Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rujuk Di Wonocolo

Kelompok Cipete pimpinan K.H. Idham Khalid dan kelompok Situbondo bersatu kembali. Dengan menandatangani maklumat keakraban. (nas)

15 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NU akhirnya kembali bersatu. Tak ada lagi kelompok Cipete ataupun kelompok Situbondo. Diam-diam kedua pimpinan kelompok itu, yakni K.H. Idham Khalid - yang selama ini dikenal sebagai pimpinan NU Cipete - dan sejumlah kiai, antara lain As'ad Syamsul Arifin, Ali Ma'shum, Machrus Ali, dan Achmad Siddiq yang dikenal sebagai kelompok Situbondo Senin malam pekan ini menandatangani "maklumat keakraban". Isi lengkap maklumat itu masih dirahasiakan. Tapi sebuah sumber mengatakan, "Pada pokoknya berupa tekad para sesepuh NU untuk rujuk kembali sebelum muktamar NU ke-27, Desember mendatang." Sekitar 50 ulama yang merupakan tokoh NU dari Jawa dan Madura ikut hadir menyaksikan upacara penandatangan maklumat yang diselenggarakan di rumah ketua NU Jawa Timur HM. Hasyim Latief di Wonocolo, 15 km sebelah barat Surabaya. Pertemuan itu sendiri berlangsung khidmat, dan hanya para ulama yang dikenal yang dibolehkan masuk. Mereka adalah sesepuh yang secara khusus diundang lewat penghubung yang khusus pula diangkat: Abdurrahman Wahid. Seorang peserta yang hadir dalam acara tersebut menceritakan kepada TEMPO, "pertemuan yang didahului dengan tahlilan" itu berlangsung sekitar satu setengah jam. Mulamula dibuka oleh H.M. Hasyim Latief, lalu Nyonya Wahid Hasyim, istri almarhum tokoh NU K.H. Wahid Hasyim, menyampaikan keprihatinannya tentang keadaan NU dewasa ini. Ia dengan suara terbata-bata meminta keadaan itu dipulihkan. Begitulah, sesaat setelah acara tahlilan yang malam itu dilaksanakan untuk arwah para tokoh besar NU, upacara rujukan dimulai. Idham bertemu dan berpelukan dengan K.H. Ali Ma'shum, K.H. Machrus Ali, serta K.H. Ahmad Siddiq. Para kiai ini mulai bertikai pertengahan 1982, setelah Idham mencabut surat pengunduran dirinya sebagai ketua umum (tanfidiah) PB NU, padahal surat itu dibuatnya di hadapan para kiai, yang dipimpin Rais Aam Ali Ma'shum. Tindakan ini, dianggap para kiai yang bermarkas di Situbondo tidak lagi mencerminkan slkap seorang ulama NU. Sejak itu, perbedaan pendapat terus terjadi. Dan NU seperti terpecah dua. Ada yang memihak Idham dan ada pula yang pro para kiai di Situbondo. "Kini kelompok-kelompok itu sudah tak ada lagi," kata Abdurrahman Wahid. Namun, tak dijelaskan apakah rujuk itu akibat "terbantai"-nya NU dalam kepengurusan PPP, yang didominasi kelompok MI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus