Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah merek minuman dengan nama "tuyul", "tuak", "beer", dan "wine" menjadi sorotan publik usai mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Banyak yang mempertanyakan bagaimana merek tersebut mendapatkan garansi halal dari badan resmi. Terlebih, kewajiban sertifikasi halal tahap pertama akan berlaku setelah 17 Oktober 2024, khususnya untuk produk makanan dan minuman. Lantas, apa penjelasan Kementerian Agama (Kemenag) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI)?
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Kemenag, Mamat Salamet Burhanudin, mengatakan persoalan produk ‘beer’, ‘tuak’, dan ‘wine’ yang mendapatkan sertifikasi halal berkaitan dengan penamaan produk, bukan soal kehalalan produk. Karena itu, kehalalan dari produk-produk tersebut sudah terjamin.
"Artinya, masyarakat tidak perlu ragu bahwa produk yang telah bersertifikat halal terjamin kehalalannya. Karena telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku," ujar Mamat di Jakarta, Selasa, 1 Oktober 2024, dikutip dari laman resmi Kemenag.
Dia juga mengatakan bahwa pelaku usaha tidak dapat mengajukan pendaftaran sertifikasi halal apabila nama produknya bertentangan dengan syariat Islam. Aturan ini tertuang SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal, serta dalam Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal.
“Namun pada kenyataannya masih ada nama-nama produk tersebut mendapatkan sertifikat halal, baik yang ketetapan halalnya dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal,” lanjut Mamat.
Menurutnya, hal ini disebabkan oleh adanya silang pendapat terkait penamaan produk. Ia mencontohkan, terdapat 8 produk dengan nama ‘beer’ yang sertifikat halalnya diterbitkan oleh Komisi Fatwa MUI. Namun, ada 14 produk dengan nama serupa yang sertifikat halalnya diterbitkan oleh Komite Fatwa.
“Perlu kami sampaikan juga untuk produk-produk dengan nama menggunakan kedua kata tersebut yang ketetapan halalnya dari Komisi Fatwa MUI adalah produk yang telah melalui pemeriksaan dan atau pengujian oleh Lembaga Pemeriksa Halal, dengan jumlah terbanyak berasal dari LPH Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI sebanyak 32 produk. Selebihnya berasal dari lembaga yang lain.” jelas Mamat.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam, mengatakan dari hasil investigasi produk-produk tersebut memperoleh sertifikat halal dari BPJPH melalui jalur self declare. Jalur ini melalui audit lembaga pemeriksa halal dan tanpa penetapan kehalalan melalui komisi fatwa MUI.
"Penetapan halal tersebut menyalahi standar fatwa MUI, juga tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Karena itu MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut," kata Asrorun Niam Sholeh melalui keterangan tertulisnya, Senin, 30 September 2024, dikutip dari laman resmi MUI.
Guru Besar Ilmu Fikih ini menyatakan, penetapan kehalalan produk harus mengacu pada standar halal yang ditetapkan oleh MUI. Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Halal, ada empat kriteria penggunaan nama dan bahan, seperti tidak boleh menggunakan nama simbol makanan atau minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.
"Sesuai dengan pedoman dan standar halal, MUI tidak bisa menetapkan kehalalan produk dengan nama yang terasosiasi dengan produk haram, termasuk dalam hal rasa, aroma, hingga kemasan. Apalagi produk dengan nama yang dikenal secara umum sebagai jenis minuman yang dapat memabukkan," jelasnya.
Selain itu, dalam ketentuan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang penggunaan nama, bentuk dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal, produk halal tidak boleh menggunakan nama, nama makanan atau minuman yang mengarah pada benda atau binatang yang diharamkan, termasuk nama miras. Atas dasar itu, pengasuh Pesantren Al-Nahdlah ini mengimbau agar lebih teliti dalam penetapan kehalalan produk melalui mekanisme self declare.
KHUMAR MAHENDRA | ANASTASYA LAVENIA Y | MUI.OR.ID | KEMENAG.GO.ID
Pilihan Editor: BI: Tren Konsumsi Produk Halal RI Tempati Posisi Kedua Dunia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini