MENJELANG Senin lusa di Senayan itu, sekitar 1500 peserta
mewakili 260 cabang dan 26 daerah -- tiap cabang dan daerah
mengirim 5 utusan -- diharapkan ambil bagian dalam kongres. Para
peserta membiayai sendiri pengangkutan dari daerah asalnya
pulang pergi. "Penginapan dan makan selama kongres diusahakan
ditanggung DPP yang juga selaku panitia", ujar seorang anggota
DPP kepada TEMPO.
Sebagaimana sudah diumumkan kongres ini tidak akan menelorkan
suatu perubahan yang berarti. "Kongres ini hanya akan
mengukuhkan hasil fusi". kata ketua umum PDI Sanusi Harjadinata
beberapa waktu lalu. Piagam perjuangan, Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga, dan Pimpinan Partai, termasuk dalam
kerangka yang akan dikukuhkan pada pertemuan dua hari itu.
Begitu niat Sanusi, tapi belum tentu semua peserta mengaminkan-
nya. Beberapa hari sebelum kongres ini berlangsung, Sanusi yang
baru menjabat ketua umum 14 bulan lalu, dihadapkan pada ancaman
"perpecahan" dalam tubuh partai. DPD PDI Jatim memprakarsai
sebuah pertemuan yang akan memanggil DPD-DPD se Kowilhan II --
meliputi Jakarta Raya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bali, NTT, dan NTB dengan alasan "untuk membicarakan beberapa
masalah pokok yang cukup berat dalam kongres". Pertemuan
akhirnya tidak jadi karena sebuah telegram Sanusi. Meskipun
Sanusi konon menyetujui pada mulanya. Adapun pertemuan itu pada
mulanya dimaksudkan pula "untuk melicinkan jalannya kongres dan
menghindarkannya dari kemungkinan menjadi arena perdebatan
sengit".
Pembatalan itu telah memancing tanggapan Panglima Komando
Wilayah Pertahanan II (Kowilhan) Letjen Widodo. Sambil
menyesalkan penggunaan istilah Kowilhan II, Widodo menyatakan
keheranannya mengapa tiba-tiba ada radiogram melarang pertemuan,
padahal "disposisi pak Sanusi saya lihat sendiri". Kepada
wartawan Sinar Harapan yang menemui Widodo di kediamannya di
Yogyakarta, pejabat itu mengungkapkan bahwa baik Menhankam
maupun Kaskopkamtib sepakat pentingnya "kekompakan dan keutuhan
partai PDI, tidak terpecah belah seperti sekarang ini". Tidak
jelas kepada publik bagaimana bentuk perpecahan itu. Tetapi
Widodo ada menyebut-nyebut "adanya kasus-kasus Wonogiri, Malang,
Bandung dan Jakarta" yang turut merepotkan beberapa
panglima-panglima daerah. Widodo sendiri menolak anggapan
seolah-olah ia memihak salah satu kelompok. "Sebagai ABRI tidak
mungkin memihak salah satunya", katanya.
Dengan gagalnya pertemuan tersebut, berbagai dugaan dari
kalangan dekat PDI mengatakan bahwa "kongres pertama ini akan
ramai". Ramai bukan karena perbedaan sasaran perjuangan. tapi
karena perebutan pengaruh antara berbagai kelompok yang
masing-masing punya pendukung. "Soalnya pertikaian itu menjurus
kepada siapa yang memimpin", ujar seorang anggota DPP kepada
TEMPO akhir pekan lalu. Nampaknya tidak sukar menduga bahwa hal
ini akan muncul di kalangan unsur PNI. Sudah lama diketahui
adanya rivalitas antara Sunawar Sukowati dengan Isnaeni,
sehingga menyebabkan timbulnya ungkapan "pimpinan sampingan"
dalam PDI. Di samping itu dari Jawa Tengah dan Jawa Timur konon
sebuah kelompok baru muncul di luar Isnaeni, Sunawar maupun
Sanusi. Bukan tidak mungkin, "penyempurnaan pimpinan pusat" yang
dimaksud berarti pula "perubahan dan penghapusan nama beberapa
orang yang tidak didukung". Asal saja menurut kalangan dekat PDI
itu "penyempurnaan seperti ini dikehendaki kongres
Betapa juga pertikaian itu meruncing, bagi keempat unsur PDI
lainnya, mudah-mudahan kongres berjalan beres. Bagaimana Sanusi
sendiri menilai persoalan yang kini dihadapi partai yang
dipimpinnya'? Di rumahnya Jalan Senopati 25 -- berita terakhir
Sanusi sudah pindah karena habis masa kontraknya -- ketua umum
PDI tersebut menjawah pertanyaan team TEMPO sebagai berikut:
TEMPO : Apa target PDI menghadapi pemilu 1977?
Sanusi: Seperti biasanya, tiap partai menghendaki suara
terbanyak dalam pemilu. Kami sendiri punya dorongan kuat untuk
mencapai target itu. Sebab sekarang ini, kami merupakan fraksi
terkecil dalam DPR. Padahal latar belakang sejarah kami tidak
demikian. Kami punya potensi "penarik pemilih" atau votegetters
yang cukup banyak. Jadi target kami untuk mendapatkan suara
terbanyak dalam pemilu yang akan datang cukup beralasan.
Tapi yang penting, pengalaman pahit pemilu '71 jangan terulang
lagi. Pengalaman itu sangat membingungkan pemilih kami. Juga
saya sendiri waktu itu mengalaminya. Rencana berkampanye di 7
tempat di kabupaten Sumedang, berhasil hanya di 4 tempat sebab
penyelenggaranya tidak berani.
Sekarang kita tidak perlu menyalahkan siapa pun. Kami hanya
menghalapkan instruksi Mendagri pada gubernur-guhernur dalam
rapat kerja yang lalu betul-betul ditaati. Ketika itu Mendagri
mengharapkan gubernur betul-betul menjadi wasit yang baik dalam
pemilu. Instruksi itulah yang bagi kami merupakan jaminan
pemerintah supaya pemilu betul-betul berjalan sesuai dengan
prinsip-prinsip langsung, bebas dan rahasia.
* TAK ADA INSTRUKSI
T: Apakah tidak ada instruksi juga dari pemerintah pusat pada
gubernur-gubernur supaya memenangkan Golkar dalam pemilu yang
akan datang, seperti katanya dalam pemilu 71 ?
S: Saya kira dulu pun tidak ada instruksi pusat untuk
memenangkan Golkar. Namun peranan gubernur memang sangat
menguntungkan buat Golkar. Sebab gubernur -- sampai sekarang
merupakan pembina Golkar tingkat propinsi.
T: Apa langkah-langkah persiapan PDI sekarang?
S: Menstabilkan organisasi mulai dari pusat sampai ke tingkat
komisaris. Sebab tempat berpijak PDI, adalah pada
pengurus-pengurus cabang, terus ke bawah ke komisaris dan
pembantu-pembantunya. Pembentukan cabang-cabang cukup maju. Dari
280 kabupaten dan kotamadya, 260 sudah terbentuk pengurus
cabangnya. Hambatan memang ada, misalnya di Sulawesi Tenggara di
mana sulit cari orang untuk jadi pengurus cabang. Ini mungkin
akibat tahun 1971.
T: Sampai berapa jauh kekompakan kelima unsur yang berfusi dalam
PDI?
S: Sulit untuk diukur. Tapi kemajuan ke arah kekompakan itu
sudah tampak. Yang harus dicegah adalah timbulnya kekacauan
dalam partai. Memang kami ini agak ahli dalam bertentangan satu
sama lain Tapi kalau menghadapi kepentingan nasional seperti
pemilu, kami bersatu.
T: Beberapa waktu lalu sebuah delegasi generasi muda PDI
mendatangi pak Sanusi. Dari unsur mana mereka sebenarnya ?
S: Diduga mereka terdiri dari kalangan muda PNI. Saya anggap
kedatangan mereka itu wajar: golongan muda itu menghendaki
adanya kekompakan dalam tubuh pimpinan PDI.
T: Sekarang PDI hampir kehilangan pimpinan di tingkat pusat yang
berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Apakah massa pemilih di
daerah-daerah ini masih bisa melihat PDI sebagai neo PNI, hingga
mau memberikan suaranya. Ataukah mereka akan bersikap "golongan
putih" tak memilih) atau memberikan suara pada Golkar maupun
Islam?
S: Saya optimis sebagian besar mereka memberi suara untuk PDI.
Paling tidak katakanlah pada mereka yang bekas-bekas PNI. Kami
memang berharap PDI mendapat suara terbanyak di Jawa Tengah.
Kami pun sudah siap-siap dengan tema-tema kampanye. Tapi lebih
baik saudara tanyakan nanti sesudah kongres.
T: Hal-hal apa yang ingin dicapai dalam koagres?
S: Kongres pertama ini hendaknya diartikan oleh semua pihak
sebagai pelaksanaan amanat dan konsensus 5 unsur yang berfusi.
Dalam kongres ini akan dikukuhkan mengenai: fusi, piagam
perjuangan, AD/ART, dan penyempurnaan serta pengesahan aparat
parai. Karena itu dinamakan kongres pengukuhan.
T: Apakah parpol sudah mendapat izin membentuk komisaris di
beberapa daerah ?
S: Pemhentukan komisaris jelas ada dalam undang-undang. Di situ
tidak disebutkan harus ada izin. Sebelum keluarnya Peraturan
Pelaksanaan UU no. 3/75, komisaris-komisaris PDI di Kabupaten
Sukabumi sudah terbentuk. Memang ada beberapa tempat yang
mengatakan tunggu dulu. Kami tanyakan dilarang atau disuruh
tunggu? Saya ingin tegas-tegas saja. Kalau dikatakan tunggu,
saya tidak bisa bilang apa-apa. Tapi kalau dilarang akan saya
persoalkan. Pengalaman seperti ini tidak hanya dialami PDI, tapi
juga yang lain.
T: Apakah ukuran perimbangan kekuatan antara partai-partai yang
berfusi dalam PDI akan dipakai dalam pengajuan calon?
S: Kami baru akan membentuk panitia pemilihan. Kongres nanti
juga akan membahas soal pemilu, pencalonan, tanda gambar dan
lambang partai. Tentang pencalonan hendaknya kita harus berfikir
secara jujur. Menurut pendapat saya sebaiknya kita melihat
faktor kwlitasnya.
T: Dalam pengajuan ini apakah juga termasuk potensi sebagai
"penarik pemilih " (votegetters)?
S: Jelas.
T: Bagaimana dengan daerah yang mayoritas pemilihnya Katolik
dan Protestan?
S: Adalah tidak aneh bila di daerah-daerah tersebut yang tampil
teman-teman dari Katolik maupun Protestan. Itu wajar sekali.
Tokoh-tokoh yang berpengaruh kuat seperti di Flores tentunya
teman-teman dari Katolik. Karena itu PNI lalu jangan mau
bertingkah di sana.
T: Kira-kira akan menang apa tidak?
S: Kami optimis. Tapi terus-terang saja, biarlah kami jangan
diganggu oleh siapapun dalam pemilu Jangan ada intimidasi,
menakut-nakuti. Saya tidak bisa diintimidasi. Ambil contoh
pemilu tahun 1955. Meskipun waktu itu ada DI di Jawa Barat, toh
pemungutan suara berjalan lancar. Hasilnya cukup besar.
* SOAL PEGAWAI NEGERI
T: Kenapa justru tahun 1971 PNI mengalami kemunduran?
S: Itu proses sejarah. Akibat PNI pecah tempo hari menyebabkan
partai ini popularitasnya menurun.
T: Apakah hilangnya suara yang dulu ada pada pamong praja dan
pegawai negeri tidak mempengaruhi?
S: Jelas mempengaruhi. Ini juga satu problem yang akan dihadapi
PDI nanti. Undang-undang membenarkan pegawai negeri menjadi
anggota partai politik atau Golkar asal memberitahu yang
berwenang. Sekarang tidak jadi soal lagi apakah guru-guru akan
masuk Golkar, PDI atau PPP. Kami harapkan guru-guru yang anggota
PDI kembali ke kandangnya mencoblos PDI. Ini baru bisa dilakukan
kalau tidak terjadi tindakan menakut-nakuti. Memang agak berat
menghadapi masalah ini. Namun biarkanlah kami bebas, baik ke
dalam maupun ke tengah-tengah masyarakat sesuai UU yang ada.
Jadi kalau rakyat pergi dan kembali dari tempat pencoblosan,
tidak usah merasa takut.
T: Bagaimana persoalan pegawai negeri yang dipecat pada waktu
pemilu 1971?
S: Soal ini berangsur-angsur dilaksanakan. Cuma kami juga
mengakui tidak secepat yang dikehendaki. Kami sebenarnya ingin
tegas dalam hal ini. Di Jatim, dari 300 orang yang mengalami
pemecatan 100 di antaranya sudah menerima putusan -- dipensiun,
direhabilitir atau dikeluarkan sama sekali. Yang terbanyak
mereka direhabilitir. Kami harap sebelum pencoblosan nanti semua
sudah diselesaikan.
T: Apa tidak terasa oleh pimpinan PDI bahwa pegawai negeri tidak
berminat lagi memilih PDI?
S: Bukan karena tidak berminat, tapi barangkali lebih banyak
karena rasa takut.
T: Bagaimana menanggulangi ketakutan mereka? Apakah ada usaha
PDI menanamkan idealisme berpolitik, misalnya dorongan untuk
berjuang lewat partai, atau memperjuangkan nasib rakyat kecil?
S: Sudah ada usaha ke arah itu, Sumber pokok kewajiban kami
bahwa partai adalah alat pendidikan politik rakyat. Ini diakui
oleh UU dan akan kami pegang teguh.
T: Dalam menanamkan idealisme tapi apakah PDI punya organ
untuk mengutarakan pendapatnya? Adakah PDI punya koran
partai?
S: Kami hanya punya bulletin yang sederhana tapi terbitnya
teratur. Kami paksakan mengeluarkan dua kali sebulan. Ada juga
keinginan kuat di kalangan kami untuk menerbitkan koran. Tapi
masih dalam penjajagan apakah bisa memperoleh surat izin terbit
-- yang katanya tidak akan ditambah dari yang ada sekarang.
T: Terlepas ada koran atau tidak, apakah PDI mempunyai kelompok
pemikir yang menggodok masalah-masalah untuk dilontarkan ke
masyarakat?
S: Teoritis ada, cuma belum berjalan. Juga karena kami belum
punya susunan tenaga yang teratur.
T: Dana untuk kampanye apa sudah difikirkan? Berapa besar
bantuan pemerintah?
S: Ini lagu lama. Dana kami memang sulit dan kurang sekali.
Kalau difikirkan sih sudah, terus menerus. Misalnya kami
menghubungi orang-orang yang simpati pada partai dari kalangan
kami sendiri. Apakah pemerintah mau membantu saya belum tahu.
T: Sekiranya ada "intimidasi" bagaimana sikap PDI?
S: Kami akan konsekwen kepada permintaan kami. Apakah akan
bersikap ngotot kami lihat nanti. Namun saya berpendapat jangan
apriori terhadap keadaan sebelum melihat kenyataan. Kami
bersikap keras supaya pemilu tahun '77 benar-benar beraku apa
yang kita semua kehendaki. Yaitu umum, langsung, bebas dan
rahasia.
T: Bapak nampaknya cukup optimis dan "siap tempur". Apa pak
Sanusi dan PDI masih merasa perlu untuk menang? Atau cukup
seadanya, ketimbang tidak dapat tempat sama sekali?
S: Saya akui ada satu dua orang yang berpendapat demikian. Tapi
itu bukan sikap seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus yakin
akan kekuatannya, itulah modal pokok. Dan berani sedikitlah,
tidak usah banyak-banyak. Artinya kalau lihat hal-hal yang
tidak baik, kita ucapkan kepada yang berwenang mengatasinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini