TERMINAL Bungurasih, Kota Surabaya, dini hari Selasa pekan lalu. Romo Kurdo Irianto, 40 tahun, mencari bus kota. Mengenakan jaket warna gelap, bersepatu sandal warna hitam dan menjinjing laptop, pastor kelahiran Rembang, Jawa Tengah, itu hendak pergi ke luar kota untuk melayani undangan umat. Wajah dan penampilannya dikenal oleh sebagian orang kecil. Tubuhnya kurus dan tinggi. Banyak orang dari sopir bus sampai pedagang asongan yang menyapanya.
Di Surabaya, Romo Kurdo banyak terlibat dalam kegiatan sosial. Ia antara lain memberdayakan anak-anak jalanan di kawasan Stasiun Wonokromo dan keluarga para tukang becak. Ia dekat dengan masyarakat miskin. Cuma, belakangan Romo Kurdo justru terlempar jauh dari hierarki Gereja Katolik Keuskupan Surabaya. Ada apa?
Kasus Romo Kurdo adalah sebuah fenomena. Ditahbiskan menjadi imam pada 1989 di Paroki St. Aloysius Gonzaga, Kota Surabaya, Kurdo mengundurkan diri pada Desember 2001 karena mengalami konflik hebat dengan lembaga Gereja Katolik Keuskupan Surabaya. Beberapa hari kemudian, Uskup Surabaya Mgr. Johanes Hadiwikarto S.J. menendangnya dari hierarki resmi gereja melalui surat keputusan yang berisi sanksi suspensi, hukuman untuk imam yang dianggap melanggar berat hukum pidana ataupun perdata. Akibat keputusan itu, Romo Kurdo tak boleh lagi menjadi imam.
Pengunduran diri Kurdo disusul dengan penerbitan Surat Domba. Surat ini disusun 30 orang, termasuk Kurdo, dari kalangan intelektual, imam, suster, aktivis buruh, fungsionaris komisi keuskupan, fungsionaris dewan paroki, dokter, apoteker, dan aktivis kelompok pendalaman Kitab Suci. Mereka menyebut dirinya Komunitas Gerakan Cinta Gereja Katolik Keuskupan Surabaya. Dikirim ke keuskupan seluruh Indonesia, surat itu juga disebar di internet.
Seperti Surat Gembala, yang berisi pesan uskup kepada umat, Surat Domba adalah pesan umat untuk umat. Berjudul "Keprihatinan dan Tekad Perubahan", surat yang terbit menjelang perayaan Paskah 2002 itu menyoroti Keuskupan Surabaya, yang dinilai lebih memperhatikan masyarakat kaya daripada yang miskin. Keuskupan dituding melakukan praktek-praktek yang, menurut istilah Kurdo, bersifat "agamanisasi kapital" dan "kapitalisasi agama" (mencari uang dengan menunggangi agama—Red).
Contoh yang dituding adalah pembangunan kompleks ziarah Goa Maria Lourdes, Puh Sarang, Kediri, pada tahun 2000, yang menelan biaya miliaran rupiah. Selain dianggap tidak berangkat dari pengalaman spiritual lokal—karena meniru lokasi ziarah Eropa—bangunan megah dan mewah Puh Sarang berada di tengah permukiman penduduk yang miskin dan, karena itu, dinilai merupakan suatu ironi. Juga terjadi peminggiran masyarakat miskin di sekitar lokasi ziarah. Dengan membanjirnya penziarah berkat promosi besar-besaran, harga tanah meningkat dan akibatnya banyak orang miskin menjual tanahnya ke orang-orang kota yang berduit.
Sorotan juga diarahkan ke rumah penginapan Wisma Betlehem, yang dibangun di kompleks ziarah itu. Wisma tersebut dikecam karena memakai nama sakral dan disewakan dengan kutipan biaya. Sudah begitu, uang hasil pengelolaan wisma tak diumumkan ke umat. "Tak berlebihan jika gejala ini boleh kami namakan 'kapitalisasi agama' atau 'agamanisasi kapital'," kata Surat Domba.
Ironisnya, pembangunan sarana fisik itu tak diimbangi perhatian yang memadai terhadap aspek pendidikan dan kesejahteraan para guru sekolah Katolik. Di sekitar 140 sekolah Katolik di Jawa Timur, kebanyakan guru dan karyawan berstatus kontrakan. Honor mereka pun rendah. Misalnya, seorang guru yang bekerja 12 tahun hanya digaji sekitar Rp 250 ribu per bulan. Padahal upah minimum regional untuk buruh saja sekitar Rp 450 ribu per bulan.
Kecaman juga ditudingkan ke sejumlah imam yang hidup secara parasitis atas jerih payah umat. "Mereka seperti layaknya kaum kelas menengah-atas, akrab dengan mobil-mobil, pakaian-pakaian keluaran factory outlet, ber-handphone, masuk-keluar rumah makan mahal terkemuka, mejeng di mal-mal," demikian disebut Surat Domba.
Borok-borok Gereja Katolik Keuskupan Surabaya itulah yang ditelanjangi Komunitas Cinta Gereja—peristiwa yang ditabukan di lingkungan Gereja Katolik, yang bersifat hierarkis, tertutup, dan feodal-paternalistik. Apa tanggapan Uskup Mgr. Johanes Hadiwikarto S.J.? Mengaku sibuk dengan pekerjaan, Hadiwikarto memerintahkan Romo Y. Eko Budi Susilo, Bagian Hubungan Masyarakat Keuskupan Surabaya, agar menjawab pertanyaan Sunudyantoro dari Tempo News Room. Kata Eko, Uskup berterima kasih atas kritikan tersebut dan menyatakan akan terus memperbaiki pelayanan untuk umat.
Cuma, Romo Eko menyayangkan penerbitan Surat Domba. "Itu masalah yang sesungguhnya bisa dibicarakan secara internal di lingkungan gereja. Tapi mengapa dibuat secara terbuka?" kata Romo Eko. Menurut Romo Kurdo, Surat Domba diterbitkan secara terbuka karena cara lain seperti berdialog secara pribadi dan pengiriman surat tertutup sudah dilakukan. "Namun, semua itu ternyata hanya dianggap sampah!" ujar Romo Kurdo.
K.M.N., Dwidjo U. Maksum (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini