TIMBUL desakan untuk memberikan bantuan khusus bagi Indonesia,
di luar kerangka IGGI, terutarna bagi propinsi Maluku. Itu
datang dari tiga kelompok masyarakat Maluku Selatan yang
bermukim di Belanda, termasuk yang menyebut dirinya RMS. Di
bulah Desember lalu, serombongan wanita Orwana (Organisasi
Wanita Maluku) juga sudah berkunjung ke Maluku atas undangan
Perwari. Mereka juga minta perhatian - bahkan bersedia
mengumpulkan dana - untuk lebih memperbaiki kampung leluhumya
(TEMPO 11 Desember 1976).
Terakhir, satu kelompok kerja orang Maluku di Belanda, Werkgroep
Elst, setelah meninjau sendiri ke Maluku bulan lalu atas biaya
pemerintah Belanda, menyampaikan usul-usul pada Bappenas dan
Kementerian }'erjasama Pembangunan Belanda. Sekalipun mewakili
sebuah perkampungan di Belanda (Elst), delegasi yang terdiri
dari 13 orang dengan paspor stateless itu berasal dari 22 desa
di 5 pulau di kabupaten Maluku Tengah (d/h Maluku Selatan).
Selama di Maluku mereka pun berpencar ke pulau-pulau asal mereka
Ambon, Haruku, Saparua, Nusa Laut dan Seram. Benny Ahuluhelu,
ketua rombongan itu sebelumnya sudah pernah berkunjung ke
Maluku. Kesannya: "Apa yang kami lihat dan dengar 65% sudah
baik, tapi 35% masih buruk", katanya. Yang masih buruk, menurut
Ahuluhelu adalah kondisi pendidikan dan perhubungan. Di tempat
asalya, pulau Saparua, "anak sekolah memenuhi bangunan bekas
gereja tua, hingga suara dari kelas yang satu terdengar nyaring
ke kelas yang lain", katanya.
Yahudi
Menurut dia, keadaan yang belum baik itu sulit untuk membuat
orang-orang Maluku pulang kampung. Makanya mereka sangat
berminat untuk membantu mencari dana bagi pembangunan pendidikan
dan prasarana di Maluku. Sekalipun mereka sendiri sudah bukan
warganegara Indonesia, "orang-orang Yahudi di Amerika dan Eropa,
meskipun bukan WN Israel kan ikut menunjang negeri leluhurnya",
begitu tutur orang dari Elst itu.
Rabu pekan lalu rombongan itu kembali terbang ke Belanda untuk
melanjutkan perundingan dengan "fihak-fihak yang brwenang",
kata Ahuluhelu. Mereka juga menyadari bahwa pembangunan di
Maluku itu dapat disalurkan lewat swasta. Itu sebabnya, selain
melanjutkan pembicaraan dengan Direktorat Bantuan Teknis
Internasional di Belanda (DITH), yang diketuai Menteri Jan
Pronk, mereka juga berbicara dengan organisasi yang menyalurkan
bantuan bagi gereja Protestan (ICCO) dan Novib.
Apabila kedua organisasi swasta itu bersedia membiayai
proyek-proyek di Maluku - dengan anggaran khusus yang mereka
harapkan dari Pronk -- Ahuluhelu dan kawan-kawannya bersedia
mengumpulkan 25% anggaran yang merupakan syarat pemerintah
Belanda. Omong-omong dengan wartawan TEMPO GY Adicondro, mereka
optimis bahwa saran-saran itu dapat diterima Pronk. Tapi harus
cepat, sebab masa kerja Kabinet Den Uyl akan berakhir Mei
mendatang! sebulan setelah sidang IGGI.
Tapi siapa partner mereka di sini, mengingat mereka sendiri
hanya akan mengirim dana dari jauh? Soal itu, belum dapat
dijawab oleh Ahuluhelu. Sebagai orang Protestan, mereka
cenderung bekerja sama dengan sinode GPM (Gereja Protestan
Maluku). Namun kunjungan ke Maluku dan percakapan dengan para
pemimpin dan jemaat GPM di sana, kurang meyakinkan mereka.
"Sinode GPM tidak pernah memberikan pertanggungjawaban keuangan
pada jemaatnya", kata seorang anggota rombongan Werkgroep Elst
itu pada TEMPO. Selain itu, staf ahli yang berfungsi sebagai
'Bappenas'-nya GPM dalam merencanakan dan mengawasi pelaksanaan
proyek-proyek itu, kebanyakan sibuk di luar gereja atau di luar
Maluku.
Kalangah Maluku yang ditemui TEMPO di Jakarta, juga masih belum
puas tentang kegiatan lembaga-lembaga swasta yang bekerja dengan
bantuan asing di Maluku. Pada umumnya proyek-proyek pembangunan
itu mengikuti arah pembangunan pemerintah yang konsentrasinya
terbanyak di kabupaten Maluku Tengah. Yakni di kepulauan Ambon
(Amboina, Haruku, Saparua, Nusa Laut), pulau Buru dan Seram.
Sedang kabupaten Maluku Utara dan Tenggara kurang diperhatikan.
Selain itu, bantuan dari Australia dan Eropa Barat terutama
diberikan pada proyek-proyek Kristen. "Umat Islam yang jumlahnya
lebih dari separo penduduk Maluku, hampir tak terjamah oleh
proyek-proyek pembangunan swasta itu". kata seoran lenamat.
Juga belum semua bantuan itu sampai ke sasarannya. Bantuan dari
organisasi swasta Belanda Kom-over-de-brug untuk proyek
pertanian di Buru Selatan, kabarnya masih 100 ribu gulden
tertahan di rekening bank GPM karena tak dapat digunakan. Begitu
pula 40 juta rupiah bantuan asing untuk proyek perkapalan GP di
Ambon, hingga kini belum dibelikan kapal karena suatu rencana
kerjasama GPM dengan bekas orang penting Pertamina, Pattiasina,
jadi berantakan. Jemaat GMIH (Gereja Masehi Injili Halmahera) di
Maluku Utara pun masih menanti-nanti, kapan rencana perkebunan
kelapa dan perternakan babi besar-besaran di Halmahera yang
ditunjang oleh DGI dengan bantuan dari Jenewa - akan diwujudkan.
Tentu saja, ada juga proyek-proyek pembangunan swasta yang
berjalan baik. Misalnya STM Tual-Langgur di pulau Kei, Maluku
Tenggara Sekolah Tukang Kayu di Ambon dan RS Autarki, juga di
Ambon. Namun kegiatan itu umumnya dijalankan oleh pastor-pastor
Belanda yang sudah tua, yang ingin mati di Maluku. Kaderisasi
awam pribumi belum difikirkan. Makanya berbagai pihak di Jakarta
mengharapkan, janganlah urusan pembangunan di Maluku itu
diputuskan secara sepihak saja dari negeri Belanda, tapi
dibicarakan dulu dengan matang dengan para pelaksana pembangunan
di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini