Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETUA majelis hakim pengadilan militer di Kodam Cenderawasih, Jayapura, itu mendadak naik pitam. Dengan suara keras, dia menuding prajurit TNI yang duduk di hadapannya, ”Kenapa kamu biarkan?” Yang dibentak, Prajurit Dua Ishak, anggota Satuan Tugas Pengamanan Batalion Infanteri 753/Arga Vira Tama, langsung pucat.
”Saya tidak menghentikan mereka, saya sibuk merekam...,” katanya dengan suara gemetar. Sang hakim, Letkol CHK Adil Karo Karo, terus mencecar. ”Kamu ini goblok. Sudah tahu itu barang berbahaya, kenapa harus direkam?” dia mengomel panjang. Wajahnya murka.
Pantas saja jika Letkol Adil meradang. Gara-gara tindakan Ishak merekam kelakuan brutal empat rekannya di Kampung Gurage, Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua, Maret lalu, kabar lama tentang kasarnya prajurit TNI memperlakukan warga asli Papua jadi terbukti.
Jumat pekan lalu, untuk pertama kalinya, penyiksaan warga Papua ini diadili. Meski dijaga ketat, puluhan wartawan dan aktivis hak asasi manusia ikut memadati ruang sidang yang terbuka untuk umum itu. Pengunjung sidang kebanyakan tentara.
Selain Adil, yang duduk di meja hakim adalah Letkol CHK Moch. Affandi dan Mayor CHK Heri. Adapun terdakwanya tiga prajurit dan satu perwira: Prajurit Kepala Sahminan Husain Lubis, Prajurit Dua Joko Sulistiono, Prajurit Dua Dwi Purwanto, dan Letnan Dua Infanteri Cosmos. Pada saat penganiayaan terjadi, mereka bertugas di pos pemeriksaan di Kampung Kolome, Distrik Illu, Puncak Jaya. Mereka didakwa telah menolak dan melampaui perintah dinas.
Ishak adalah anggota tim satuan tugas yang dipimpin Cosmos. Tim itu beranggota 12 prajurit. Dia diperiksa sebagai saksi, karena dialah yang merekam adegan kejam tentara di pedalaman Papua itu, dengan telepon seluler Nokia N70. ”Saya diperintah untuk merekam,” katanya ketika dimarahi hakim. Perintah datang dari komandannya, Letda Cosmos.
”Kalau mau direkam, itu hanya untuk kepentingan kalian saja, bukan disebar. Gara-gara kamu, TNI sekarang disoroti dunia internasional,” kata Adil, masih geram. Menurut Ishak, video penyiksaan itu bocor ketika teleponnya rusak dan harus diperbaiki. ”Saya bawa ke tukang servis telepon di Merauke,” katanya polos.
Di persidangan, keempat terdakwa kompak mengaku melakukan penyiksaan. Menurut Cosmos, insiden ini berawal dari patroli rutin timnya ke Kampung Gurage, Distrik Tingginambut, pada 17 Maret lalu. ”Kami mendapat informasi ada penyimpanan senjata AK-47 dan Mauser, milik kelompok separatis Goliath Tabuni, di kampung itu,” katanya.
Yakin punya data intelijen sahih, begitu masuk ke permukiman warga, tim Cosmos bergerak cepat. Mereka mengumpulkan semua laki-laki di satu sudut, dan semua perempuan di sudut lain. Total ada 45 warga. Secara bergiliran mereka ditanya soal lokasi penyimpanan senjata OPM di sana. Tak ada respons memuaskan, tangan dan kaki mulai bicara. ”Saya memukul dua kali dan menendang satu kali,” kata Prada Joko Sulistiono.
Yang janggal, pengakuan para terdakwa ini bertolak belakang dengan keterangan para korban. Penelusuran sejumlah lembaga hak asasi manusia menemukan bahwa korban penyiksaan tentara adalah Tunaliwor Kiwo, 50 tahun, dan Telangga Gire, 30 tahun, keduanya warga Tingginambut. Mereka ditangkap tatkala melintas di pos penjagaan TNI di Kwanggok Nalime, Kampung Yogorini, 30 Mei lalu.
Menurut sumber Tempo, penyiksaan dipicu oleh adanya dua kartu tanda penduduk milik Kiwo. KTP pertama berisi foto Kiwo dengan rambut panjang serta berkumis. Foto di KTP lainnya berambut pendek dan tanpa kumis. Karena itulah, dia dicurigai sebagai anggota OPM.
Kiwo saat ini berada dalam perlindungan sejumlah LSM lokal di Papua. Kesaksiannya atas penyiksaan sadistis yang dia alami beredar dalam bentuk kepingan cakram digital di Jakarta. Jumat pekan lalu, kesaksian Kiwo diserahkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Markus Haluk, pemimpin Dewan Adat Papua di Jakarta, mendesak Komisi segera membentuk tim pencari fakta, untuk menyelidiki dugaan adanya pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia di Puncak Jaya.
”Kami tak percaya pada proses pengadilan militer yang sedang berlangsung,” katanya. Sejumlah kasus penyiksaan dan pembunuhan warga di Papua, kata Markus, tak pernah tuntas dengan mekanisme pengadilan militer. ”Tak pernah ada efek jera,” ujarnya.
Anggota Komisi, Ridha Saleh, yang menerima pengaduan Markus, mengaku akan meneruskan usul Dewan Adat Papua ini ke Sidang Paripurna Komisi, Selasa siang pekan ini. ”Dari data kami, memang ada tren insiden kekerasan setiap tahun di Papua, sejak 2004 sampai sekarang,” katanya. Namun dia belum bisa memastikan apakah tren itu bisa jadi bukti awal adanya pelanggaran berat hak asasi.
Selain mengirim tim investigasi awal ke Tingginambut, Komnas HAM telah membuat tim penyelidik kasus-kasus kekerasan di Papua yang terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu. ”Periode kasus yang dilihat adalah sejak 1969 sampai 1998,” kata Ridha. Lima kota yang diselidiki secara khusus adalah Wamena, Jayapura, Timika, Biak, dan Biak Numfor. ”Saat ini sedang dikaji apakah ada unsur pelanggaran yang sistematis di sana,” kata Ridha lagi.
Dalam video yang diterima Komnas HAM itu, korban penyiksaan Tunaliwor Kiwo mengaku ditahan selama tiga hari di pos TNI dekat Kampung Yogorini. Selain penyiksaan yang tampak dalam video yang beredar di YouTube, Kiwo mengaku dipukuli dengan balok kayu, disiram bensin, lalu digunduli. ”Wajah saya juga disilet-silet,” ujarnya dalam bahasa Lani.
Juru bicara Kodam Cenderawasih, Letkol Susilo, menjelaskan bahwa video amatir yang beredar di YouTube memang terdiri atas beberapa segmen. ”Pelaku yang bisa dikenali dari video langsung diproses,” katanya. Adegan lain yang tidak menampakkan identitas pelaku, kata dia, sulit disidik. ”Tapi bukan berarti kami mengabaikan,” tuturnya.
Anggota Komnas HAM perwakilan Papua, Ronald Rumbiak, menyarankan agar saksi korban dihadirkan saja di persidangan. ”Kalau tidak, sidang pengadilan militer ini seperti main-main saja,” katanya. Dia juga mempertanyakan proses penyidikan yang superkilat, sampai-sampai alat bukti yang dihadirkan hanya sepatu lars dan helm milik terdakwa, serta video penyiksaan yang dibuat Prada Ishak. ”Ini sidang yang aneh,” katanya.
Sejumlah aktivis hak asasi menduga percepatan sidang ini terkait dengan kedatangan Presiden Amerika Serikat Barack Obama ke Jakarta, Selasa pekan ini. Di Jayapura, bahkan sudah beredar kabar bahwa keempat terdakwa akan segera divonis pada Senin pekan ini. Namun juru bicara Mabes TNI, Mayjen Aslizar Tanjung, membantah kabar itu. ”Kami selalu mengusahakan peradilan militer yang cepat, transparan, dan akuntabel,” ujarnya. ”Kalau bisa lebih cepat, kan lebih baik.”
Bantahan juga datang dari Istana Merdeka. Senin pekan lalu, sebelum sidang kabinet, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan pemerintah tidak pernah merasa ditekan negara mana pun untuk menegakkan disiplin prajuritnya. ”Saya katakan tidak perlu menekan-nekan Indonesia. Indonesia telah melaksanakan investigasi, bahkan sudah siap untuk sebuah pengadilan atau apa pun untuk menegakkan keadilan dan disiplin,” katanya.
Meski begitu, tampak jelas bahwa pimpinan TNI merasa bahwa citranya yang baru membaik sebagai prajurit profesional dan reformis itu ternoda oleh kasus video amatir tersebut. Karena itulah, majelis hakim di Jayapura sampai geregetan betul terhadap ulah Prada Ishak, si perekam video penyiksaan.
Di tengah kesaksiannya, Letkol Adil bahkan sempat mengomeli Ishak panjang-lebar, ”Lulusan apa sih kamu? Otakmu itu kamu taruh di mana? Kamu ini biangnya, sampai ratusan ribu anggota TNI di seluruh Indonesia tercoreng. Kamu ini seharusnya jadi terdakwa, bukan saksi.” Ishak hanya tertunduk lesu.
Wahyu Dhyatmika (Jakarta), Jerry Omona (Jayapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo