KUMORO Utoyo, 64 tahun, mengenakan baju abuabu, dasi biru, dan bercelana dongker. Laksamana Pertama (Purn.) dan bekas Kepala Staf Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) I SumateraKalimantan Barat itu berdiri mendengar dakwaan Oditur Brigjen. TNI (lokal) M. Husni di depan Mahkamah Militer Tinggi di Jalan Diponegoro, Medan, Senin pagi pekan ini. Kumoro dituduh mengimpor 4.000 senjata berikut 2,5 juta butir peluru secara ilegal ke Indonesia, 15 tahun lalu. Menurut oditur, ia bekerja sama dengan Muhammad Zein Ilyas, Direktur CV Maju Makmur, Jakarta. Beberapa kamuflase mewarnai ketika senjata berikut amunisi yang diangkut dengan pesawat itu mendarat di Polonia, Medan, 11 dan 12 Maret l977. Tak kurang dari 225 senjata yang dikemas dalam peti berlabel sporting goods yang dialamatkan ke Kowilhan I, agar Bea Cukai tak ketat memeriksanya. Kamuflase serupa dilakukan untuk 24 senjata, 30 April 1977. Tapi kali ini tercium Mabes ABRI. Dan Menhankam/Pangab Jenderal M. Panggabean memerintahkan untuk menyetop impor itu. Senjata dan peluru yang telanjur masuk disita, dan Zein ditahan. Kumoro, setahun sebelumnya, pindah tugas menjadi Gubernur Akademi Angkatan Laut di Surabaya. Kisahnya, Januari 1976, Zein menginformasikan: Kadapol IV/Sumatera Bagian Selatan punya gagasan menarik senjata standar ABRI dari beberapa perkebunan. Ia merayu Kumoro agar mengembangkan ide itu menjadi gagasan Kowilhan. Artinya, penarikan itu diberlakukan untuk semua PNP (kini PTP) di Sumatera dan Kalimantan Barat. Zein siap mengimpor senjata standar non-ABRI itu. Dalam rapat yang dipimpin Kumoro dan dihadiri beberapa stafnya serta Zein, rencana itu dirumuskan pada 22 Maret 1976. Menurut oditur, Zein menjanjikan kepada Kumoro komisi Rp 180 juta dari omset penjualan Rp 1,8 milyar. Kontrak antara Kowilhan -- diwakili Kolonel Zainuddin Hasibuan, Ketua G4/Logistik -- dan Zein ditandatangani pada 24 Maret l977. Pada 6 April 1976 Kumoro menyetujui kontrak itu, mewakili Panglima Kowilhan. Sebelumnya, Kumoro memimpin rapat pada 3 April 1976, antara lain dihadiri Direktur PNP IIIX, pimpinan Pertamina, dan Zein. Juga hadir Brigjen. Sukoco, Laksusda Sumatera Utara, mewakili Muspida. Legitimasi paling tinggi dari gagasan itu keluarnya instruksi dari Pangkowilhan (waktu itu Letjen. Poniman) pada 31 Mei 1976. Zainuddin berhasil menekenkan konsep instruksi tersebut, yaitu penarikan dan penggantian senjata api itu. Padahal, Poniman tak pernah dilapori soal rencana tadi. Bermodalkan surat kontrak itulah Zein mengontak pabrik senjata Wische, Wilsker & Co, Erlanggen, Jerman Barat, dan pabrik peluru Jenas Air Graft and Arma Co. Inc., New York. Kedua pabrik ini kemudian memenuhi permintaan Zein. Tetapi, ketika sebagian pesanan datang, Menhankam menyetopnya karena belum memperoleh izin resmi dari Mabes ABRI. Kumoro, yang didampingi dua penasihat hukumnya, menyangkal tuduhan oditur. "Saya berada di jalur yang benar dalam pengadaan senjatasenjata itu. Dan secara hukum saya tidak lagi berwenang di Kowilhan," katanya. Sejak 6 April 1976 ia tidak menduduki jabatan itu, setelah digantikan Laksamana Pertama Brata. Hari itu tampil saksi Mayor (Purn.) Benyamin Sidabutar, bekas Kepala Tata Usaha Dinas Logistik Kowilhan I. Ia tahu ada senjata tertangkap di Polonia setelah membaca koran. Setelah itu, ada usaha membatalkan kontrak, tapi Brata menolak menekennya. Pembatalan kontrak, kata Benyamin, berlangsung di Hotel Danau Toba, Medan, setelah Kumoro datang dari Surabaya. Mahkamah yang dipimpin Brigjen. TNI (lokal) Ramzani itu, selama sidang, merencanakan menghadirkan 14 saksi. Tapi dua saksi utama telah meninggal, yaitu Kolonel Zainuddin Hasibuan dan Zein. Sedangkan senjata-senjata itu belum sempat dimasukkan Kumoro ke perkebunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini