Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Stasiun Itu Menjadi Warung

Stasiun-stasiun/rel-rel yang tidak berfungsi lagi di beberapa kota, biasanya diambil alih oleh penduduk sekitarnya untuk keperluan lain. misalnya dijadikan warung dan bioskop.

26 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Bantul, Yogya, ada sebuah stasiun kereta api kecil. Tapi sejak beerapa tahun belakangan ini tak ada lagi gerbong-gerbong lalu lalang di sana. Sebuah warung sudah mengisi kesibukan stasiun kecil itu. Seorang lelaki yang selalu necis di sana, adalah si kepala stasiun, merangkap pemilik waruug itu. Menurut petugas PJKA Yogya, "memindahkan karyawan PJKA mesti melalui prosedur yang berbelit-belit." Karena itulah Kepala Stasiun Bantul itu tetap "bekerja" di sana, meskipun tak satu gerbong pun bakal lewat. Di Yogya tak kurang dari 19 km rel menganggur: dari Stasiun Tugu sampai jembatan Krasak, Kabupaten Sleman. Tapi rel-rel itu masih diawasi," ujar utaryo, Kepala Bagian Jalan & Bangunan PJKA Inspeksi VI Yogya. Di sepanjang rel tersebut ada 15 karyawan yang setiap hari "bekerja", misalnya membersihkan rumput. Untuk itu mereka menerima gaji antara Rp 22. 700 hingga Rp 53.000. Di jalur kereta api Yogya - Bantul ada pula sebuah jalur rel untuk kereta yang khusus mengangkut tebu hanya di musim giling tebu, melayani Pabrik pula Madukismo. Orang Yogya menjulukinya "kereta api koboi"--dengan Iok yang hitam pekat, berjalan terseok-seok. Penduduk di sekitarnya biasa menjemur kasur-bantal atau memarkir mobil di atas relnya. Kalau kereta lewat, sang masinis turun mengangkat kasur atau mencari pemilik mobil agar kendaraan itu disingkirkan dulu. Suatu Saat Rel-rel yang mati sering diambil-alih penduduk sekitarnya untuk keperluan lain di Ja-Bar. Misalnya, di tanah tempat rel jalur Rancaekek - Cicalengka (Kkabupaten Bandung) sudah menjadi puskesmas dan gedung sekolah. Atau jalur Jatibarang - Indramayu yang sudah ditimbuni tanah menjadi trotoar. Di jalur Cirebon - Kadipaten sepanjang 50 1 m y ang berdampingan dengan jalan Cirebon - Bandung, di beberapa lagian sudah berdiri rumah-rumah dan toko. Di Ja-Teng, menurut Kepala Humas eksploitasi Tengah Supa'at, sekitar 70% lintas cabang tidak lagi berfungsi. Karena itu karyawan yang mengawasi jalur-jalur mati itu santaisantai saja. Di salah satu pos penjagaan kereta di Kudus misalnya, beberapa petugas main gaple atau tidur-tiduran. "Habis bagaimana lagi. Saya bekerja melayani kereta api, tapi keretanya tidak ada," kata Suyadi salah seoran di antara petugas itu. Sebuah gudang di Stasiun Kudus bahkan ada yang dikontrakkan kepada pengusaha gedung bioskop. "Sudah saya kontrak selama 10 tahun, sekarang baru berjalan 3 tahun," ujar Masturi, pemilik bioskop "Citra" itu. Menurut Kepala Bagian Lalu lintas & Perniagaan Eksploitasi Tengah, Sudarno, gudang itu disewakan," agar tidak rusak karena nganggur." Sampai sekarang PJKA tidak berniat membongkar rel atau bangunan-bangunan yang nganggur itu. Sebab instansi ini beranggapan sekali waktu barang-barang tua itu pasti bisa dimanfaatkan. "Sekarang lintasan itu mati. Tapi siapa tahu kelak daerah sekitarnya berkembang. Ini kan zaman pembangunan," kata Sudarno penuh harapan. Sudarno benar. Beberapa rel di Cilacap pernah mau dibongkar, tahu-tahu muncul pabrik Semen Nusantara. "Tahun ini kami hanya mampu mengangkut semen 230.000 ton, padahal produksi seluruhnya 1 juta ton. Tahun depan malah bisa kewalahan, sebab produksi semen akan meningkat jadi 1,7 juta ton," kata Sudarno. Belum lagi pabrik-pabrik semen yang akan berdiri di Grobogan, Pamotan atau Kebumen. Semua itu membutuhkan sarana angkutan murah seperti kereta api. Di Ja-Tim ada 10 lintas cabang rel kereta api yang tidak lagi berfungsi. Menurut Sudarman, Kepala Humas PJKA Eksploitasi Timur, "bagaimana pun rel-rel itu suatu saat pasti ada gunanya." Sejarah perkereta-apian di Indonesia bermula di Ja-Teng, pada 1866, yaitu Stasiun Kemijen (Semarang) sampai Panggung (Purwodadi - Grobogan) sepanjang 21 km. Ketika itu fungsi kereta api yang utama untuk mengangkut tebu atau hasil hutan (di Jawa), karet (Sum-Ut), batubara (Sum-Bar). Tapi juga untuk mengangkut serdadu dan keperluan perang (Aceh). Setelah Perang Dunia II, sarana perkeretaapian banyak tidak terurus. Baru mulai 1969 kembali mendapat perhatian dengan biaya Pelita, meskipun belum seluruh rel hidup kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus