KETENANGAN di Dukuh Blangguan terusik. Penduduk kampung yang masuk wilayah Desa Sumberanyar, Kecamatan Banyu Putih, Situbondo, itu tercekam rasa takut. Komaruddin dan Sawadi mengungsi ke daerah lain. Suhato bahkan sempat sembunyi empat hari empat malam di hutan. Mereka mengaku merasa ditekan dan diintimidasi oleh aparat desa, lantaran mempersoalkan hak mereka atas tanah yang bakal tergusur untuk perluasan Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Marinir. Kegelisahan menjadi-jadi. Mereka 164 keluarga tahu, 120 ha areal yang terdiri dari rumah, pekarangan, dan ladang -- yang dengan waktu bertahun-tahun mereka ubah dari lahan gersang menjadi kebun tembakau. jagung, lombok, dan juga semangka -- bakal digusur. Mereka juga tahu, Puslatpur seluas 300 ha -- yang ada sejak 1965 -- membutuhkan tanah perluasan lagi sebanyak 1.300 ha hingga berbataskan hutan Baluran di sisi timurnya. Untuk tahap pertama, merekalah yang terkena. Kepala Desa Soejoto menyodorkan uang cuma Rp 200 untuk ganti tanah per meter persegi, tanpa memberi nilai pada tanaman maupun bangunan -- kendati sebagian rumah di situ memang hanya berdindingkan gedek dan beratapkan ilalang. "Prinsipnya, kami setuju. Tapi soal ganti rugi itu...," ujar Komaruddin, seorang penduduk. Ia mengantungi SK Bupati 3 April 1987 -- yang tak pernah diberitahukan pada mereka yang menyebut nilai ganti rugi Rp 400 per meter persegi. Sedangkan sejumlah tanah yang diakui dimiliki penduduk tiba-tiba dinyatakan sebagai tanah negara dan tak diberi ganti rugi. Yang paling bingung Sarmidi. Ia tak punya tanah, tapi dibentak carik desa disuruh membubuhkan cap jempolnya pada kertas perjanjian jual-beli. Ia menurut, lalu menerima uang lebih dari Rp 2 juta. Uang itu -- perintah carik -- agar diantarkan pada Sudarmo, Kepala Urusan Pemerintahan Desa. Oleh Sudarmo, Sarmidi diberi uang Rp 120 ribu. "Saya takut. Katanya itu upah, tapi upah apa?" kata Sarmidi. Setelah beberapa malam tak bisa tidur, buruh tani itu melapor ke Polsek Banyu Putih minta perlindungan. Bagi Komaruddin bukan sekadar bentakan yang ia terima, ia sempat diciduk petugas dan dimasukkan sel selama sehari, dan kemudian dilepaskan lagi tanpa diperiksa. Lantaran itu pulalah, ia dan 17 orang lainnya memberanikan diri membuat surat pengaduan pada Laksusda dengan tembusan mulai dari Ketua DPR-RI, Pangab, Menteri Dalam Negeri, hingga Ketua DPRD Situbondo. Ternyata, makin runyam. Kepala Desa lalu memanggil 18 penanda tangan pengaduan itu. Hanya empat orang yang datang. Itu pun lantaran mereka terbujuk bunyi undangan: rapat desa. Ternyata, mereka dihukum. Empat orang tersebut diharuskan membawa selembar kertas ke rumah Kepala Desa -- yang berjarak 8 km -- malam itu pula. Mereka tak boleh berkendaraan, tak boleh membawa lampu, dan harus sampai sebelum pukul 23.00. Akibatnya, Nawam, yang berumur lanjut, terjatuh dan hingga pekan lalu terpaksa terbaring di rumah. Soejoto menolak mengakui bahwa ia menghukum. Pada Jawa Pos ia berkata, "Mereka saya panggil untuk mendapat pengarahan." Sedang ganti rugi Rp 200 menurut dia memang didasarkan atas SK lama Bupati. Terlepas dan soal sengketa itu, areal dekat buki dan pantai tersebut memang ideal untuk daerah perluasan Puslatpur yang sudah ada sejak 1965 itu. "Strategis, ditilik dari unsur pertahanan laut, udara, maupun darat. Masih didukung lagi oleh adanya hutan," uJar seorang perwira marinir. Mengenai kekisruhan dalam pembebasan tanah buat perluasan Puslatpur ini, pihak marinir tampaknya tak ingin terlibat. "Bupati sudah mengambil alih permasalahan dan berjanji akan menyelesaikannya secara tuntas. Jadi, kami tunggu saja," kata Letkol Sumarsono, Kepala Dinas Falitas Latihan Pangkalan Utama TNI-AL di Surabaya. Biro Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini