua tentara sudah menghadang, meminta KTP.

Pos itu dibangun di atas lahan 30 meter persegi dan dilengkapi tiga bangunan kayu. Karung pasir dan kawat berduri dipasang mengelilingi bangunan yang dicat hitam, diselingi warna hijau khas tentara. Bendera Merah Putih dipasang di dekat pos. Di sebelahnya, ada tulisan besar-besar ”NKRI Harga Mati” dengan cat merah.

Setelah menggeledah semua barang bawaan, satu tentara menanyakan keperluan Tempo pergi ke Tingginambut, sekitar 70 kilometer dari pos itu. ”Situasi sedang bahaya, lebih baik Anda pulang,” katanya mengusir.

Jerry Omona (Puncak Jaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus