Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Rel Itu Mulai Dibongkar

Pembongkaran rel kereta api di Aceh untuk pelebaran jalan raya Banda Aceh-Bieruen ternyata menimbulkan pertikaian pendapat. Pada tahun 1975 Emil Salim mencegah, tetapi dibongkar juga.

26 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGUS lokomotif kereta api ta terdengar lagi di Aceh sejak 12 tahun lampau. Rel-rel memang masih membentang, tapi tidak pernah lagi dilintasi kereta. Loko dan gerbong-gerbongnya teronggok di dekat bangunan tua yang dulu bernama stasiun. "Perumahan karyawan juga masih ada, tapi sudah banyak yang disewakan," kata petugas perwakilan PJKA di Banda Aceh, Zakaria. Meski begitu, masyarakat Aceh rupanya masih begitu sayang terhadap alat pengangkutan yang sudah tak berfungsi itu. Buktinya, ketika bulan lalu rel kereta api di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie dibongkar, banyak orang tidak setuju, termasuk wakil rakyat di DPRD provinsi itu. "Pembongkaran rel kereta api itu jelas akan mempersempit pilihan pembangunan sarana perhubungan di sini," kata Nurdin Amin, anggota Komisi A (Perhubungan) DPRD Provinsi Aceh. Teuku Thaib, anggota DPRD yang lain, bahkan berniat mengundang pihak PJKA untuk menjelaskan mengapa semudah itu memberi izin membongkar rel kereta api. Menurut pihak PU Aceh, pembonkaran rel itu untuk pelebaran jalan raya antara Banda Aceh - Bieruen (Sigli). Kedua jenis jalan ini memang berdampingan sepanjang 26 km. Menurut sumber PJKA, pembongkaran itu adalah atas permintaan Departemen PU. Mula-mula kata sumber itu, PU minta kepada Pemda untuk membongkarnya. Tapi karena untuk maksud tersebut diperlukan peraturan khusus dan prosesnya lama--maka ditempuhlah jalan pintas berupa kesepakatan antara pihak PU dan PJKA. Kalangan Pemda sendiri ternyata tidak tahu menahu. Emil Salim Walhasil dibongkar juga rel yang dibangun pemerintah Hindia Belanda 80 tahun yang lalu itu. Panjangnya meliputi 26 km, separuh terletak di Desa Sibreh, Indrapuri dan Lambaro (Kabupaten Aceh Besar), separuhnya lagi di lintasan Padang Tiji - Sigli (Kabupaten Pidie). Menurut Ir. Syamsidik M. Syam, pejabat PU Aceh yang memimpin proyek peningkatan jalan tersebut, pembongkaran rel itu sudah disetujui PJKA Medan dan Jakarta. "Tapi kalau kelak PJKA memerlukannya, misalnya kalau kereta api di lintasan itu hidup kembali, tanah tempat rel itu akan diserahkan kembali," tambah Syamsidik. Betapapun, pembongkaran rel kereta api itu oleh kalangan masyarakat Aceh amat disesalkan. Apalagi karena sarana perhubungan lainnya yaitu jalan raya biasa di provinsi tersebut belum semuanya bisa diandalkan. Karena itU pada 1975 tak kurang dari Emil Salim (ketika itu Menteri Perhubungan) berusaha mencegah pembongkaran rel kereta api llntasan Banda Aceh - Sigli. Sebab menurut Emil, "kalau sudah dibongkar, pasti kelak sangat sulit membangunnya kembali, perlu survei dan kelayakan segala. Padahal kereta api suatu saat merupakan alternatif angkutan yang sangat dibutuhkan." Nyatanya memang begitu. Sebelum 1969, ketika kereta api masih berfungsi di Aceh, rel yang membentang sepanjang 450 km dari Besitang (di perbatasan dengan Sum-Ut) hjngga Banda Aceh telah berhasil mendorong gerak ekonomi daerah sekitarnya. Pentingnya kereta api, pada lintasan Lhok Seumawe - Medan, Belaklangan juga ramai dibicarakan. Terutama setelah kawasan Aceh Utara itu seharang dijadikan basis industri. Di sana ada pabrik pupuk ASEAN, pabrik pupuk Iskandarmuda, pabrik kertas Alas Helau. "Melihat laju pembangunan di Aceh sekarang, bukan tak mungkin satu saat rel di sana dapat dimanfaatkan lagi," kata sumber TEM PO di Balai Besar PJKA Bandung. Kalau satu jalur rel telah telanjur dibongkar, tentu akan merepotkan bila suatu saat kelak kereta api ingin dihidupkan lagi. Sebagai contoh, sumber IEMPO di Balai Besar PJKA Bandung merlunjuk rel trem listrik di Jakarta yang sudah telanjur ditimbun dan di atasnya dibikin jalan. Belakangan santer enar usul agar trem kota dihidupkan kembali. "Coba kalau dulu tidak ditimbun, kan tak sulit menhidupkan trem itu?" katanya. Panjang rel di seluruh Indonesia (Jawa, Madura dan Sumatera) meliputi 7.000 km, tapi sekitar 6.000 km saja yang kini berfungsi. Rel-rel yang sudah tidak dilewati gerbon itu umumnya lintasan cabang -- artinya bukan lintasan raya. "Banyaknya rel yang mati itu karena lintasan tersebut tidak ekonomis, termasuk rel kereta api di Aceh," kata sumber tersebut. Rel-rel seperti itu terutama terdapat di Jawa. (Lihat box).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus