KESEMPATAN untuk berkenalan dengan calon sementara anggota legislatif sudah terbuka. Lebih dari 3.000 nama calon anggota DPR untuk pemilihan umum 1992 ini, selain diumumkan surat kabar, juga disiarkan tiap malam di Televisi, sejak 21 Januari. Sedangkan nama-nama calon anggota DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II pun dipajang di daerahnya masing-masing. Yang menarik, lebih dari 85% daftar calon sementara (DCS) legislatif 1992-1997 itu adalah orang-orang yang belum pernah duduk di lembaga legislatif. Begitu pula caloncalon anggota DPRD I dan II. Di Jakarta, misalnya, lebih dari 93% adalah muka baru. Hampir 59% calon anggota DPRD Jawa Barat juga wajah baru. Ambil contoh, Muhammad Guruh Irianto Sukarno Putra. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) bahkan menempatkan anak almarhum Bung Karno ini di urutan pertama untuk Daerah Pemilihan Jawa Timur. Ia dipastikan meluncur ke DPR. Dari keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Golkar mencalonkan Gusti Kanjeng Ratu Hemas untuk kursi DPRD I Yogyakarta. Ia langsung bertengger di urutan kedua, persis di bawah suaminya, Sultan Hamengku Buwono X. Di antara pendatang baru itu ada juga yang mengaku kurang bernafsu duduk di bangku legislatif itu. Contohnya, Ratu Hemas itu. "Saya sebenarnya lebih senang berjuang langsung, tanpa harus jadi anggota legislatif," kata permaisuri cantik yang aktif dalam berbagai kegiatan sosial itu. Ia memang Ketua Himpunan Wanita Karya (HWK) Yogya, Yayasan Jantung Yogya, dan lain-lain. Tapi ia tak menolak ketika HWK Pusat mencalonkannya. Namun, karena namanya juga sementara, pengumuman daftar calon itu belum final. Artinya, hingga 18 Februari nanti, masyarakat diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan atau keberatan atas calon legislatif itu, baik lewat Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), maupun Panitia Pemilihan Daerah (PPD) tingkat I atau PPD II. Juga masih ada kesempatan bagi calon untuk mengundurkan diri bila merasa keberatan. Mereka yang terbukti terlibat PKI dan sempat lolos dari Penelitian Khusus (Litsus) pasti akan dicoret oleh Panitia Penelitian Pusat (Panlitpus). Sedangkan yang tersangkut masalah moral, tindak pidana, perdata, atau pelanggaran susila, keputusannya diserahkan kepada Organisasi Peserta Pemilu (OPP) yang mencalonkannya. "Diganti tidaknya, tergantung OPP masing-masing," kata Wakil Sekretaris Lembaga Pemilihan Umum P. Gunardo pada Kompas. Namun, sampai akhir pekan lalu, belum ada calon yang dilaporkan terlibat PKI, korupsi, pelanggaran susila, atau hal-hal yang mencoreng nama calon. Pernyataan keberatan justru terlontar dari calon sendiri. Jawa Pos memberitakan Kyai Haji Badri Masduqi, Pimpinan Pondok Pesantren Badridduja Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur, berteriak agar dihapus dari daftar calon. "Saya tidak mau dicalonkan PPP, baik untuk DPR maupun MPR," kata calon DPR nomor 24 dari PPP itu. Ia bertekad ingin benar-benar kembali ke Khittah NU. Jauhjauh hari ia juga menolak permintaan Dewan Pimpinan Wilayah PPP Jawa Timur untuk jadi calon DPRD I Jatim. Padahal, sebagai juru kampanye PPP pada Pemilu 1977, tokoh NU itu sempat meringkuk di bui sekitar 40 hari lantaran suaranya yang keras. Seingat Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum, Kyai Badri memang tidak mau menjadi anggota DPR. Tetapi bersedia duduk di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Lalu, mengapa namanya tercantum dalam DCS? "Untuk duduk di MPR kan harus tercantum dalam DCS. Dan posisi Kyai Badri bukan nomor jadi untuk DPR," kata Buya Ismail yang tetap berharap agar Kyai Badri tidak menolak kursi MPR (bukan DPR). Priyono B. Sumbogo dan Zed Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini