NAFSU makan Ramlan Surbakti hilang sudah. Nasi Padang pesanannya tak juga disentuh. Setelah menengok isinya sebentar, lalu ditutupnya kembali kotak styrofoam berlabel "Hidangan Sederhana" itu. Ia malah mengambil beberapa butir obat di tas, lalu meminumnya satu-satu sambil didorong dengan segelas air. "Belakangan ini saya memang agak kurang sehat, suka pening," kata Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu.
Stamina Ramlan jelas terkuras. Doktor pemilu yang pernah jadi dosen politik di Universitas Airlangga, Surabaya, itu dikenal sebagai dedengkot KPU yang paling rajin datang dan rapat di kantor wasit pemilu. Di kantor Ramlan, di kawasan Imam Bonjol, Menteng, berbagai rapat maraton terus digelar menjelang pemilu legislatif yang tinggal tiga bulan lagi itu.
Tapi bukan cuma kerja lembur yang membuat Ramlan "suka pening". Banyak partai politik yang tak memenuhi kewajiban penting mereka: melaporkan rekening dana kampanye. Padahal, aturannya sudah jelas. Kewajiban itu tertuang dalam Surat Keputusan KPU No. 676 Tahun 2003 ihwal Tata Administrasi Keuangan dan Sistem Akuntansi Parpol serta Laporan Dana Kampanye Peserta Pemilu, yang diteken awal Desember lalu.
Jadwal penyerahan data keuangan enteng saja dilewati. Seharusnya partai-partai sudah menyerahkan rekening itu—berikut asal-muasal saldonya—ke KPU tujuh hari setelah ditetapkan sebagai peserta pemilu. Tapi, karena sebagian partai mengaku belum siap, penyerahan diundur hingga 18 Desember lalu. Namun, nyatanya, sebagian besar baru menyerahkan pada minggu terakhir Desember.
Toh, masih ada yang belum dipenuhi. Semua partai memang telah menyerahkan nomor rekening dana kampanye mereka. Namun, dari 24 partai, baru delapan partai yang menyertakan saldo awalnya. Selebihnya, tak jelas. Padahal, dalam petunjuk pelaksanaan tata administrasi sudah jelas-jelas disebutkan per- kara sensitif ini. Data ini penting karena akan diumumkan ke publik sehari setelah diterima KPU.
Masih ada ketentuan lain yang dikesampingkan. Surat KPU tersebut juga mewajibkan partai menyerahkan laporan keuangan tahunan sejak menjadi badan hu- kum hingga paling lambat 31 Desember lalu. Tapi, hingga berganti tahun, sudah melewati masa tutup buku, tak satu pun yang melapor. Padahal dana ini masih harus diaudit kantor akuntan publik, sebelum akhirnya diserahkan kembali ke KPU.
Delapan partai telah menyerahkan nomor rekening dana kampanye berikut saldo awalnya. Mereka adalah Partai PNI Marhaenisme, Partai Buruh Sosial Demokrat, Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, Partai Demokrat, Partai Penegak Demokrasi Indonesia, dan Partai Patriot Pancasila. Sementara itu, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Nadlatul Ummah Indonesia justru menyerahkan rekening dana partai, bukan dana kampanye.
Namun, angkanya aneh bin ajaib. Saldo awal mereka maksimum hanya Rp 1 juta-5 juta. "Itu pun belum disebutkan dari mana saldo itu berasal," kata Ramlan. Partai cuma bermodal dengkul? Anggota Panitia Pengawas Pemilu, Topo Susanto, sangsi dengan jumlah itu. Sebab, sejak bursa calon legislatif marak, sebagian partai sibuk cari dana dengan berbagai judul. Ada yang menyebutnya infak partai, uang bakti, sumbangan ala kadarnya, dan macam-macamlah. "Seharusnya itu juga dilaporkan karena terjadi sebelum batas waktu pelaporan," ujar Topo.
Sebagai bandingan, tengok saja bursa sumbangan calon legislatif di daerah. Pengurus Partai Golkar di Surabaya, Jawa Timur, mematok "uang bakti" bagi kader yang ingin bertengger di nomor jadi. Nomor 1 dihargai Rp 52 juta, nomor 2 Rp 24 juta, nomor 3 Rp 14 juta, dan nomor 4 "cukup" Rp 7 juta. "Ini diputuskan dalam rapat pleno yang diperluas 13 November lalu," ujar Sekretaris Partai Golkar Surabaya, Eric Tahalele, beberapa waktu lalu.
Ada yang memungut infak—seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jawa Timur. Menurut wakil ketuanya, Fathurrosjid, dana itu akan dikembalikan kepada calon itu untuk mendanai kampanye. Namun, ia enggan menyebut angka. "Kita masih membicarakan besar-kecilnya infak setelah selesai uji publik," katanya mengelak. Yang jelas, setoran untuk calon legislatif nomor atas lebih gede.
Partai Amanat Nasional juga mematok sumbangan. Pendaftaran calon anggota DPR Rp 3 juta, DPRD provinsi Rp 2 juta, dan DPRD kabupaten/kota Rp 1 juta. Begitu pula Partai Bulan Bintang dan Partai Persatuan Pembangunan. Tak ada yang asal masuk gratisan. "Tapi nilainya tidak ditentukan, tergantung kesanggupan," kata Ketua Lajnah Pemenangan Pemilu PPP, Endin A.J. Soefihara.
Belum lagi ongkos untuk "membina konstituen" di daerah. Ada calon legislatif yang bikin aneka lomba di daerah, bakti sosial, bantuan bencana alam, hingga memberikan tunjangan hari raya untuk pengurus partai di daerah. Di masa kampanye nanti, kucuran uang pribadi pun akan semakin deras mengalir. "Kami harus bisa membiayai kampanye sendiri," kata Lily Rolina, calon legislatif Partai Golkar dari Majalengka.
Payung hukumnya juga sudah dibikin. Menurut Pasal 78 Undang-Undang Pemilu, sumbangan lebih dari Rp 5 juta wajib dilaporkan ke KPU, lengkap dengan bentuk, jumlah, dan identitas penyumbang. Sumbangan dana kampanye perorangan tak boleh lebih dari Rp 100 juta. Bantuan dari badan hukum swasta tidak boleh melebihi Rp 750 juta. Menurut Pasal 18 Undang-Undang Partai Politik, seorang individu hanya boleh menyumbang partai Rp 200 juta, sedangkan "perusahaan" atau institusi swasta dipatok maksimum Rp 800 juta.
Nyatanya, sejumlah politikus keberatan dengan aturan ini. Mereka menganggap duit yang mereka keluarkan untuk biaya kampanye sendiri tidak harus dilaporkan ke KPU. "La, itu kan uang saya sendiri, untuk kampanye saya sendiri. Kenapa harus masuk dana kampanye partai?" kata Bendahara PPP, Habil Marati. Calon legislatif dari Partai Golkar, Rully Chairul Azwar, pun sepakat. "Masa, beramal ke masjid juga harus dilaporkan," ujarnya.
Ramlan bersikukuh dengan pendapatnya. Sumbangan semacam itu harus tetap dilaporkan dalam rekening dana kampanye. Sebab, dana itu dikeluarkan calon anggota legislatif sebuah partai. "Kalau enggak jadi caleg, kan dia enggak perlu mengeluarkan uang itu," ujarnya. Para kandidat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga punya kewajiban serupa—dan tak jadi soal. "Padahal mereka mewakili dirinya sendiri, bukan partai," kata Ramlan.
Padahal pembatasan itu hasil keputusan Dewan di Senayan—yang notabene juga para politikus itu. Mereka pula yang telah menyepakati bahwa dana kampanye total tidak dibatasi. Hanya sumbangan perorangan dan lembaga yang dipatok. Tapi rupanya, setelah dikalkulasi, pematokan ini malah memusingkan mereka. Sebab, biaya yang dikeluarkan tiap-tiap calon anggota DPR untuk kampanye pribadi di daerah pemilihannya bisa lebih dari Rp 100 juta. "Untuk beli kaus saja kurang," kata Endin.
Coba simak kalkulasi Endin. Kebutuhan dana kampanye PPP di setiap daerah pemilihan padat seperti Jawa sedikitnya Rp 1,7 miliar. Jumlah itu ditanggung renteng para calon legislatif pusat, provinsi, dan daerah di daerah pemilihan itu. "Untuk caleg pusat, mereka bisa keluar dana Rp 200 juta lebih," ujarnya. Partai lain sama saja. PKB butuh Rp 1 miliar di basis-basis "Tapal Kuda" di Karesidenan Besuki. Untuk berkampanye di Surabaya, Golkar butuh duit Rp 2,3 miliar.
Ketentuan ini dibikin dengan maksud baik, yakni agar kasus heboh dana sumbangan miliaran pada Pemilu 1999 tak terulang. Saat itu semua partai tak menyusun pembukuan sesuai dengan sistem akuntansi baku. Aturannya tak jelas, mengauditnya juga susah. Akuntan ke- limpungan ketika diminta memberikan opini atas tuduhan money politics. "Bagaimana kami ngasih opini. Semua parpol menyusun pembukuan dengan cara masing-masing," kata Ketua Ikatan Akuntan Indonesia, Syafri Adnan.
Partai tak kurang akal. Untuk me-nyiasati sumbangan berlebih pada Pemilu 1999 lalu, mereka menyebutnya se-bagai utang. Tapi kini parpol tak boleh melakukan pembukuan semacam ini. Apa pun alasannya. "Demikian pula dengan sumbangan dari hamba Allah," kata Syafri Adnan. Kalau sampai ke-tahuan ada dana siluman yang tidak jelas juntrungannya, akan ditarik untuk kas negara.
Partai tampaknya tengah menyiapkan siasat. "Kami masih mencari formula yang paling tepat untuk pelaporannya," kata Wakil Bendahara Partai Golkar, Djoko Purwongemboro. Ia memastikan, partainya akan melaporkan secara transparan dan tak akan ada dana siluman. "Kami memang belum melaporkan secara detail," kata Bendahara PAN, Abdul Hakam Nadja. Sementara itu, PPP baru akan bertemu auditor keuangan minggu depan.
Partai pemenang pemilu lalu, PDIP, juga idem dito. Wakil Sekjen Pramono Anung belum bisa memastikan kapan rekening dana partainya dan dana kampanye diisi duit. Jumlah masing-masing masih disusun. "Yang pasti ada dana awal dari dana sumbangan untuk parpol dari APBN," katanya. Sebagian dana partai dari APBN sebesar Rp 35 miliar sudah digunakan untuk operasional partai. Sisanya akan dijadikan dana awal rekening partai dan kampanye.
Para juru brankas partai tampaknya mulai ancang-ancang. Dikepung dengan rambu-rambu ketat begini, anggota Panitia Pengawas Pemilu, Didik Supriyanto, menduga mereka bakal menyiasati laporan keuangannya. Misalnya, sumbangan dipecah menjadi beberapa orang kerabat sang calon legislatif—sehingga masing-masing tak melebihi patokan yang ditentukan.
Walhasil, para pemain politik, partai-partai itu, tetap lebih digdaya ketimbang sang wasit. "Undang-undang tak mampu menjaring soal politik uang," kata Didik. Lain lagi bagi Ramlan Surbakti. Ia semakin pening begitu menyadari betapa lemahnya KPU. Lembaganya ibarat wasit yang diberi peluit tapi tak boleh menyemprit.
Hanibal W. Y. Wijayanta, Jobpie Sugiharto, Darmawan Sepriyossa, Kukuh S.W. (Surabaya), Bobby Bunawan (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini