Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Soal Pegawai Negeri Tak Ada Instruksi

Wawancara Tempo dengan ketua umum PDI, sanusi harjadinata. Ia mengharapkan agar kasus pemecatan anggota PDI dari pegawai negeri pada pemilu 1971 dapat diselesaikan dengan baik. (nas)

10 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG Senin lusa di Senayan itu, sekitar 1500 peserta mewakili 260 cabang dan 26 daerah -- tiap cabang dan daerah mengirim 5 utusan -- diharapkan ambil bagian dalam kongres. Para peserta membiayai sendiri pengangkutan dari daerah asalnya pulang pergi. "Penginapan dan makan selama kongres diusahakan ditanggung DPP yang juga selaku panitia", ujar seorang anggota DPP kepada TEMPO. Sebagaimana sudah diumumkan kongres ini tidak akan menelorkan suatu perubahan yang berarti. "Kongres ini hanya akan mengukuhkan hasil fusi". kata ketua umum PDI Sanusi Harjadinata beberapa waktu lalu. Piagam perjuangan, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, dan Pimpinan Partai, termasuk dalam kerangka yang akan dikukuhkan pada pertemuan dua hari itu. Begitu niat Sanusi, tapi belum tentu semua peserta mengaminkan- nya. Beberapa hari sebelum kongres ini berlangsung, Sanusi yang baru menjabat ketua umum 14 bulan lalu, dihadapkan pada ancaman "perpecahan" dalam tubuh partai. DPD PDI Jatim memprakarsai sebuah pertemuan yang akan memanggil DPD-DPD se Kowilhan II -- meliputi Jakarta Raya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTT, dan NTB dengan alasan "untuk membicarakan beberapa masalah pokok yang cukup berat dalam kongres". Pertemuan akhirnya tidak jadi karena sebuah telegram Sanusi. Meskipun Sanusi konon menyetujui pada mulanya. Adapun pertemuan itu pada mulanya dimaksudkan pula "untuk melicinkan jalannya kongres dan menghindarkannya dari kemungkinan menjadi arena perdebatan sengit". Pembatalan itu telah memancing tanggapan Panglima Komando Wilayah Pertahanan II (Kowilhan) Letjen Widodo. Sambil menyesalkan penggunaan istilah Kowilhan II, Widodo menyatakan keheranannya mengapa tiba-tiba ada radiogram melarang pertemuan, padahal "disposisi pak Sanusi saya lihat sendiri". Kepada wartawan Sinar Harapan yang menemui Widodo di kediamannya di Yogyakarta, pejabat itu mengungkapkan bahwa baik Menhankam maupun Kaskopkamtib sepakat pentingnya "kekompakan dan keutuhan partai PDI, tidak terpecah belah seperti sekarang ini". Tidak jelas kepada publik bagaimana bentuk perpecahan itu. Tetapi Widodo ada menyebut-nyebut "adanya kasus-kasus Wonogiri, Malang, Bandung dan Jakarta" yang turut merepotkan beberapa panglima-panglima daerah. Widodo sendiri menolak anggapan seolah-olah ia memihak salah satu kelompok. "Sebagai ABRI tidak mungkin memihak salah satunya", katanya. Dengan gagalnya pertemuan tersebut, berbagai dugaan dari kalangan dekat PDI mengatakan bahwa "kongres pertama ini akan ramai". Ramai bukan karena perbedaan sasaran perjuangan. tapi karena perebutan pengaruh antara berbagai kelompok yang masing-masing punya pendukung. "Soalnya pertikaian itu menjurus kepada siapa yang memimpin", ujar seorang anggota DPP kepada TEMPO akhir pekan lalu. Nampaknya tidak sukar menduga bahwa hal ini akan muncul di kalangan unsur PNI. Sudah lama diketahui adanya rivalitas antara Sunawar Sukowati dengan Isnaeni, sehingga menyebabkan timbulnya ungkapan "pimpinan sampingan" dalam PDI. Di samping itu dari Jawa Tengah dan Jawa Timur konon sebuah kelompok baru muncul di luar Isnaeni, Sunawar maupun Sanusi. Bukan tidak mungkin, "penyempurnaan pimpinan pusat" yang dimaksud berarti pula "perubahan dan penghapusan nama beberapa orang yang tidak didukung". Asal saja menurut kalangan dekat PDI itu "penyempurnaan seperti ini dikehendaki kongres Betapa juga pertikaian itu meruncing, bagi keempat unsur PDI lainnya, mudah-mudahan kongres berjalan beres. Bagaimana Sanusi sendiri menilai persoalan yang kini dihadapi partai yang dipimpinnya'? Di rumahnya Jalan Senopati 25 -- berita terakhir Sanusi sudah pindah karena habis masa kontraknya -- ketua umum PDI tersebut menjawah pertanyaan team TEMPO sebagai berikut: TEMPO : Apa target PDI menghadapi pemilu 1977? Sanusi: Seperti biasanya, tiap partai menghendaki suara terbanyak dalam pemilu. Kami sendiri punya dorongan kuat untuk mencapai target itu. Sebab sekarang ini, kami merupakan fraksi terkecil dalam DPR. Padahal latar belakang sejarah kami tidak demikian. Kami punya potensi "penarik pemilih" atau votegetters yang cukup banyak. Jadi target kami untuk mendapatkan suara terbanyak dalam pemilu yang akan datang cukup beralasan. Tapi yang penting, pengalaman pahit pemilu '71 jangan terulang lagi. Pengalaman itu sangat membingungkan pemilih kami. Juga saya sendiri waktu itu mengalaminya. Rencana berkampanye di 7 tempat di kabupaten Sumedang, berhasil hanya di 4 tempat sebab penyelenggaranya tidak berani. Sekarang kita tidak perlu menyalahkan siapa pun. Kami hanya menghalapkan instruksi Mendagri pada gubernur-guhernur dalam rapat kerja yang lalu betul-betul ditaati. Ketika itu Mendagri mengharapkan gubernur betul-betul menjadi wasit yang baik dalam pemilu. Instruksi itulah yang bagi kami merupakan jaminan pemerintah supaya pemilu betul-betul berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip langsung, bebas dan rahasia. * TAK ADA INSTRUKSI T: Apakah tidak ada instruksi juga dari pemerintah pusat pada gubernur-gubernur supaya memenangkan Golkar dalam pemilu yang akan datang, seperti katanya dalam pemilu 71 ? S: Saya kira dulu pun tidak ada instruksi pusat untuk memenangkan Golkar. Namun peranan gubernur memang sangat menguntungkan buat Golkar. Sebab gubernur -- sampai sekarang merupakan pembina Golkar tingkat propinsi. T: Apa langkah-langkah persiapan PDI sekarang? S: Menstabilkan organisasi mulai dari pusat sampai ke tingkat komisaris. Sebab tempat berpijak PDI, adalah pada pengurus-pengurus cabang, terus ke bawah ke komisaris dan pembantu-pembantunya. Pembentukan cabang-cabang cukup maju. Dari 280 kabupaten dan kotamadya, 260 sudah terbentuk pengurus cabangnya. Hambatan memang ada, misalnya di Sulawesi Tenggara di mana sulit cari orang untuk jadi pengurus cabang. Ini mungkin akibat tahun 1971. T: Sampai berapa jauh kekompakan kelima unsur yang berfusi dalam PDI? S: Sulit untuk diukur. Tapi kemajuan ke arah kekompakan itu sudah tampak. Yang harus dicegah adalah timbulnya kekacauan dalam partai. Memang kami ini agak ahli dalam bertentangan satu sama lain Tapi kalau menghadapi kepentingan nasional seperti pemilu, kami bersatu. T: Beberapa waktu lalu sebuah delegasi generasi muda PDI mendatangi pak Sanusi. Dari unsur mana mereka sebenarnya ? S: Diduga mereka terdiri dari kalangan muda PNI. Saya anggap kedatangan mereka itu wajar: golongan muda itu menghendaki adanya kekompakan dalam tubuh pimpinan PDI. T: Sekarang PDI hampir kehilangan pimpinan di tingkat pusat yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Apakah massa pemilih di daerah-daerah ini masih bisa melihat PDI sebagai neo PNI, hingga mau memberikan suaranya. Ataukah mereka akan bersikap "golongan putih" tak memilih) atau memberikan suara pada Golkar maupun Islam? S: Saya optimis sebagian besar mereka memberi suara untuk PDI. Paling tidak katakanlah pada mereka yang bekas-bekas PNI. Kami memang berharap PDI mendapat suara terbanyak di Jawa Tengah. Kami pun sudah siap-siap dengan tema-tema kampanye. Tapi lebih baik saudara tanyakan nanti sesudah kongres. T: Hal-hal apa yang ingin dicapai dalam koagres? S: Kongres pertama ini hendaknya diartikan oleh semua pihak sebagai pelaksanaan amanat dan konsensus 5 unsur yang berfusi. Dalam kongres ini akan dikukuhkan mengenai: fusi, piagam perjuangan, AD/ART, dan penyempurnaan serta pengesahan aparat parai. Karena itu dinamakan kongres pengukuhan. T: Apakah parpol sudah mendapat izin membentuk komisaris di beberapa daerah ? S: Pemhentukan komisaris jelas ada dalam undang-undang. Di situ tidak disebutkan harus ada izin. Sebelum keluarnya Peraturan Pelaksanaan UU no. 3/75, komisaris-komisaris PDI di Kabupaten Sukabumi sudah terbentuk. Memang ada beberapa tempat yang mengatakan tunggu dulu. Kami tanyakan dilarang atau disuruh tunggu? Saya ingin tegas-tegas saja. Kalau dikatakan tunggu, saya tidak bisa bilang apa-apa. Tapi kalau dilarang akan saya persoalkan. Pengalaman seperti ini tidak hanya dialami PDI, tapi juga yang lain. T: Apakah ukuran perimbangan kekuatan antara partai-partai yang berfusi dalam PDI akan dipakai dalam pengajuan calon? S: Kami baru akan membentuk panitia pemilihan. Kongres nanti juga akan membahas soal pemilu, pencalonan, tanda gambar dan lambang partai. Tentang pencalonan hendaknya kita harus berfikir secara jujur. Menurut pendapat saya sebaiknya kita melihat faktor kwlitasnya. T: Dalam pengajuan ini apakah juga termasuk potensi sebagai "penarik pemilih " (votegetters)? S: Jelas. T: Bagaimana dengan daerah yang mayoritas pemilihnya Katolik dan Protestan? S: Adalah tidak aneh bila di daerah-daerah tersebut yang tampil teman-teman dari Katolik maupun Protestan. Itu wajar sekali. Tokoh-tokoh yang berpengaruh kuat seperti di Flores tentunya teman-teman dari Katolik. Karena itu PNI lalu jangan mau bertingkah di sana. T: Kira-kira akan menang apa tidak? S: Kami optimis. Tapi terus-terang saja, biarlah kami jangan diganggu oleh siapapun dalam pemilu Jangan ada intimidasi, menakut-nakuti. Saya tidak bisa diintimidasi. Ambil contoh pemilu tahun 1955. Meskipun waktu itu ada DI di Jawa Barat, toh pemungutan suara berjalan lancar. Hasilnya cukup besar. * SOAL PEGAWAI NEGERI T: Kenapa justru tahun 1971 PNI mengalami kemunduran? S: Itu proses sejarah. Akibat PNI pecah tempo hari menyebabkan partai ini popularitasnya menurun. T: Apakah hilangnya suara yang dulu ada pada pamong praja dan pegawai negeri tidak mempengaruhi? S: Jelas mempengaruhi. Ini juga satu problem yang akan dihadapi PDI nanti. Undang-undang membenarkan pegawai negeri menjadi anggota partai politik atau Golkar asal memberitahu yang berwenang. Sekarang tidak jadi soal lagi apakah guru-guru akan masuk Golkar, PDI atau PPP. Kami harapkan guru-guru yang anggota PDI kembali ke kandangnya mencoblos PDI. Ini baru bisa dilakukan kalau tidak terjadi tindakan menakut-nakuti. Memang agak berat menghadapi masalah ini. Namun biarkanlah kami bebas, baik ke dalam maupun ke tengah-tengah masyarakat sesuai UU yang ada. Jadi kalau rakyat pergi dan kembali dari tempat pencoblosan, tidak usah merasa takut. T: Bagaimana persoalan pegawai negeri yang dipecat pada waktu pemilu 1971? S: Soal ini berangsur-angsur dilaksanakan. Cuma kami juga mengakui tidak secepat yang dikehendaki. Kami sebenarnya ingin tegas dalam hal ini. Di Jatim, dari 300 orang yang mengalami pemecatan 100 di antaranya sudah menerima putusan -- dipensiun, direhabilitir atau dikeluarkan sama sekali. Yang terbanyak mereka direhabilitir. Kami harap sebelum pencoblosan nanti semua sudah diselesaikan. T: Apa tidak terasa oleh pimpinan PDI bahwa pegawai negeri tidak berminat lagi memilih PDI? S: Bukan karena tidak berminat, tapi barangkali lebih banyak karena rasa takut. T: Bagaimana menanggulangi ketakutan mereka? Apakah ada usaha PDI menanamkan idealisme berpolitik, misalnya dorongan untuk berjuang lewat partai, atau memperjuangkan nasib rakyat kecil? S: Sudah ada usaha ke arah itu, Sumber pokok kewajiban kami bahwa partai adalah alat pendidikan politik rakyat. Ini diakui oleh UU dan akan kami pegang teguh. T: Dalam menanamkan idealisme tapi apakah PDI punya organ untuk mengutarakan pendapatnya? Adakah PDI punya koran partai? S: Kami hanya punya bulletin yang sederhana tapi terbitnya teratur. Kami paksakan mengeluarkan dua kali sebulan. Ada juga keinginan kuat di kalangan kami untuk menerbitkan koran. Tapi masih dalam penjajagan apakah bisa memperoleh surat izin terbit -- yang katanya tidak akan ditambah dari yang ada sekarang. T: Terlepas ada koran atau tidak, apakah PDI mempunyai kelompok pemikir yang menggodok masalah-masalah untuk dilontarkan ke masyarakat? S: Teoritis ada, cuma belum berjalan. Juga karena kami belum punya susunan tenaga yang teratur. T: Dana untuk kampanye apa sudah difikirkan? Berapa besar bantuan pemerintah? S: Ini lagu lama. Dana kami memang sulit dan kurang sekali. Kalau difikirkan sih sudah, terus menerus. Misalnya kami menghubungi orang-orang yang simpati pada partai dari kalangan kami sendiri. Apakah pemerintah mau membantu saya belum tahu. T: Sekiranya ada "intimidasi" bagaimana sikap PDI? S: Kami akan konsekwen kepada permintaan kami. Apakah akan bersikap ngotot kami lihat nanti. Namun saya berpendapat jangan apriori terhadap keadaan sebelum melihat kenyataan. Kami bersikap keras supaya pemilu tahun '77 benar-benar beraku apa yang kita semua kehendaki. Yaitu umum, langsung, bebas dan rahasia. T: Bapak nampaknya cukup optimis dan "siap tempur". Apa pak Sanusi dan PDI masih merasa perlu untuk menang? Atau cukup seadanya, ketimbang tidak dapat tempat sama sekali? S: Saya akui ada satu dua orang yang berpendapat demikian. Tapi itu bukan sikap seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus yakin akan kekuatannya, itulah modal pokok. Dan berani sedikitlah, tidak usah banyak-banyak. Artinya kalau lihat hal-hal yang tidak baik, kita ucapkan kepada yang berwenang mengatasinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus