DI Bantul, Yogya, ada sebuah stasiun kereta api kecil. Tapi
sejak beerapa tahun belakangan ini tak ada lagi
gerbong-gerbong lalu lalang di sana. Sebuah warung sudah mengisi
kesibukan stasiun kecil itu. Seorang lelaki yang selalu necis di
sana, adalah si kepala stasiun, merangkap pemilik waruug itu.
Menurut petugas PJKA Yogya, "memindahkan karyawan PJKA mesti
melalui prosedur yang berbelit-belit." Karena itulah Kepala
Stasiun Bantul itu tetap "bekerja" di sana, meskipun tak satu
gerbong pun bakal lewat.
Di Yogya tak kurang dari 19 km rel menganggur: dari Stasiun Tugu
sampai jembatan Krasak, Kabupaten Sleman. Tapi rel-rel itu
masih diawasi," ujar utaryo, Kepala Bagian Jalan & Bangunan
PJKA Inspeksi VI Yogya. Di sepanjang rel tersebut ada 15
karyawan yang setiap hari "bekerja", misalnya membersihkan
rumput. Untuk itu mereka menerima gaji antara Rp 22. 700 hingga
Rp 53.000.
Di jalur kereta api Yogya - Bantul ada pula sebuah jalur rel
untuk kereta yang khusus mengangkut tebu hanya di musim giling
tebu, melayani Pabrik pula Madukismo. Orang Yogya menjulukinya
"kereta api koboi"--dengan Iok yang hitam pekat, berjalan
terseok-seok. Penduduk di sekitarnya biasa menjemur kasur-bantal
atau memarkir mobil di atas relnya. Kalau kereta lewat, sang
masinis turun mengangkat kasur atau mencari pemilik mobil agar
kendaraan itu disingkirkan dulu.
Suatu Saat
Rel-rel yang mati sering diambil-alih penduduk sekitarnya untuk
keperluan lain di Ja-Bar. Misalnya, di tanah tempat rel jalur
Rancaekek - Cicalengka (Kkabupaten Bandung) sudah menjadi
puskesmas dan gedung sekolah. Atau jalur Jatibarang - Indramayu
yang sudah ditimbuni tanah menjadi trotoar. Di jalur Cirebon -
Kadipaten sepanjang 50 1 m y ang berdampingan dengan jalan
Cirebon - Bandung, di beberapa lagian sudah berdiri rumah-rumah
dan toko.
Di Ja-Teng, menurut Kepala Humas eksploitasi Tengah Supa'at,
sekitar 70% lintas cabang tidak lagi berfungsi. Karena itu
karyawan yang mengawasi jalur-jalur mati itu santaisantai saja.
Di salah satu pos penjagaan kereta di Kudus misalnya, beberapa
petugas main gaple atau tidur-tiduran. "Habis bagaimana lagi.
Saya bekerja melayani kereta api, tapi keretanya tidak ada,"
kata Suyadi salah seoran di antara petugas itu.
Sebuah gudang di Stasiun Kudus bahkan ada yang dikontrakkan
kepada pengusaha gedung bioskop. "Sudah saya kontrak selama 10
tahun, sekarang baru berjalan 3 tahun," ujar Masturi, pemilik
bioskop "Citra" itu. Menurut Kepala Bagian Lalu lintas &
Perniagaan Eksploitasi Tengah, Sudarno, gudang itu disewakan,"
agar tidak rusak karena nganggur."
Sampai sekarang PJKA tidak berniat membongkar rel atau
bangunan-bangunan yang nganggur itu. Sebab instansi ini
beranggapan sekali waktu barang-barang tua itu pasti bisa
dimanfaatkan. "Sekarang lintasan itu mati. Tapi siapa tahu kelak
daerah sekitarnya berkembang. Ini kan zaman pembangunan," kata
Sudarno penuh harapan.
Sudarno benar. Beberapa rel di Cilacap pernah mau dibongkar,
tahu-tahu muncul pabrik Semen Nusantara. "Tahun ini kami hanya
mampu mengangkut semen 230.000 ton, padahal produksi seluruhnya
1 juta ton. Tahun depan malah bisa kewalahan, sebab produksi
semen akan meningkat jadi 1,7 juta ton," kata Sudarno. Belum
lagi pabrik-pabrik semen yang akan berdiri di Grobogan, Pamotan
atau Kebumen. Semua itu membutuhkan sarana angkutan murah
seperti kereta api.
Di Ja-Tim ada 10 lintas cabang rel kereta api yang tidak lagi
berfungsi. Menurut Sudarman, Kepala Humas PJKA Eksploitasi
Timur, "bagaimana pun rel-rel itu suatu saat pasti ada gunanya."
Sejarah perkereta-apian di Indonesia bermula di Ja-Teng, pada
1866, yaitu Stasiun Kemijen (Semarang) sampai Panggung
(Purwodadi - Grobogan) sepanjang 21 km. Ketika itu fungsi kereta
api yang utama untuk mengangkut tebu atau hasil hutan (di Jawa),
karet (Sum-Ut), batubara (Sum-Bar). Tapi juga untuk mengangkut
serdadu dan keperluan perang (Aceh). Setelah Perang Dunia II,
sarana perkeretaapian banyak tidak terurus. Baru mulai 1969
kembali mendapat perhatian dengan biaya Pelita, meskipun belum
seluruh rel hidup kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini