Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang digunakan saat ini di Indonesia dikenal dengan sebutan Ejaan Yang Disempurnakan atau EYD yang telah berusia 52 tahun sejak ditetapkan pada 16 Agustus 1972 silam. Sejarah pedoman Ejaan Bahasa Indonesia memiliki perjalanan yang panjang meliputi beberapa konsep yang pernah digunakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari laman kemhan.go.id, selain Ejaan Yang Disempurnakan atau EYD terdapat konsep ejaan lain yang pernah berlaku di Indonesia baik secara resmi maupun tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada empat ejaan yang sudah diresmikan pemakaiannya yaitu Ejaan Van Ophuijsen (1901), Ejaan Soewandi (1947), Ejaan Yang Disempurnakan (1972), dan Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (1975). Sementara itu, terdapat pula sistem ejaan yang belum atau tidak sempat diresmikan oleh pemerintah yakni Ejaan Pembaharuan (1957), Ejaan Melindo (1959), dan Ejaan LBK (1966).
Perkembangan Ejaan Indonesia Dari Masa ke Masa
Dikutip dari laman bpkpenabur.or.id, berikut ejaan yang pernah berlaku di Indonesia:
Ejaan van Ophuisjen
Pedoman ejaan pertama di Indonesia menggunakan Ejaan van Ophuisjen yang diterbitkan pada 1901 yang disusun oleh Charles A. van Ophuijsen yang merupakan orang Belanda dan dibantu Engku Nawawi Gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Kala itu bahasa Indonesia masih disebut bahasa Melayu.
Oleh karenanya, Ejaan van Ophuijsen itu bertolak dari sistem bunyi bahasa Belanda sehingga muncul pemakaian konsonan /tj/ (sama dengan abjad /c/ sekarang), /dj/ (sama dengan abjad /j/ sekarang), /nj/ (sama dengan abjad /ny/ sekarang), dan vokal /oe/ (sama dengan abjad /u/ sekarang). Dalam Ejaan van Ophuijsen juga terdapat tanda-tanda, misalnya accent aigu, accent grave, tanda trema, ain, hamzah, /z/, /f/, /ch/, /sj/, dan /oe/, seperti yang terdapat dalam kata-kata: énak, pèndèk, masälah, ‘adil, so`al, zaman, fikir, chawatir, masjarakat, dan doeloe.
Ejaan Soewandi
Ejaan Soewandi kemudian hadir menggantikan Ejaan van Ophuijsen, dan diresmikan pada 19 Maret 1947 sesuai Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan RI Nomor 264/Bhg.A. Penggunaan nama Soewandi dikarenakan saat itu Mr. Raden Soewandi merupakan Menteri Pendidikan, Pengajaran, yang menyusun konsep ejaan ini.
Pembaharuan Ejaan Soewandi terletak pada penggunaan diftong (gabungan dua huruf vokal) oe yang diganti dengan huruf u, dan dihapusnya tanda apostrof. Nah, tanda apostrof ini diganti dengan huruf k atau tidak dituliskan. Contohnya: Jum’at menjadi Jumat, Ra’yat menjadi rakyat, dan Ma’af menjadi maaf.
Ejaan Pembaharuan
Melalui Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada 1954, Prof. M. Yamin menyarankan supaya ejaan Soewandi disempurnakan. Hasilnya, dibuat standar satu fonem satu huruf dan diftong ai, au, dan oi dieja jadi ay, aw, dan oy. Selain itu, kata berulang yang mempunyai makna tunggal seperti kupukupu dan alunalun tidak lagi menggunakan tanda penghubung. Namun, pada akhirnya ejaan yang disebut Ejaan Pembaharuan ini tidak jadi diresmikan dalam undang-undang.
Ejaan Melindo
Untuk diketahui, Melindo adalah akronim dari Melayu-Indonesia. Draft atau rancangan penyusunannya dilakukan pada 1959 atas kerjasama Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia). Perubahan yang diajukan hampir sama dengan Ejaan Pembaharuan.
Ejaan melindo disusun bertujuan untuk menyeragamkan ejaan yang digunakan oleh kedua negara karena Indonesia dan Malaysia memiliki bahasa yang mirip. Namun, ejaan ini gagal diresmikan karena ketegangan politik antara kedua negara waktu itu.
Ejaan LBK (Lembaga Bahasa dan Kesusasteraan)
Bisa dibilang, Ejaan Lembaga Bahasa dan Kesusasteraan atau LBK adalah lanjutan dari Ejaan Melindo. Panitianya juga campuran dari orang Indonesia dan Malaysia yang dibentuk pada 1967. Isinya pun tidak jauh berbeda dari Ejaan Yang Disempurnakan, hanya berbeda di beberapa kaidahnya saja.
Misalanya untuk huruf vokal pada ejaan ini terdiri dari: i, u, e, , o, a. Dalam ejaannya, istilah asing pun mulai diserap seperti extra menjadi ekstra, galb menjadi kalbu, guerilla menjadi gerilya.
Ejaan Bahasa Indonesia (EBI)
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, EBI resmi berlaku menjadi ejaan baru bahasa Indonesia.
EBI diresmikan karena perkembangan pengetahuan, teknologi, hingga seni, sehingga pemakaian bahasa Indonesia juga semakin luas. Ejaan EBI disebut menyempurnakan EYD yang sebelumnya berlaku sejak 1972, terutama pada penambahan diftong, penggunaan huruf kapital, dan cetak tebal.
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
Pada akhirnya Indonesia kembali menggunakan EYD hingga saat ini dan telah diubah sebanyak lima kali. Adapun edisi terbaru atau EYD V diluncurkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bertempat di Aula Sasadu, Kantor Badan Bahasa, Rawamangun, Jakarta pada 18 Agustus 2022.
Dalam ejaan ini, kaidah penulisan bahasa Indonesia diatur secara lengkap, seperti tentang unsur bahasa serapan, tanda baca, penggunaan kata, pelafalan huruf “e”, penggunaan huruf kapital, dan penggunaan cetak miring. Tak hanya itu, huruf “f, v, q, x, z” yang kerap berkaitan dengan unsur bahasa asing juga resmi jadi bagian bahasa Indonesia. Dalam edisi kelima, perubahan yang ada lebih dari 50 persen termasuk perubahan redaksi, contoh, dan tata cara penyajian.
Pilihan editor: 4 Fakta tentang EYD yang Perlu Diketahui