KETIKA saya mengenal dekat Adam Malik, usianya sekitar 62 tahun. Pemikiran dan sikap radikal Adam Malik tetap melekat pada dirinya. Dia senantiasa membuka diri atas setiap gagasan perubahan. Dia tidak pernah berpretensi untuk berjalan di depan, tapi juga tak ingin berjalan di belakang. Dia senantiasa berusaha berjalan di sisi setiap orang siapa saja, tak terkecuali istri, anak anak, dan cucu-cucunya. Sikap bersahaja merupakan cirinya yang paling menonjol. Dia tak pernah mengedepankan jabatan yang disandangnya. Dia lebih mempercayai kekuatan dirinya, yang senantlasa dia tumbuhkan melalui percakapan. membaca buku, dan melihat sebanyak-banyaknya, apa saja. Dia tak pernah tunduk pada situasi, tapi selalu berikhtiar mengubah situasi. Adam Malik, pribadi yang tak pernah diam, selalu bergerak, berpikir, berucap, bersikap, dan bertindak. Dia memang senantiasa muda. Sebutan Bung pantas disandangnya. Sepanjang kehidupan Si Bung, dari ujung rambut sampai ujung kaki, tak ada keinginan lain pada dirinya selain berbuat sebanyak-banyaknya bagi sekeliling. Untuk itu, dia tak pernah menimbang-nimbang dari sudut kemampuan dirinya, karena dla berkeyakinan bahwa di dunia tak ada masalah yang tak dapat dipecahkan, asalkan terdapat keinginan yang kuat dan bersih. Sehubungan dengan keyakinan ini, Si Bung pernah berkata kepada saya, "Kalau kita merencanakan keinginan berdasarkan modal yang ada di kantung, maka terbatas yang bisa kita capai. Rencanakan kemginan semaksimal mungkim, apa saja dan berapa yang dibutuhkan untuk terlaksananya keinginan tersebut, kemudian berapa yang ada di tangan, kekurangannya itulah yang harus diperjuangkan." Keinginan Si Bung untuk berbuat sesuatu kepada siapa saja memang sangat kuat. "Orang yang datang kepada saya pastilah orang yang berada dalam kesulitan. Apalagi yang bisa saya lakukan kalau tidak membantunya?" jawab Si Bung kalau ditegur oleh lingkungannya mengenai kemurahan hatinya membantu orang tanpa banyak meneliti. Kesetiaannya kepada komitmen yang ada pada dirinya menyebabkan Si Bung tidak pernah berkukuh kepada hal-hal yang dianggapnya sebagai alat. "Kalau alat yang kita gunakan untuk melaksanakan komitmen sudah tidak efektif lagi, mengapa masih harus kita pegangi?" katanya. Bahkan atas pendirian-pendiriannya terkadang dia tak segan-segan mengubahnya bila disadarinya tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan. "Kehidupan ini selalu berkembang, demikian pula dengan diri kita. Kita harus mampu mengantisipasi setiap perkembangan," katanya. Sebagai man of action dengan karakteristik sebagaimana tergambar di atas, wajar bila ia dijuluki orang Si Kancil atas kelincahan pikir, ucap, dan tindakannya, baik dalam konotasi positif maupun negatif. Tapi saya bisa bersaksi, paling tidak semenjak menjadi wapres, tidak tampak lagi kekancilan Si Bung baik dalam ucapan maupun tindakan. Pendirian, ucapan, dan langkahnya bagaikan harimau: galak dan tegar. Mungkin Si Bung telah berfirasat bahwa hidupnya tidak akan panjang atau merasa pengabdian perjuangannya telah mendekati puncak. Si Bung bertekad mengakhiri peran perjuangannya dengan mengusahakan dirinya tetap hadlr di medan laga sampai detik-detik terakhir. Atas bujuk rayu saya agar Si Bung menikmati hari-hari tuanya, ia menjawab, "Dosa besar bila kita menyia-nyiakan karunia hidup yang diberikan oleh Tuhan. Sejak muda saya telah memutuskan untuk memberi arti atas karunia hidup yang diberikan oleh Tuhan dengan mengabdikan diri, memperjuangkan nasib dan kepentimgan rakyat. Sampai saat ini saya masih diberi hidup oleh Tuhan dan saya tidak mempunyai alasan mengapa harus berhenti berjuang. Apakah karena saya tidak menjabat lagi lantas harus berhenti mengabdi?" Tiba-tiba datanglah vonis Dr. Sheila Sherlock, ahli penyakit dalam ternama di dunia bahwa Si Bung mengidap penyakit kanker liver. Ketika vonis dijatuhkan di London, hal itu belum disampaikan kepada Si Bung. Istri, putra-putranya, serta dokter pribadinya barulah menyampaikan kepada Si Bung pada 31 Mei 1984 di Jakarta. Saya menjumpai Si Bung 2 Juni 1984. Tampak benar vonis Dr. Sheila mengguncangkan batinnya. Dengan nada getir berkata Si Bung, "Saya tidak mengerti mengapa Tuhan memberi saya penyakit kanker?" Tapi dengan cepat Si Bung mengubah nada suara dan air mukanya, "Hal ini harus kita terima sebagai karunia Tuhan. Kita harus bersikap fair kepada Tuhan. Semua pemberian-Nya adalah karunia, baik yang menggembirakan hati kita maupun yang tidak. Selamanya kita tidak pernah mengetahui kehendak Tuhan yang sebenarnya. Tapi, yang pasti, Tuhan selalu menyiapkan rencana yang agung untuk hambanya yang beriman." Pembicaraan kemudian dia alihkan kepada masalah-masalah lain. Si Bung sadar, akhir hidupnya telah makin mendekat. Ketika datang melayat putra ketiga saya yang meninggal pada 30 Mei 1984 dalam usia setahun tiga minggu, Si Bung berusaha menghibur kami suami istri, "Jangan sedih, putramu putra surga. Ikuti jejaknya dan ingatlah selalu, sekarang kita menyembahyangkan putramu, esok mungkin kita disembahyangkan orang." Tapi Si Bung tetaplah Si Bung. Dalam keadaan bagaimanapun dia pantang dipandang sebagai invalid, pensiun dari percaturan politik. Si Bung menghadapi kondisi kritis, 19 Juli. Hb-nya turun sampai 5,4 sehingga harus ditranfusi enam pak sari darah. Keesokan harinya Si Bung bangkit dengan kesegaran yang mengagumkan, siap menyongsong peringatan hari ulang tahunnya tanggal 22 Juli 1984, ketika Si Bung melontarkan penderitaan yang dia rasakan. Di ruang tamu kamar Prince Hotel Tokyo, 24 Agustus, kepada Ny. Nishisima, istri sahabatnya, Si Bung berkata, "Saat pengabdian generasi kita telah selesai. Sekarang giliran generasi mereka," sambil menunjuk putranya Ilham Malik dan saya. Sejak itu Si Bung tidak mempunyai selera makan, dan sorot matanya mulai layu dan redup. Si Bung telah pasrah. Meskipun demikian, sampai saat akhir hidupnya 5 September 1984 pukul 08.05, Si Bung tidak meninggalkan pesan apa pun kepada siapa pun. Si Bung ingin dipandang mati di tengah menjalankan tugas pengabdian sebagaimana pernah disampaikan kepada Ilham dan saya pada 20 Juli 1984 di Bandung. Saat meninggalnya bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha waktu Arab dan esoknya jenazah Si Bung disembahyangkan oleh puluhan ribu umat Islam di Masjid Istiqlal setelah salat Ied. Satu karunia Allah kepada hamba-Nya yang beriman. Inna lillahi wa ina ilaihi rajiun. Imam Walujo *) Penulis adalah salah seorang asisten pribadi Adam Malik, dan direktur Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (Leppenas).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini