Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ia pergi dengan kaus oblong

Bekas wapres, meninggal dunia. riwayat hidup dan perjuangannya. (nas)

15 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA salah satu ucapan Adam Malik yang sering diulangnya. "Hidup bukan untuk makan, tapi untuk berjuang". Sampai ia meninggal, 5 September lalu, Adam Malik seakan ingin terus membuktikan ucapannya itu. Sekalipun secara medis kanker hati yang dideritanya diperkirakan tak akan tersembuhkan, ia tetap optimistis. Dan terus berjuang. Sampai saat-saat terakhirnya la masih terus berbicara mengenai masalah bangsa, negara, dan perjuangan. Ia memang selalu menyebut dirinya "orang perjuangan". Dan sikap hidupnya tampaknya sesuai dengan pandangan ini. Tempat kediamannya, di Jalan Diponegoro 29, Jakarta Pusat, dikenal sebagai rumah yang terbuka buat setiap orang yang ingin bertandang. Hanya selama lima tahun (1978-1983), tatkala ia menjadi wakil presiden, rumah itu memberi kesan tertutup. Agaknya karena aturan protokoler buat seorang wapres memang begitu. Tapi, begitu jabatan itu dilepasnya, kembalilah kediamannya menjadi rumah terbuka, rumah "orang pergerakan". Memang, ucapan-ucapannya yang begitu sering diulangnya kadang terdengar klise. Misalnya tentang rakyat. "Yang hidup dalam hati saya itu rakyat: nasib rakyat, perjuangan rakyat, cita-cita rakyat." Tahun lalu, tatkala merayakan ulang tahunnya yang ke-66 ("balak enam"), ia ditanya, kalau boleh memilih, sampai umur berapa ia inginkan. Jawabnya, "Hus, jangan ngomong begitu. Minta saja umur panjang, sudah cukup. Sebab, masih banyak yang harus dilakukan untuk rakyat ...." Nasib rakyat memang menjadi obsesi Adam Malik sejak ia masih remaja. Lahir di Pematangsiantar, 1917, Adam Malik sempat menyelesaikan sekolah HIS karena ayahnya, Haji Abdul Malik, seorang pedagang yang tergolong mampu. Setelah setahun belajar di Sekolah Agama Parabek di Bukittinggi, ia berpindah ke sekolah agama lain, AlMasrullah, di Tanjungpura, Langkat. Di sini Adam Malik merasa tak betah dengan suasana feodalnya. Ia keluar dan, agar lebih leluasa bergerak, membuka sebuah toko cabang milik ayahnya. "Toko Murah itu sendiri bagi saya bukanlah tujuan, tapi hanya alat untuk mencapai tujuan," tulis Adam Malik dalam bukunya Mengabdi Republik. Dan tujuan hidupnya itu tumbuh setelah ia merasakan derita para kuli kontrak di banyak perkebunan yang mengelilingi Pematangsiantar. Dalam usia belasan tahun ia mendirikan cabang Indonesia Muda di kotanya. Lalu juga Perkumpulan Sopir-Sopir Indonesia dan mulai berkecimpung di dunia jurnalistik. Kemudian ia mendirikan cabang Partindo di Pematangsiantar. Tatkala pada 1934 Partindo dibubarkan pemerintah kolonial Belanda, ia merasa tak mungkin lagi tinggal di kotanya. Tahun itu juga, dalam usia 17 tahun, ia berangkat ke Jakarta "untuk lebih mematangkan cita-cita politik saya". Maka, mulailah periode Adam Malik sebagai orang perjuangan penuh. Ia mendirikan kantor berita Antara, pada 1937. Di bidang politik ia masuk organisasi Gerindo. Pernah ia setahun dipenjarakan karena aktivitasnya. Menurut pengakuannya, melalui perenungan selama dalam tahanan itulah ia memecahkan banyak persoalan praktis pergerakan kebangsaan itu. Tiga tokoh dianggap memberinya pemikiran yang menggemblengnya sebagai politikus: Bung Karno, Bung Hatta, dan Tan Malaka. Menjelang Proklamasi Kemerdekaan, Adam Malik termasuk kelompok pemuda bersama, antara lain, Sukarni, Chaerul Saleh, B.M. Diah, Wikana, yang menginginkan merebut kemerdekaan secara radikal, bukan bekerja sama dengan Jepang. Setelah kemerdekaan, ia dianggap terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946 dan beberapa kali dipenjarakan. Lepas dan tahanan dia ikut mendirikan dan memimpin Partai Murba. Kariernya sebagai diplomat diawali dengan pengangkatannya sebagai duta besar di Moskow. Pada 1963 ia diangkat sebagai menteri perdagangan, dan sejak itulah ia terus duduk di pucuk pemerintahan. Pada awal Orde Baru, ia bahkan termasuk salah satu triumvirat bersama Jenderal Soeharto dan Hamengkubuwono IX. Selama 11 tahun ia menjadi menlu. Setelah enam bulan menjadi ketua DPR/ MPR, ia dipilih sebagai wapres (1978- 1983). "Selama hampir 25 tahun menjadi pejabat, waktu untuk keluarga hanya sedikit. Hanya kira-kira sepertiga yang diberikan untuk kami, sisanya untuk negara dan pekerjaannya," kata Ny. Nelly Adam Malik, yang pada 1942, dalam usia 17 tahun, menikah dengan Pemuda Adam Malik yang waktu itu berumur 25 tahun. "Waktu kami mau nikah, ia ingin seketika. Sebelum kawin, ia juga mengajukan dua syarat: kalau negara dalam bahaya, saya harus mengurus diri sendiri dan keluarga. Syarat kedua: saya yang bertanggung jawab dan yang memimpin anak-anak," katanya pekan lalu. Memang ada masa-masa dalam hidup Adam Malik yang memaksanya menempatkan keluarganya pada urutan kesekian. "Ia bisa saja pergi begitu saja, kadang sampai berbulan-buan. Bikin itu, bikin ini," kata Ny. Nelly. Toh sebagai istri ia bisa mengerti dan menerima. "Ia boleh dibilang aneh. Mau dikatakan suami, tapi kita tidak pernah mesra. Perempuan itu 'kan terkadang kepingin dimanja. Tapi buat dia, tidak ada ltu manja-manja. Bila pulang malam sehabis kerja, ia masih sibuk membaca atau mengerjakan pekerjaan yang belum selesai. Paling-paling ia menengok saya yang lagi tidur dan menegur: 'Belum tidur, nih'," ujar Ny. Nelly. Namun, dalam tahun-tahun terakhirnya tampak sekali bahwa Adam Malik lebih memberi waktu untuk keluarganya, terutama setelah cucu-cucunya lahir. Tiap Jumat, terakhir 31 Agustus lalu, ia mengumpulkan semua anak dan cucunya (empat putra, satu putri, dan 14 cucu) untuk makan bersama. "Menunya biasanya yang kearab-araban seperti sate, gulai, kare, dan martabak," kata Budisita Malik, putra ketiga Almarhum. Meski buat Adam Malik hidup bukan untuk makan, ia dikenal suka makan di luar rumah. Mungkin suasana informal dan kerakyatanlah yang dicarinya. Setahun setelah ia menjadi wakil presiden, ia pernah mengaku kehilangan kebebasan karena ketatnya peraturan protokoler. "Kini saya tak bisa lagi makan di restoran pinggir jalan seperti di Pecenongan atau Raden Saleh," katanya. Sebagai orang perjuangan Adam Malik memiliki kelas tersendiri. Ucapan-ucapan Adam Malik, secara pribadi atau sebagai pejabat, hampir selalu menarik dan penuh warna. Para wartawan menyukainya karena keterbukaan sikapnya. Ia dikenal siap menjawab semua pertanyaan, dan, kalau terpojok, ia pintar berkelit, sering dengan humor. Lewat ucapan-ucapannya yang ceplas-ceplos, dan sering kontroversial, kentara sekali garis sikap yang ditarik Adam Malik sejak dulu. Mungkim di situlah salah satu kekuatan Adam Malik. Ia berbicara jika ia merasa perlu berbicara. Tak peduli bila itu melawan arus. Tatkala penembakan misterius (petrus) muncul tahun lalu, serta merta Adam Malik menyatakan menentang dan mengecamnya karena dianggapnya bertentangan dengan undang-undang dan konstitusi. Waktu isu suap melanda sepak bola kita, Adam Malik mengusulkan dibukanya kembali totalisator olah raga guna mengumpulkan dana. Padahal, secara resmi judi telah beberapa tahun dilaran. Akhir Februari lalu ia malah mengusulkan hubungan diplomatik RI-RRC dinormalisasikan. Bahkan, sebagai pejabat pemerintah, Adam Malik terkadang menggemparkan. Tatkala berpidato pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional 1979, berbicara tanpa teks selama satu jam lebih, Adam Malik itu menuding, "Kita semua telah berdosa. Kita semua telah berikrar akan setia, menghayati dan mengamalkan Pancasila serta UUD 1945. Namun, sering ucapan itu hanya di bibir saja tanpa diukuti perbuatan yang nyata." Ia juga menunjuk adanya beberapa pejabat yang disebutnya "tonggak": mereka melihat tapi tidak memperhatikan, mendengar tapi tidak mengerti. "Orang-orang begini tidak mempedulikan Pancasila, UUD 1945, serta nasib rakyat," kata Adam Malik, yang disambut gemuruh tepuk tangan. Mungkin karena sikapnya yang sering melawan arus itulah banyak yang menduga bahwa setelah tak lagi duduk di pemerintahan, Adam Malik akan bergabung dengan kelompok oposan, misalnya Petisi 50. Dengan lihai ia menyahut, "Tak mungkin saya masuk ke sana. Saya bukan orang yang menggerutu. Memasuki suatu kelompok berarti akan menyempitkan langkah saya. Ruang lingkup saya itu seluruh rakyat. Dan saya 'kan masih Golkar" (TEMPO, 26 Maret 1983). Adam Malik memang sering mengesankan sebagai maverick, seorang yang tak mau ikut mengelompok. Dalam posisi itu, sebetulnya ia gampang menjadi "sasaran". Namun, sebagai politikus Adam Malik sangat berpengalaman. Ia lincah, mudah bergaul, tahan bantingan, dan naluri politiknya tajam. Agaknya, faktor itu yang menyebabkan ia bertahan begitu lama di pucuk pemerintahan, yang menimbulkan kritik bahwa ia molak-malik (oportunistis). Kecaman itu ditolak Sarwono Kusumaatmadja, sekjen DPP Golkar, yang juga dikenal sering ceplas-ceplos. "Ukuran sukses bagi seorang politisi adalah kemampuan seseorang untuk survive sambil membawakan prinsip-prinsipnya. Prinsip kerakyatan dan demokrasi tampak sekali pada diri Bung Adam," katanya. Sebagai pendobrak, Adam Malik dianggap Sarwono luar biasa. "Namun, ia belum pernah diuji sebagai pembina," katanya. Adam Malik memang termasuk generasi pendobrak, yang pada saat proklamasi dicetuskan usia mereka masih sekitar 30 tahun. Generasi yang kini makin terus berkurang, dimakan penyakit dan usia. Setelah Sukarni, Chaerul Saleh, Iwa Kusumasumantri, dan banyak lagi, kini giliran Adam Malik menyusul mereka. Dalam masa hidupnya Adam Malik telah banyak memberi warna dalam kehidupan politik kita. Dan dalam kejenuhan iklim politik, kehilangan seorang seperti dia sangat terasa. Dan ucapan-ucapan yang dulu sering terasa klise, karena terlalu sering diulang, menjadi menarik untuk didengar. Almarhum pantas disebut sebagai salah satu founding fathers yang ikut mendirikan republik ini. Mengenai Bapak-Bapak pendiri ini, Adam Malik pernah berkata, "Mengapa kita tidak membikm sebanyak mungkin mercu suar untuk mengenang dan menghormati jasa, perjuangan, dan pengorbanan para founding fathers kita, seperti Husni Thamrin, Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Tan Malaka, Jenderal Sudirman, Sutan Sjahrir, Subardjo, Iwa Kusumasumantri, Sukarni, Chaerul Saleh, dan banyak lagi? Tampilkan wajah mereka sebagai pahlawan kemerdekaan dalam bentuk patung-patung yang megah," tulisnya dalam Mengabdi Republik. Tatkala menulis itu, pada 1979, Adam Malik tentu tak bermaksud memasukkan dirinya dalam kelompok itu. Ia mungkin juga tak menduga bahwa lima tahun setelah itu ia akan menyusul mereka. Tapi Tuhan telah menetapkannya. Rabu 5 September 1984 dalam pakaian kaus oblong dan sarung Bugis biru, Adam Malik berpulang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus