BANGUNAN permanen berdinding beton, beratap seng, dengan ukuran 5 X 11 meter, itu kelihatan begitu menonjol. Maklum, karena terletak di Kilangan, desa terpencil di pinggir Lautan Hindia, 470 km tenggara Banda Aceh. Apalagi, jendelanya berkaca nako, yang jarang ditemukan pada jendela rumah penduduk desa. Di dalam rumah inilah terletak makam Syekh Abdurrauf Singkil, ulama besar Aceh yang hidup di abad ke-17. Panjang makam itu 9 meter, berlapis keramik biru muda, diselubungi semacam kelambu berwarna hijau dan merah jambu. Di badan makam itu terpacak sejumlah bendera putih. Makam inilah yang menyebabkan Majelis Ulama Aceh bersidang selama dua hari, 15 dan 16 Juli lalu. Keputusannya adalah sebuah fatwa: agar makam di Desa Kilangan, 2 km di luar kota kecil Singkil, Kabupaten Aceh Selatan, itu dibongkar, karena makam itu palsu dan membahayakan. Menurut Ketua MU Aceh, Ali Hasjmy, 74 tahun, sejumlah orang mengklaim bahwa Syekh Abdurrauf dimakamkan di Kilangan, berdasarkan petunjuk mimpi yang diperoleh seseorang. "Bisa-bisa, nanti mereka bermimpi kuburan Nabi Muhammad pindah ke Aceh," katanya sambil tertawa. Menurut Hasjmy, orang-orang di Singkil sudah mulai mempercayai kuburan hasil mimpi itu. Ini dianggap berbahaya. "Bisa merusakkan akidah," kata Hasjmy. MU sendiri tak punya kekuasaan membongkarnya, maka para ulama meminta perhatian da Aceh. Kabarnya, Gubernur Ibrahim an sudah setuju membongkar. MU Aceh khawatir, akan terjadi kerancuan tentang lokasi kubur yang sebenarnya. Padahal, makam Syekh Abdurrauf, ulama besar yang meninggal dunia di Banda Aceh pada 1690-an itu, terletak di tepi Kuala Krueng (sungai) Aceh. Kompleks seluas 1,6 ha itu dipagar besi bercat kuning. Pintunya hijau. Di situ ada sekitar 2.000 makam. Makam Syiah Kuala -- gelar ulama besar yang kini jadi nama universitas negeri di Banda Aceh -- bersama 30 murid berada dalam suatu bangunan tertutup. Di sebelah luar, terdapat makam kedua istrinya, Sya'diah dan Khadijah. Di dekatnya ada musala, balai pertemuan, dan kamar mandi. Kompleks ini ramai dikunjungi peziarah dari dalam dan luar negeri, terutama pada hari Senin dan Kamis, bulan Maulud, dan menjelang Ramadan. Rata-rata jumlahnya 10.000 setiap bulan. "Kebanyakan mereka datang untuk membayar nadar," kata Abdul Rahman, 50 tahun, penjaga makam. Kompleks makam ini dipugar oleh Departemen P dan K tiga tahun lampau. Sebelumnya, kompleks makam tua di Desa Dayah Raya, Banda Aceh, itu sempat tergerus oleh terjangan ombat laut. Penembokan dilakukan di sana-sini untuk menghempang ombak, "Bahaya erosi dijamin tak lagi mengganggu," kata Hasan Muarif Ambari, 48 tahun, Kepala Bidang Arkeologi Islam, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Kondisinya memang amat berbeda dengan makam "mimpi" di Desa Kilangan. Tak jelas sejak kapan, di desa itu memang sudah ada sebuah kuburan tua yang panjangnya 9 meter. Nisannya dari batu kali, tanpa nama, tapi dihormati penduduk. Konon, sekitar 1952, seorang ulama terkemuka di kawasan Aceh Barat, Bilal Butar alias Santo, 60 tahun, sampai ke Kilangan dan berpetuah kepada penduduk bahwa sekarang Kilangan mendapat rahmat Tuhan karena didatangi kuburan keramat. Langsung saji penduduk percaya. Makam tua itu mereka pugar dengan diberi cungkup dari daun nipah. Sekitar tiga tahun yang lalu, di Kilangan muncul Abdullah dan Bakri yang mengaku sebagai murid Tuanku Syekh Abdul Razak alias Buya Mata Air dari Ulakan, Pariaman, Sum-Bar. Keduanya ditugasi oleh gurunya untuk mencari makam Syekh Abdurrauf Singkil. Kabarnya, semasa hidupnya Syekh Abdurrauf mengajar tasawuf ke berbagai daerah, termasuk ke Ulakan. Muridnya di sana adalah Almarhum Syekh Burhanuddin Ulakan, guru Buya Mata Air tadi. Kepada penduduk setempat, Abdullah yang keturunan India itu mengatakan, mereka sudah berkelana ke berbagai tempat, mencari makam itu. Malah, mereka sudah pergi melihat makam Syiah Kuala di Banda Aceh, tapi tak ada petunjuk mimpi yang mendatangi mereka. Tapi ketika mereka menuju Singkil, di tengah jalan Abdullah tertidur dan bermimpi, sosok Bilal Butar datang menemuinya dan mengatakan makam yang mereka cari ada di Singkil. Yaitu makam tanpa nama tadi. Setelah itu, pada 25 Juni 1985, datanglah ke Kilangan 30 peziarah lelaki dan wanita asal Ulakan. Selama lima hari di desa itu, jemaat itu memugar makam secara permanen. Mereka menghabiskan biaya Rp 3 juta. Pada Oktober tahun itu, datang rombongan besar -- juga dari Ulakan -- berjumlah 150 orang. Bulan berikutnya datang lagi jumlah vane sama. kali ini dipimpin langsung oleh Buya Mata Air. Karena banyaknya pengunjung, di samping makam didirikan rumah papan berukuran 12 X 8,5 m. Sejak itu rombongan demi rombongan dari Sum-Bar berdatangan ke sana. Tidak sekadar dari Ulakan, tapi juga dari daerah sekitar. Padahal, untuk mencapai desa terpencil itu ada jalan sepanjang 72 km yang rusak berat. "Setiap Jumat, paling tidak 50 peziarah datang kemari," kata Usman H, si penjaga makam. Syekh Abdurrauf bin Ali Fansuri (yang gelarnya kemudian adalah Syiah Kuala tadi) dilahirkan di Singkil pada 1592. Dia adalah keponakan Hamzah Fansuri, sufi yang mengarang Syair Perahu yang terkenal itu. Abdurrauf menjadi mufti besar kerajaan di zaman Iskandar Muda di Darussalam (sekarang Banda Aceh). Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada 1976 menyimpulkan bahwa Syekh Abdurrauf memang dimakamkan di Kuala Kreung Aceh, setelah meneliti berbagai naskah lama maupun baru. Itu masih diperkuat dengan petunjuk lain, seperti lokasi makam istrinya, adanya pesantrennya di sana, juga bentuk makamnya yang sederhana, tak banyak hiasan seperti halnya makam para raja. "Karena mereka tahu peraturan agama tentang pemakaman," kata Hasan Muarif Ambari. Ahli itu tak heran pada munculnya makam di Kilangan itu. Tahun lalu, ada yang mengatakan makam Pangeran Diponegoro bukan di Sulawesi, tapi di Sumenep. "Eh . . ., ketika diusut sumbernya ternyata sebuah wangsit," kata Ambari. A.N., Laporan Burhan Piliang & Muchsin Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini