GAMELAN sayup-sayup. Seorang pemuda berpakaian Jawa keluar dari
pintu. Mengendap-endap. Di luar jauh di sana, terdengar panser
dan truk tentara Belanda berseliweran. Pemuda itu hati-hati
menyelinap di antara rumah-rumah kampung Yogya yang padat itu,
lalu menghilang.
Di waktu subuh, ia kembali ke rumah tempatnya menumpang. Ia
berusaha agar langkahnya tak membangunkan induk semangnya. Tapi
ketika ia naik tangga ke kamarnya sendiri di atas, ia dengar
wanita itu sudah bangun di kamar bawah. Habis sembahyang subuh.
Cepat-cepat ia masuk ke kamar tidumya, berganti pakaian, memakai
slaapbroek lagi, membuka jendela dan pura-pura baru bangun
tidur. Tapi ibu itu, masih mengenakan mukena, muncul di pintu.
"Apakah nak Mohtar baru ketemu ngarsa dalem?", tanyanya.
Pemuda itu tak bisa mengelak lagi. Rahasianya tersingkap. Wanita
itu tahu, bahwa pemuda yang mondhok di rumahnya itu adalah
seorang anggota gerakan di bawah tanah, kurang-lebih penghubung
antara para gerilyawan di gunung dengan kraton Yogya, yang
diam-diam melawan kekuasaan pendudukan Belanda. Hari itu di
tahun 1949. Dan kisah ini dihidupkan dalam film cerita Enam Jam
Di Yogya -- satu cerita berlatarkan sejarah, yang dibuat Usmar
Ismail di tahun 1950.
Hanya satu tahun jaraknya, antara kejadian sebenarnya dengan
dibikinnya film itu. Tapi ketika di awal Maret 1977 film itu
diputar kembali di TVRI, masih ada yang terharu menyaksikannya.
Seorang rekan menangis, diam-diam. Waktu itu adegan ketika
pasukan gerilya memasuki lorong-lorong sempit kota, disambut
penduduk dengan gembira ....
***
MEMANG, sesuatu yang indah. Perjoangan dan setiakawan,
masing-masing dan semuanya adalah sesuatu yang indah. Kini dalam
Festival Film Indonesia '77 orang-orang berbicara tentang
"sesuatu yang indah" yang lain. Tidak apa. Wim Umboh tidak salah
jika ia kini membuat Sesuatu Yang Indah dan itu berarti
percintaan seorang pilot atau gadis bar yang hangat dalam
ajojing. Zaman telah berganti.
Yang jadi pertanyaan ialah: mengapa Enam Jam di Yogya justru
menggetarkan, dalam zaman yang telah berganti ini?
"Itu hanya nostalgia biasa dan agak kuno dari seorang yang mulai
berumur", kata seorang, setengah mengejek. Mungkin.
Seorang wartawan tua kemudian berbicara tentang film itu. "Film
itu dibuat oleh Usmar dengan alat-alat yang sederhana", katanya,
"tapi ia bisa mencerminkan ke-Indonesia-an kita". Kini, katanya
lagi, teknologi sudah jauh lebih lengkap, tapi kita kehilangan
wajah kita sendiri.
***
TAK selamanya enak terdengar, bila seseorang mengeluh tentang
masa kini seraya memuji masa yang silam. Tapi agaknya kita pun
setuju: ketika dalam film Enam Jam di Yogya seseorang menyebut
nama "Pak Harto", terasalah ada sesuatu yang lain. Kata itu
tetap berarti nama Presiden kita sekarang, yang waktu itu
memimpin serangan umum dan berhasil merebut Yogya selama 6 jam
yang menentukan. Tapi di tahun 1950, ucapan itu jelas jauh dari
niat menjilat.
Seperti sambutan penduduk kampung kepada pasukan yang masuk ke
kota itu, yang menyebabkan seorang rekan menangis entah kenapa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini