JIKA benar korban yang jatuh tak lebih dari 50 orang, peristiwa
di Ka'bah itu memang cukup unik. Melihat bahwa kira-kira ada
sekitar 100.000 jemaah pagi itu bersembahyang subuh di Masjidil
Haram, sedikitnya korban yang jatuh dalam tembak-menembak yang
terjadi menunjukkan bahwa baik para pemuda fanatik maupun
tentara Saudi sama-sama menjaga diri.
Bahkan, pengertian "sandera" agaknya tak berlaku buat para
jamaah yang berada dalam masjid. H. Zaini Ahmad Noeh, staf ahli
Menteri Agama yang sudah tiga kali naik haji dan berada persis
di tengah kejadian itu menyatakan kesaksiannya kepada TEMPO:
"Selama saya berada di dalam masjid, saya tak melihat mereka
berbuat kasar terhadap jamaah. Sebaliknya mereka bertindak sopan
-- bahkan ada dari mereka yang memberi makanan atau minum kepada
jamaah yang minta."
Mereka itu bahkan juga membantu para jamaah meneruskan tawaf.
"Saya punya kesan bahwa para pemberontak bukanlah orang yang
datang dari luar Saudi," kata Haji Zaini pula. "Tampang mereka
tampang orang Saudi juga, berkulit keputih-putihan dan umur
mereka masih muda sekali. Pakaian mereka bersih dan rapi. Dari
pakaiannya saya bisa memastikan bahwa mereka adalah orang yang
sudah lama tinggal di kota."
Mereka membiarkan saja para jamaah keluar dari masjid. Pintu
gerbang memang ditutup ketat, tapi di jalan keluar melalui
basement (ruang bawah tanah) yang dijaga orang bersenjata, orang
bebas meninggalkan masjid. Hanya sekali-sekali mereka memanggil
jamaah yang tampaknya orang Arab untuk ditanya surat
keterangannya. Kadang mereka menyobek-nyobek surat keterangan
itu, tapi si empunya surat tak diapa-apakan. Orang asing bebas.
Seorang jamaah haji Indonesia asal Samarinda, Ibrahim Matli
bingung dengan yang sebenarnya terjadi. Ia kemudian baru dapat
info dari Syekh-nya, orang tempat dia menginap, yang punya anak,
seorang tentara Saudi. Dari sini ia dapat cerita bahwa
gerombolan pemuda bersenjata itu "orang Arab juga", yang "hendak
merebut kedudukm karena raja yang sekarang dianggap zalim. "
Tapi kalau begitu, tujuannya politik? Sukar untuk mengiyakan.
Seperti dikatakan Haji Zaini, "Kalau tindakan politis kenapa
mereka harus bertindak di Mekah? " Bahkan mereka nampaknya tak
mencari atau mendapatkan dukungan rakyat. Haji Zaini yang Rabu
sore -- sehari setelah peristiwa -- dipanggil pulang ke
Indonesia, melihat bahwa beberapa kilometer dari Ka'bah situasi
biasa saja. Toko-toko masih tetap buka, dan penduduk Mekah
tenang-tenang saja. Hanya saja pintu gerbang masuk ke Mekah
ditutup oleh pasukan Saudi. Orang dari luar tak diizinkan masuk.
Di sekitar Masjidil-Haram, diadakan larangan keluar rumah,
selama tiga hari penuh. Menurut informasi yang diperoleh seorang
jamaah Indonesia, di hari kedua sebuah tank menjebol salah satu
pintu masjid. Sebelum pintu dijebol, helikopter menyebarkan gas
air mata. Ada di antara pembelot yang merampas pakaian jamaah
dari Pakistan dan setelah dikenakan di badannya ikut lari keluar
pintu. Sebagian lagi naik ke menara. Pintu yang dikunci dari
dalam oleh para pembelot, dikunci lagi oleh pasukan pemerintah.
Tembakan bukan cuma terdiri dari senapan mesin ringan. Haji
Zaini sekitar jam 3 dinihari Rabu 21 November mendengar juga
suara desingan dan ledakan, "sepertinya suara peluru bazuka yang
ditembakkan." Itu dari dalam masjid ke luar. Tampak beberapa
gedung dekat Masjidil Haram terbakar.
Selama pertempuran, ujung-ujung peluru banyak juga yang menyasar
ke gedung Wisma KBRI yang terletak di Jalan Jiad. Di antaranya
ada yang melukai kaki seorang mahasiswa Indonesia yang kebetulan
sedang berdiri di teras Wisma, menonton pertempuran. Anak ini
terpaksa dibawa ke rumah sakit, dan untungnya mobil ambulans
tentara Saudi yang diparkir di dekat Wisma cepat melakukan
pertolongan. Tapi berapa banyak jamaah haji jadi korban, sampai
Senin malam belum dapat dipastikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini