SUASANA memang diwarnai senda gurau dan gelak tawa. Namun, acara dengar pendapat mengenai lima RUU, yang diadakan fraksi-fraksi di DPR dengan sejumlah organisasi dan tokoh masyarakat, pekan imi, tak bisa dikatakan berjalan licin. Untuk empat RUU - yaitu RUU tentang perubahan UU Pemilu susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD Parpol dan Golkar, dan RUU tentang referendum - tak banyak terdengar reaksi. "Memang tak ada masalah, meski pembahasannya cukup penting," kata Suhardiman, wakil ketua FKP, yang memimpin sidang dengar pendapat fraksinya. Lain halnya dengan RUU organisasi kemasyarakatan (ormas). Berbagai pertanyaan dan komentar muncul. Misalnya di dalam dengar pendapat FPP dengan PP Muhammadiyah, Senin pekan ini. Muhammadiyah, menurut H.S. Prodjokusumo, bukan sekadar ormas seperti organisasi pencinta alam, tapi didirikan karena perintah Allah, untuk menjunjung tinggi ajaran Islam. "Kami sudah tua dan sudah diakui sejak zaman Belanda, dengan ciri keagamaan yang kami miliki," kata tokoh Muhammadiyah dan juga sekretaris MUI itu. Karena itu, di dalam dengar pendapat tersebut, para tokoh Muhammadiyah belum bisa menyatakan menerima atau menolak Pancasila sebagai asas organisasi Islam yang didirikan K.H. Achmad Dahlan lebih dari 70 tahun lalu itu. "Kami tak berani mendahului muktamar," ujar Djarnawi Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah lainnya. Belum jelas kapan mereka bermuktamar, setelah rencana muktamar awal tahun ini tertunda. Agaknya, sulit untuk tidak menganggap Muhammadlyah ormas, seperti juga HMI, PMKRI, ataupun GMKI, yang harus mencantumkan Pancasila sebagai asas seperti yang dimaksudkan dalam RUU itu. Sebab, dalam pasal I RUU, ormas adalah organisasi yang dibentuk anggota masyarakat warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yan Maha Esa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional. . . dan seterusnya. Walaupun demikian, kriteria dalam pasal itu belum bisa menjelaskan semuanya. Moestahid, wakil sekretaris Bidang Polkam FKP, misalnya, mempertanyakan organisasi apa saja yang dibentuk oleh bukan anggota masyarakat seperti yang dimaksud RUU. Bagaimana pula organisasi yang berpusat di luar negeri, seperti Rotary Club, Lion's Club, dan WIC? "Sebaiknya, ada ketentuan tentang pengecualian-pengecualian," kata Moestahid. Ini semakin terasa penting untuk berbagai organisasi lainnya, yang juga tidak dibentuk oleh orang Indonesia tapi warnanya jelas tak serupa denan berbagai organisasi semisal Rotary Club. Misalnya MAWI alias Majelis Agung Wali gereja di Indonesia. Dengan berhati-hati, Leo Soekoto, dari MAWI, menjelaskan dalam dengar pendapat dengan FKP, pekan lalu, bahwa Gereja bukanlah bentukan umat Katolik Indonesia. "Yang mendirikan Gereja adalah Sri Paus," kata uskup agung Jakarta itu. Tapi berbagai organisasi Katolik, seperti Wanita Katolik dan PMKRI, menurut Leo, bisa dikategorikan sebagai ormas yang dimaksud RUU. Bagi DGI lain lagi. S.A.E. Nababan, sekjen DGI, menekankan pentingnya dibedakan pengertian dasar dan asas. "Bagi Gereja, dasar satu-satunya adalah Yesus Kristus. Tapi untuk bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dapat digunakan asas yang sudah sama dimufakati, yaitu Pancasila," katanya. Sesuai dengan hasil pertemuan lengkap Badan Pekerja Lengkap DGI di Bali, Agustus lalu, asas itu nanti akan dipakai DGI menjadi semacam GBHN Gereja. K.H. E.Z. Muttaqien, ketua MUI, juga dalam kesempatan yang sama dengan FKP, mencoba memilahkan ideologi dengan agama. Yang pertama, katanya, adalah hasil karya pikir manusia, sedangkan yang lainnya adalah wahyu Allah. Mengenai berbagai tanggapan tentang RUU itu, dia memberi tamsil seperti masyarakat yang sedang menghadapi penggusuran tanah untuk pembangunan jalan. "Kalau tanahnya banyak tergusur, orang akan gusar. Tapi kalau sedikit, malah senang, karena harga tanahnya akan mahal," katanya. Hadirin ketawa lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini